24

8.8K 1.3K 58
                                    

tw: dissabilities, medical situations, injuries.

kalau ada yang ga suka bisa skip aja ya :)

[ m o t i o n s ]

Suara konstan dari mesin pemompa cairan infus yang tergantung di sebelah kasur Biru membuat Lana terbangun, cairan yang mengisi tabung sudah berpindah seluruhnya, mengalir di dalam tubuh Biru yang terlelap sejak dilarikan ke rumah sakit.

Setelah menerima 6 jahitan di dagu dan pendarahannya dihentikan, Biru akhirnya bisa beristirahat dengan tenang.

Alana melirik ke arah dada Biru yang naik turun teratur, dua buah kabel elektrokrdiogram berwarna merah dan kuning menjulur keluar, merekam aktivitas jantung Biru yang tidak sadarkan diri.

Beberapa saat kemudian, Julian memasuki ruangan. Meraih pundak Alana dan menatap Biru sejenak.

"Gimana kata dokter?" Julian meraih tangan dingin Biru. Kemudian mengelusnya pelan dengan ibu jari.

"Ada aneurisma di pembuluh darah otak Biru. Semakin parah karena Biru stress dan tekanan darahnya tinggi." Julian meraih tangan Biru, meremasnya sedikit kuat, Biru tidak terbangun atau merespon apapun.

"Terus.. kita harus gimana?"

"Biru harus di operasi, Lana. Semakin besar aneurisma nya, semakin susah Biru buat aktivitas. Dia bisa tiba tiba fatigue kayak tadi. Sampai jatuh dari tangga." Julian meringis, melihat kaki kanan Biru yang keluar dari selimut. Pergelangannya diberi penyangga berwarna abu - abu karena terkilir cukup parah. Pergelangan tangan Biru juga tadi terkilir karena Biru sempat mencoba menahan tubuhnya.

"Kapan operasinya?" Lana bertanya.

Julian tidak menjawab, tapi mendekat menghampiri Biru yang membuka matanya.

"Biru?!" Lana juga terkejut.

"Biru.. Papa disini..."

Julian menatap wajah Biru, memegang pipinya berusaha mengajak Biru bicara. Tapi Biru hanya diam. Menatap kosong ke arah langit - langit ruangan.

"Biru?" Julian mengelus dada anaknya pelan. Tapi Biru tidak merespon apa - apa. Malah terlihat tenggelam dalam dunianya sendiri. Kedua matanya menatap ke atas tapi dengan posisi yang terlihat menyakitkan, karena bola mata putihnya lebih banyak terlihat, bukan sesuatu yang normal. Pikir Julian.

"Biru?!" Julian sedikit membentak Biru. Tapi bukannya menyahut. Mata Biru malah berkedip berkali - kali. Biru membuka mulutnya.

Tapi tidak ada suara yang keluar. Alana berdiri dari tempatnya duduk, menutup mulutnya karena terkejut. Karena Biru terlihat seperti kesakitan. Punggungnya melengkung menjauhi kasur, urat - urat di lehernya juga menonjol keluar. Sekujur tubuh Biru mengejang. Mulutnya terbuka dan terus menerus mengeluarkan suara seperti tercekik. Alana menjauhi kasur Biru. Ia takut menyakiti anak itu. Hati Alana langsung mencelos, dia tahu dari Dokter kalau Biru mengalami kejang, artinya aneurisma nya semakin parah.

"Julian! Julian panggil dokter!"

Alana mencoba membaringkan Biru kesamping. Karena menyadari Biru tersedak, ia berusaha menahan tangan Biru yang terus bergerak tidak karuan, menghantam railing kasurnya sendiri.

Dylan datang. Menyuntikkan cairan obat ke jalur infus Biru.

Suster yang lain juga sibuk membantu Alana menahan tubuh Biru.

"Biru.. Biru.. its okay.. relax.."

Sementara mereka sibuk menenangkan. Biru masih terus kejang. Sekarang, kakinya menghantam railing kasur berkali - kali.
Setelah 30 detik, Biru akhirnya tenang. Kondisi kasurnya berantakan. Baju rumah sakitnya hampir terbuka, selimutnya terlempar. Kedua tangan Biru ada di belakang punggung sementara wajahnya terlihat kebingungan. Julian langsung sigap menenangkan.

"Biru! Liat ke Papa ya? Liat Papa." Biru menangis. Menggeleng panik karena ia tidak bisa bernafas.

"A—a—rgh!," sedari tadi mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan suara.

"Suction!" Mereka mengambil selang berukuran kecil. Memasukkannya ke kerongkongan Biru untuk menyedot cairan. Biru mengedipkan matanya dan terbatuk karena selang itu menyentuh dinding tenggorokan.

Setelah itu, semuanya terjadi begitu cepat. Tubuh Biru dibalikkan, dipasangkan oksigen. Biru menangis.

"Biru, Biru tenang ya?"

"Hah— Pa.. A—pa..." Dylan mengernyit. Meraih senter kemudian memeriksa mata anak itu.

"Biru! Biru, halo. Sini, liat sini." Biru malah sibuk menangis. Berusaha menggerakan tangannya yang terkepal kemudian memukul dadanya sendiri.

"Kenapa? Ini kenapa?"

Julian sudah lemas karena semua sibuk. Oksigen Biru juga semakin Drop.

"Biru! Biru liat dokter!" Dylan meraih pundak Biru, sementara kedua mata Biru kembali bergulir kebelakang, sepertinya sebentar lagi Biru kejang. Suster langsung menyuntikan obat lagi ke jalur infus Biru.

Tubuh Biru melemas, punggungnya menyandar ke kasur. Diantara tangan suster dan dokternya.

"Mama.." kata - kata lirih itu keluar dari mulut Biru.

Mereka membetulkan posisi Biru, merapikan alat - alat yang menempel di dada anak itu. Julian melihatnya dengan horror. Biru sama sekali tidak responsif karena terlalu tenggelam dalam rasa sakitnya. Julian bisa melihat baju rumah sakit Biru sudah terbuka sampai ia bisa melihat paha kurus dibaliknya. Cover kasur Biru juga terbuka.

Julian mencoba mendekat tapi ditahan oleh suster yang ada disana.

"Mohon tunggu diluar Pak—"

Julian mau membantah, tapi kemudian ia melihat sendiri kepala Biru terkulai ke samping. Dari hidung anaknya keluar cairan berwarna merah, kontras dengan warna bantal dan kasur tempat Biru berbaring.

"Astaga!"

Itu kata - kata terakhir yang keluar dari mulut Julian.

[ m o t i o n s ]

Terakhir update sampai sini kan yaa.
Ini udah selesai aku draft sampe end. Jadi tungguin aja yaa. Jangan lupa vote dan comment nya. Aku mau revisi days dulu karena banyak yang komplain soal endingnya yang kurang memuaskan. Untuk ngeditnya aku perlu baca dari awal ceritanya, jadi sekalian baca ulang bareng - bareng ya kitaa :)

I. MOTIONS [COMPLETED.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang