PART 19
"Sofie kaget lihat kakak datang?"
Malika menatap Sofie heran. Apalagi melihat wajah pucat Sofie yang terlihat ketakutan saat melihatnya. Perasaan saat ini ia merasa sangat cantik dan wajahnya tidak tampak menyeramkan. Lalu, mengapa Sofie terlihat takut? Batin Malika tak mengerti dengan apa yang ditakuti Sofie padanya.
"Pak Bian? Kakak kandung Sofie?"
Irma, kepala sekolah tempat Sofie menuntut ilmu menyambut Bian dengan ramah. Wanita itu kemudian mempersilakan Bian untuk duduk di sofa yang sudah tersedia.
"Sofie, sini. Duduk dekat kakakmu," perintah Irma pada Sofie. Sofie dengan kepala tertunduk mengikut perintah Irma mendekati Bian dan Malika yang masih duduk di kursi roda.
"Jadi, ada apa dengan adik saya, Bu?" tanya Bian menatap Bu Irma dengan mata tajamnya.
"Adik kamu itu mukul anak saya sampai pipinya merah begini." Seorang wanita menunjuk pipi putrinya yang merah akibat pukulan Sofie.
"Anak saya juga di jambak rambutnya sama adik kamu."
"Anak saya di tendang."
"Anak saya juga di pukul dan di tendang sama adik kamu yang bar-bar itu."
Celotehan para wanita yang merasa anaknya di pukul dan di tendang oleh Sofie terdengar bersahutan, membuat Bian dan Malika memindai tubuh tiga murid perempuan dan satu laki-laki yang memang terlihat berantakan.
"Wah, hebat kamu, Sof. Bisa ngalahin mereka semua dengan jurus-jurus yang kakak ajarkan ke kamu," puji Malika tulus dengan senyum lebarnya. "Halah, kurang kamu pecahin kepalanya, Sof. Kalau kakak jadi kamu, beuh, kakak pastikan lawan kakak harus minap di rumah sakit." Malika mendesah kecewa melihat kekurangan Sofie dalam menumbangkan lawannya.
Sementara Malika menggerutu karena kecewa, orang-orang di dalam ruangan terutama wali murid melebarkan mata mereka tak percaya.
"Jadi, kamu yang ngajarin adik kamu buat bersikap bar-bar? Hooh, pantas saja adik kamu enggak berpendidikan, ternyata kakaknya macam kamu," cibir wanita yang mengenakan blous merah. Wanita bernama Selly itu menatap Malika sengit.
Sementara Bian berusaha menggenggam tangan Malika agar pacarnya itu duduk dengan tenang dan tak mengganggu proses mediasi dengan wali murid serta kepala sekolah. Tapi, sepertinya Malika tidak mengerti maksud Bian karena gadis itu tengah memelototi wali murid tadi.
"Tante ini aneh. Berani menghakimi orang tanpa mendengar penjelasan orang lain. Tante ini tipe ibu-ibu yang tahu anaknya benar sendiri tapi anak orang selalu salah," ucapnya sengit.
"Apa maksud kamu, hah? Jelas-jelas kamu tadi bilang kalau kamu yang ajarin adik kamu untuk memukul orang," balas wanita tadi sengit.
"Saya cuma mengajarkan cara melindungi diri, bukan menyerang orang tanpa alasan." Malika beralih menatap Sofie. "Bilang sama kakak kenapa kamu nyerang mereka?" tanyanya pada Sofie.
Sofie bungkam tak mau menjawab pertanyaan kakaknya. Mata gadis kecil itu melirik teman-temannya yang kini memelototinya dengan kode agar Sofie tutup mulut.
Melihat gelagat aneh Sofie, segera Malika menoleh menatap murid-murid yang tengah memberi kode pada Sofie untuk tutup mulut. Bahkan, ada yang memberi kode gerakan leher patah.
"Kenapa itu sama leher kamu? Mau saya sembelih beneran?" sentak Malika menatap murid perempuan itu sengit. "Dan kalian yang dari tadi melotot-melotot gitu, mau saya congkel mata kalian?" tandasnya beralih menatap murid lainnya.
"Kamu jangan berani mengancam anak saya ya," tandas wanita yang mengenakan dress biru. Wanita itu memelototi Malika dengan mata tajamnya.
"Anak ibu-ibu itu duluan yang mengancam adik saya. Kenapa saya enggak bisa balik mengancam mereka?" balas Malika tak mau kalah.
"Sudah, Malik. Biar abang yang menyelesaikan semuanya." Bian mengusap punggung Malika lembut. Kemudian tatapannya beralih menatap adiknya yang duduk di sebelahnya.
"Sekarang, Sofie jawab dengan jujur pertanyaan abang. Kenapa Sofie mukul teman-teman Sofie?" tanya Bian dengan suara lembut. Tangannya bergerak mengusap sayang rambut adiknya yang tengah menundukkan kepalanya.
"Kenapa, hm? Cerita sama abang," bujuk Bian sekali lagi setelah Sofie terdiam cukup lama.
"Mereka bilang kalau aku anak haram. Mereka bilang keluarga aku keluarga hancur."
Sofie menarik napasnya yang terasa sesak mengingat semua kalimat yang terlontar dari mulut teman-temannya.
"Mereka bilang aku anak sial yang enggak punya orangtua kandung dan cuma numpang di rumah mama Prissy dan papa Digo."
Malika dan Bian melebarkan mata mereka tak percaya dengan apa yang di katakan Sofie.
"Woah, hebat cara mendidik kalian pada anak-anak kalian." Bian menatap tajam wanita-wanita yang menjadi wali dari murid-murid nakal itu. "Tahu anak-anak kalian tentang hidup adik saya? Seingat saya hal ini enggak akan diketahui anak kalian kalau kalian sendiri yang berbicara," tandas Bian tajam.
"Aku tahu, Bang. Pasti salah satu dari mereka ada yang bekerja di PC group. Enggak menutup kemungkinan di antara mereka yang nyebar berita ini." Malika menatap tajam satu persatu wanita di dalam ruangan. "Ngaku kalian, siapa yang sudah berani membeberkan masalah ini. Kalau enggak, saya akan perpanjang masalah ini." Malika menatap tajam mereka yang sudah pucat pasi.
"Begini, Mbak, bagaimana kalau kita selesaikan ini dengan cara kekeluargaan. Enggak perlu di perpanjang," ujar Irma menengahi masalah.
"Enggak bisa gitu dong, Bu. Kalau enggak ada tindakan dari keluarga kami, maka bullying verbal dan fisik akan terus dialami Sofie."
Bian mengangguk setuju dengan ucapan Malika. Jika tidak ada tindak lanjutan maka hal ini pasti akan terjadi lagi pada Sofie.
Malika mengambil foto empat orang wali murid secara tiba-tiba dan mengirimnya pada Amar untuk di selidiki.
"Aku udah kirim foto mereka ke uncle Amar. Biar uncle yang cari tahu siapa yang sudah menyebar berita ini," ujar Malika ketika melihat Bian menatapnya.
Tak berselang lama, bunyi telepon terdengar membuat Malika segera mengangkat telepon tersebut.
"Iya, Uncle? Sudah ketemu?" tanya Malika tanpa basa-basi.
"Istri dari Pak Edi, manajer keuangan di PC dan istri Pak Ridwan, kepala staf."
Malika menatap wanita yang mengenakan dress kuning dan blous merah di hadapannya sesuai dengan apa yang dikatakan pamannya itu.
"Suruh mereka menghadap mama dan biarkan mama yang menyelesaikannya," ujar Malika menatap wajah pucat kedua dalang dari masalah ini. Setelah itu Malika mematikan sambungan telepon dan menghela napas.
"Saya heran lho sama ibu-ibu ini. Apa karena merasa sudah banyak harta kalian bisa menggosip kehidupan orang?" ujar Malika sinis. "Apalagi ini anak kecil yang di gosip. Terus, anak-anaknya juga ikutan bully temannya sendiri," kata Malika melipat tangannya di dada. Matanya menatap wanita-wanita itu sengit. Tidak ada yang berani buka suara saat seorang Malika mengeluarkan taringnya.
"Idupin anak orang enggak. Kasih biaya sekolah juga enggak. Tapi, berani gunjing kehidupan orang? Astaga!" Malika menepuk dahinya pelan. "Ngaca dulu sebelum berkata harusnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
OMG! MALIKA
General FictionMalika Tresia Jarec, cewek cantik yang baru menduduki bangku kuliah semester awal. Cewek biang onar yang selalu bikin ulah dimana pun kakinya berpijar. Cewek cantiknya yang sialnya adalah pacar dari Bian Baskara, seorang pengusaha sekaligus dosen ga...