16

7.5K 1.3K 52
                                    

Content Warning:

Part ini bakal penuh sama tindakan medis kaya biopsi, radiography, dan spinal tap gitu ya.. kan biar tau Biru sakit apa. Jadi buat yang gak suka bisa di skip aja...

*

[ m o t i o n s ]

Julian mendorong kursi roda milik Biru sampai garis batas antrian ruang radiologi dan radiotherapy. Sementara Lana menyusul dari belakang. Biru hanya diam saja karena mual. Meremas perut dan memejamkan matanya karena pusing.

Biru memegangi tabung ringer laktat yang tinggal setengah dengan tangannya sendiri. Kemudian melirik sedikit ketika melihat Lana berdiri di sampingnya.

"Mual banget ya?"

Biru mengangguk.

Lana mengeluarkan permen Jelly warna warni. Kemudian mendudukan dirinya di samping Biru.

"Mau?"

Lana membuka kedua telapak tangannya. Kemudian menawarkan Biru permen Jelly.

"Boleh Pa?" Biru bertanya pada Julian.

"Boleh. Hati - hati ya makan nya. Pelan pelan."

Biru memilih permen Jelly berbentuk boneka. Mengambil yang berwarna kuning kemudian memakannya.

"Saya gak ditawarin?" Julian bertanya.

Lana memutar bola matanya malas.

Biru tertawa pelan melihat respon Lana. Julian sampai kaget.

"Kasian deh Papa. Ditolak."

"Kalau kepalamu gak sakit, Papa jitak Bi."

Sekarang mereka bertiga yang tertawa. Biru sudah tidak setegang tadi. Entah permen Jelly keberapa yang ia makan, pusing dan mualnya hilang sekarang.

Waktu namanya dipanggil, Biru mual lagi.

"Its okay. You can do it."

[ m o t i o n s ]

"Pertama kali angiography ya, Biru?"

Julian ada disana, mendampingi. Membantu Biru turun dari kursi roda dan membaringkan anak itu di kasur pemeriksaan.

"Kalau MRI pernah ya?"

Julian yang menjawab. "Pernah. 4 kali."

"Waduh, sering juga ya." Dokter itu menempelkan stetoskop ke Dada Biru. "Degdegan ya kamu? Santai aja dong.. nggak sakit kok."

Biru hanya diam saja.

"Nanti Biru baringan disitu ya? Dokter nanti bakal buka arteri Biru, kecil aja. Disini. Nggak sakit karena nanti dikasih anestesi. Siap?"

Biru menurut, berbaring di tempat tindakan. Kemudian menatap ke atas. Membiarkan kapas dingin menempel di kulitnya dan suntikan masuk untuk anestesi lokal ke pergelangan tangannya.

"Sakit nggak Biru?"

Biru menggeleng.

"Biru bisa berhitung? Sampe 10? Bisa?"

"Mulai ngitung gih."

"Satu.. dua.. tiga.. empat..lima..satu...satu..dua.. tiga?.."

Biru tertidur.

"Saya mulai ya Pak. Kalau dari hasil - hasil tes darah dan rujukannya rata - rata ini mengarah ke gangguan otak dan syaraf ya pak?."

Dokter itu membuat irisan kemudian memasukan kateter kecil. Menyuntikan cairan yang nantinya akan membuat pembuluh darah Biru terlihat lebih jelas saat proses X-Ray dan MRI.

"Biru pernah trauma otak sebelumnya ya? Jelas sekali terlihat dari bentuk pembuluh darahnya."

Radiologist itu memperlihatkan Julian beberapa pembuluh darah di otak Biru yang terlihat melebar.

"Ini saya pastikan. Ada pembengkakan yang menyebar di beberapa lokasi di pembuluh darah otaknya Biru. Saya Note dulu ya."

"Biru apa gak pernah mengeluh pusing pak atau sakit kepala?"

"Sering."

"Seberapa sakit Pak? Apa sampe nggak bisa jalan?"

Julian menggeleng.

"Wah.. hebat ya. Ini lumayan bikin selaput otak keteken loh yang sebelah sini."

"Kalau mengeluh badannya tidak bisa digerakkan? Pernah?"

Julian teringat. "Sering. Waktu masuk kesini juga karena sebagian tubuhnya mati rasa."

"Iya ini kelihatan pak kalau bengkaknya menekan temporal lobe. Udah harus jalan pake kursi roda juga ya?"

Julian melihat hasil X-Ray. Beberapa saat kemudian, Dylan memasuki ruangan. Mengambil alih pemeriksaan.

"Dari kapan ini sakit kepalanya pak?"

"'Minggu Lalu..."

"Coba liat rekam medisnya, bentar."

"Ini cairan di otaknya lumayan banyak. Kita pasang shunt aja sementara. Kalau hari ini hasil spinal tap nya nunjukin kenaikan volume cairan di otak atau tulang belakang."

"Biru ada jatuh gak akhir akhir ini?"

Julian menggeleng, kemudian Dylan membalik tubuh Biru. Berusaha mengecek tulang belakang anak itu. Kemudian malah melihat bekas - bekas jahitan di leher dan punggung Biru.

"Terakhir ke rumah sakit, waktu sama sus nya yang lama itu ya? Dipaksa makan?"

"Sebentar, coba tahan ini." Dylan kembali membaringkan tubuh biru. Kemudian mendapat gambaran yang lebih jelas karena cairan tadi menyebar rata.

"Aneurisma ini." Dylan menatap Julian.

"Nanti kita terapi ya, ini emang sering kejadian kalau orang udah pernah cedera kepala."

"Biru akhir - akhir ini mungkin lagi ngerasa stress atau kurang nyaman. Susternya udah ganti?"

"Ini bahaya kalau sampe pecah. Nanti bisa - bisa Biru harus dibuka lagi tengkoraknya. Tekanan darahnya tinggi ya?"

Julian mengangguk.

"Oke. Udah ya. Besok Biru bedrest aja. Nanti kita kasih antikoagulan biar darahnya lancar. Tapi inget, hati hati ya. Itu nanti bikin darahnya encer. Kalau luka besar, bisa pendarahan gak berhenti - berhenti. Makannya saya saranin Bedrest."

Dylan menatap Julian.

"Bedrest ya Pak Julian. Dengan pengawasan full 24 jam."

[ m o t i o n s ]

I. MOTIONS [COMPLETED.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang