24. Perjanjian

456 56 0
                                    

Sudah 2 hari Ratra berada di rumah pak Joko, dia enggan untuk pulang sebelum menuntaskan apa yang dia pelajari. Malam ini tepat tengah malam, Pak Joko selaku tuan rumah mengajak Ratra untuk ke pergi ke rumah gubuk reot yang letaknya tidak jauh dari rumah pak Joko, sedikit menjorok ke dalam hutan tapi tidak sampai masuk terlalu dalam

Rumah itu kecil, kusam dan hampir rubuh karena termakan usia, dindingnya dari kayu jati, dengan daun-daun kering yang merumbai sebagi atap, khas rumah pedesaan yang asri, apakah gubuk itu bisa disebut rumah? Sedangkan saat masuk ke dalam, hanya di dapati sebuah ruangan kecil dengan meja kayu dan bangku yang cukup untuk beberapa orang duduki. Ada satu ruangan lagi di pojok ruang, dengan pintu kayu berwarna coklat tua yang selaras dengan warna rumah, Pak Joko mengarahkan Ratra ke ruangan itu dengan pelita di tangannya sebagai penerangan

Ruangan itu berdebu, gelap dan dingin, tapi terasa sangat sesak seakan berada di ruangan penuh dengan orang-orang yang berhimpitan, sangat berbeda dengan bagian depan rumah yang terasa lega dan nyaman, ada sebuah meja bundar dengan alas kain tipis berwarna merah darah, dupa yang berada di tengah meja menusuk ke dalam hidung, tak lupa juga senampan kembang 7 rupa siap disajikan, di depannya ada sebuah kepala kerbau hitam dengan tanduk panjang dan melingkar

Pak Joko menuntun Ratra untuk duduk bersila di bawah, menunjukkan rasa penuh hormat dan segan, kedua tangannya di satukam di bawah dagu kemudian dia mulai berucap, dengan bahasa yang sulit dimengerti oleh orang awam, seperti  mengucap mantra namun tak ada yang tau arti mantra tersebut, kemudian menunjuk ke arah Ratra yang duduk tepat disebelahnya dengan jempol kanannya, kemudian menunduk dalam-dalam

"Kamu maju selangkah ke depan"
Ucap Pak Joko sedikit berbisik, seolah mereka tengah menghadap pada raja yang agung, enggan untuk menatap ke arah depan. Ratra mengangguk kecil kemudian mengumpulkan keberaniannya untuk maju selangkah ke arah depan. Sebenarnya Ratra sendiri tidak tau apa yang tengah dia lakukan sekarang, perasaan aneh dan kacau yang terus bermunculan di kepalanya mengatakan ini tidak benar! Tapi ambisi dan tekadnya membuatnya berani berbuat untuk hal yang bahkan dia tak tau konsekuensinya

Apa yang ingin dia dapat sekarang adalah uang, ada uang maka semuanya akan baik-baik saja, itu yang dipikirkannya selama ini, uang bisa membeli segalanya

"Ikuti perintah saya, gunakan keris kecil di meja itu untuk menggores sedikit ujung jari kamu, kemudian beri 3 tetes darah ke dalam dupa"
Ratra melakukan semua yang di perintahkan oleh Pak Joko tanpa rasa takut yang berarti kemudian sebuah mantra yang entah apa di ucapkan oleh Pak Joko dengan sangat lantang

Memekakkan telinga dan memenuhi ruang, Ratra sudah ingin menutup telinganya tapi seolah badannya kaku, tak bisa bergerak, nafasnya sudah memburu saat kilatan mata tajam Pak Joko menusuk jauh ke dalam retina matanya, Sambaran petir di luar sana sangat gaduh, seolah tengah bertengkar satu sama lain, cahayanya masuk ke dalam ruangan, menampakkan siluet hitam besar di belakang Pak Joko, tingginya bukan untuk orang normal, kepalanya menyentuh platform ruang, dengan kuku panjang hitam tak terurus, matanya merah darah, seringainya tajam dan mengintimidasi, luka bakar mendominasi seluruh tubuhnya

Bau anyir dan busuk segera memenuhi ruang, kemudian suara berat itu berdengung di telinga
"Kini kita buat sebuah perjanjian besar. Ku beri kau harta dan kekuasaan lalu sebuah keabadian, maka serahkan beberapa nyawa untuk ku tanam, dan darah untuk kumakan"

"Lalu sebuah penerus untukku jadikan sekutu di kerjaan ku kelak abadi disana"

Suaranya lantang dan tegas, seolah perintah yang tak pantas untuk di tolak. Pak Joko menatap Ratra tajam dengan matanya yang telah membulat cukup besar, kemudian dia mengambil sebuah keris yang cukup besar dan panjang dari balik baju kemejanya, mengarahkan nya ke leher tanpa rasa takut dan ragu, dalam satu kedipan mata, keris itu sudah tertancap mengalirkan darah segar yang berbau amis, Ratra sudah gemetar di tempat, keringat dingin membasahi tubuhnya, bibirnya kelu, kakinya sudah lemah tak bertulang

KUTUK!! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang