26

5.7K 1K 110
                                    

[ m o t i o n s ]

Alana mengelus pelan pundak biru yang terduduk tenang di kursi roda. Dari ruang perawatan yang berada di lantai empat ini mereka bisa melihat jelas rintik - rintik air hujan yang membasahi jendela.

Delapan jam lagi, Biru akan menjalani tindakan. Demam Biru sudah turun, Biru juga sudah bisa turun dari tempat tidur. Tapi lebih banyak diam dan melamun. Ia ingin tahu kenapa Biru tidak pernah sekalipun menangis atau mengeluh, ketika di ruangan ICU bahkan Lana sering melihat orang berteriak - teriak kesakitan, tapi Biru lebih banyak diam.

"Bi, minum dulu ya?— loh?!," Lana terkejut, meraih tangan Biru dan melihat telapak tangan Biru dengan gerakan yang cukup cepat. Biru berusaha menarik tangannya menjauh tapi Lana lebih kuat.

Lana menatap ngeri ke telapak tangan Biru. Ada bekas kuku yang cukup dalam disana. Hampir seperti lecet. Dan cukup dalam lukanya.

"Biru.. kenapa bisa kayak gini?,"

"Bi..?"  Tidak ada jawaban. Biru hanya menunduk, semakin dalam.

Lana meraih tangan Biru.

"Kenapa?"

Biru menggeleng. Tidak bicara. Menggigit bibir bawahnya.

"Maaf." Ujarnya dengan suara yang sedikit gemetaran karena menahan nangis.

Alana sedikit membelalakan matanya. Menangkup wajah kurus Biru dengan kedua tangan hangatnya.

"Pelan - pelan, bilang. Jelasin apa yang Biru rasain. Hm?,"

Lana miris sendiri, saking sulitnya untuk bicara karena sering sekali dipukuli jika merasakan sakit. Biru jadi ketakutan seperti ini.

"Huh.. ga bisa.."

"Pelan - pelan.."

"Biru sakit?,"

Anak itu menggeleng.

"Biru.. sedih?,"

Biru menggeleng.

"Biru Takut..?"

Anak itu mengangguk. Kemudian menatap Lana ragu - ragu.

"I-iya..?"

"Takut sama Oma? Hm?," Lana melirik ke kanan kiri, mengelus pelan rambut Biru.

"Kan gak ada Oma sayang, Oma gak akan kesini." Sebenarnya pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Cuma Julian yang tau Ibunya dimana, Julian tidak memasukkan Ibunya ke penjara karena takut membuat geger, dan memperlakukan nama keluarga.

"Kalau.. kalau operasi itu, bisa bangun lagi kan?," mata polos dan jernih biru menatap Lana.

Deg.

Jantung Lana rasanya mencelos.

"Bisa dong Bi. Kamu kan kuat."

Biru menggeleng.

"Anty, kalau aku gak bangun lagi. Aku boleh minta tolong?,"

Lana menggeleng. "Nggak mau. Biru harus bangun lagi. Baru boleh minta tolong anty."

Biru menatap Lana lama.

"Kan nanti abis kamu sehat, kita liburan bertiga sayang. Hm?,"

Biru tersenyum kecil. Kemudian meraih tangan Lana. Seperti ketakutan, Biru meraih tangan Lana.

Kemudian melirik ke kanan kiri seperti takut ada yang melihat mereka.

"D-diary Mama..Sama handpone Mama..—"

Alana tertegun.

"Gak cuma tas Biru yang ada di rumah itu— tapi.."

"Halo Biru.."

Belum sempat Biru berbicara, dokter sudah menjemput Biru. Di belakangnya Julian dan Kirana mengikuti.

Alana berdiri, merapikan roknya. Biru tersenyum simpul. Kemudian memeluk Lana cepat dan erat.

"Tolong aku ya Aunty."

"I love you. I love you a lot. Aku titip Papa."

"I wish i could be with you and Papa."

[ m o t i o n s ]

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi saat tindakan, ternyata pembuluh darah Biru pecah. Kami bisa menghentikan pendarahannya. Tapi untuk saat ini, dari respon - respon dan kondisinya sekarang. Kami menyatakan Biru dalam keadaan koma."

Setelah operasi, bukannya kabar baik yang mereka terima. Sejak insiden jatuh di villa, Blue memang sudah menunjukan tanda - tanda penurunan kesadaran. Mereka tidak menyangka kalau sekarang kondisinya malah semakin menurun dan dinyatakan koma.

Lana membiarkan Dylan menjelaskan berbagai hal pada Julian. Tapi pandangannya terus tertuju ke arah kaca ruang observasi. Biru ada disana. Dengan kepala yang dililit perban. Mereka tadi melakukan pembedahan untuk menghentikan pendarahan di kepala Biru. Karena otaknya mengalami pembengkakan dan pendarahan, mereka membuka tempurung kepala Biru, dan akan memasangnya lagi ketika peradangan di otak Biru mereda. Nama prosedurnya, craniectomy.

Jasmine mengelus pundak Lana pelan.

Membuat tangisan Lana pecah.

"Jadi, apa yang bisa kita lakuin?," Julian terlihat tegar.

"Menunggu." Dylan memasukkan kedua tangannya ke saku sneli. Melirik Alana dan berganti ke Julian.

"Satu minggu. Dalam satu minggu kita bisa liat perkembangan Biru. Kalau dalam satu minggu tidak ada perubahan. Saya serahkan keputusannya ke keluarga."

"Satu minggu, apa yang bisa kita tunggu dari satu minggu itu?,"

"Untuk saat ini, kita berharap peradangannya mereda dan tidak ada komplikasi lain. Dan jika di hari ke tiga sudah menunjukan kemajuan yang signifikan, saya pikir kita bisa mulai melakukan tindakan lain untuk membuat Biru sadar."

Julian rasanya kembali ke masa lalu. Kenapa selalu dia yang dihadapkan oleh pilihan seperti ini? Tapi sekarang, ketika melihat Alana dan mengingat perkataan Alana kalau Biru itu selalu memilih dirinya.

Maka Julian juga akan melakukan hal yang sama.

Memilih Biru.

[ m o t ions ]

I. MOTIONS [COMPLETED.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang