15

7.5K 1.3K 110
                                    

[ m o t i o n s ]

"Sorry."

Lana melirik ke arah Julian. Sedikit terkekeh karena harusnya Lana yang minta maaf. Julian yang menjemputnya. Tapi Lana malah menjadikannya tempat sampah untuk curhatannya seperti ini.

Lana sudah menceritakan pada Julian bagaimana background keluarganya. Bagaimana seumur hidupnya ia pakai untuk menutup lubang - lubang hutang yang digali Ayahnya dan membiayai adik - adiknya.

Julian salut sekali. Lana bekerja keras seperti itu. Padahal ia bisa saja memilih untuk meninggalkan mereka dan tidak peduli.

Selama Lana bercerita, Julian memeluknya dan mendengarkan. Menenangkan Lana kalau isakannya sudah semakin keras.

"Lana yang minta maaf Pak Julian. Gak seharusnya malah cerita kayak gini."

"Panggil Julian aja, Lana."

Lana mengangguk. Julian menyodorkan sekotak tisu.

"Sorry, soal yang di rumah sakit minggu lalu."

Lana terkekeh. "Gak apa - apa Pa— Julian. Bener kok, kamu lebih ngerti Biru. Aku itu orang baru di hidup kalian. Gak seharusnya aku se marah itu kemarin. Sorry, once again."

Julian menggeleng.

"Biru itu.. spesial, Lana. Dulu dia nggak kayak gitu."

Lana mengangguk. "Dylan sama Jasmine udah cerita."

"Wait, mereka tau dari mana?"

"Waktu sebelum jadi spesialis, mereka berdua kerja di rumah sakit tempat Biru dirawat juga."

"Oh? Biru stay di rumah sakit itu lama banget. Almost two months. Setiap inci badannya kayaknya udah kena operasi. Waktu keluar juga belum terlalu bisa bicara. Cuma bisa panggil aku aja. Sama sus nya. Padahal dulu Biru tuh aktif dan ceria, Lana."

"Dia itu cerewet. Gak takut buat minta apa aja, tapi sejak kecelakaan. Biru malah nggak tau apa yang dia sendiri rasain."

"Kenapa bisa gitu ya?"

Julian mengetuk - ngetuk setir mobilnya. "Hmm.. panjang ceritanya. Pokoknya saking kerasnya kepala Biru kebentur, ada pembengkakan di luar sama di dalem tengkoraknya yang bikin otak Biru keteken. Belum lagi waktu evakuasi, kan semua serba seadanya. Syaraf - syaraf di tulang belakang Biru itu trauma berat. Tapi kita malah pindahin dia sembarangan."

"Nyesel kalau inget itu, padahal waktu itu Biru teriak teriak kesakitan. Tapi aku nggak nangkep Lana. Aku gak percaya sama Biru waktu itu. Aku lebih percaya sama petugas medis, yang penting Biru cepet dibawa naik."

"Aku masih inget teriak teriaknya segimana. Dan itu terakhir kalinya aku liat Biru bisa punya respon sama sesuatu sampe segitunya. Sekarang, Biru paling cuma bisa nangis aja. Nggak ngerti mau nolak, feeling nya kurang bagus. Baca situasi juga dia nggak terlalu bisa. Ya karena cedera di beberapa bagian otaknya."

"Waktu itu aku nggak tahu kalau efeknya separah itu. Dulu aku cuma pengen dia hidup. Aku jadi sadar kenapa dulu Mama ku lebih milih buat mutusin jalan nafas sama life support Biru. Sekarang aku ngerti Lana, Biru kesakitan terus. Nggak ada seminggu tanpa rumah sakit atau terapi buat dia."

I. MOTIONS [COMPLETED.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang