Jika asa menjadi renjana
Langkah tenang menderap angan
Di sini ada hati menjejak
Terdengar elegi rasa sesak
Setiap hari adalah mimpi
Pun kisah tak tertuang di benak
Saat kepedihan mengaliri jemari
Batu kerikil pun bagai perak
Wahai penikmat kata
Tut...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bokir mengembuskan napas lega tatkala tiba di rumah. Tubuhnya lengket akibat keringat dingin juga peluh setelah memacul.
"Runiii! Abang mau kop...." Suaranya terputus. Ia teringat, istrinya Runi telah pergi.
Gontai Bokir berjalan menuju dapur. Aroma kopi buatan Runi masih terbayang di ingatan. Istri, ah, mantan istrinya itu begitu lihai memilih biji kopi untuknya. Sebersit rindu hadir menyapa seiring suara debas yang terdengar nyata.
"Runi, gue kangen ame lo," bisiknya. Dengan seadanya Bokir menyeduh kopi dan kembali duduk di ruang depan. Rumah terasa begitu sunyi. Bokir sempat kecanduan judi hingga Runi terpaksa meninggalkannya diam-diam. Pria itu merutuki betapa bodoh dirinya.
Saat itulah rindu mulai kembali bicara pada belahan hati yang kini entah di mana.
Runi, Abangkaga tau lo ade di mane sekarang. Abangkangenliatloamprah-imprih di dapur. Abang juga kangen ame nasi uduk semurjengkolbuatanlo. Cekrah, dah!
Abangemang salah begaweankagabecus. Udahgituagul-agulan. Runi, maapinAbang, ya?
Diseruputnya kopi yang rasanya ternyata pahit sekali itu. Bokir belum sempat membeli gula. Hidupnya kini sama pahitnya setelah kepergian Runi dan anak mereka, Atun.