15 | Masalah Rahen

475 47 0
                                    

15. Masalah Rahen

"Bisakah kamu mengerti, agar kita tidak begini. Katamu ini sandiwara, padahal bagiku ini nyata."

**

Prank!

Suara pecahan guci di ruang tengah, Rahel mengunci rapat-rapat pintu kamarnya. Pak Aditya memarahi Rahen habis-habisan. Orang tua mana yang tidak marah, ketika anaknya keluar masuk BK karena ulahnya bolos sekolah.

"Papa sudah beri kamu fasilitas banyak Rahen, dua mobil papa belikan. Motormu itu juga sudah papa turuti. Kenapa kamu mengecewakan papa?" pak Aditya sepertinya sudah jengah dengan tingkah putranya itu.

"Pulang malam selalu papa toleran, papa beri kamu kebebasan. Papa bahkan nggak sedikitpun mengikat kamu. Papa malu di depan gurumu, Rahen."

"Apa kurang kasih sayang papa?"

"Iya, Pa. Rahen selalu salah. Rahen melakukan kesalahan sedikit tapi Papa memarahi Rahen habis habisan." Lelaki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk sedangkan pak Aditya berada di depannya berdiri, dengan amarah.

"Rahen, papa ingin kamu bisa melanjutkan perusahaan papa. Papa ingin kamu sukses, papa melengkapi fasilitas kamu. Alat musik papa belikan, studio musik buat kamu papa buatkan. Dengan bolos sekolah selama seminggu, kamu mengecewakan papa Rahen." ujar pak Aditya, marah.

"Mas udah, kasian Rahen. Biarkan dia istirahat." Bunda ikut menenangkan pak Aditya.

"Pa, Rahen begini juga karena papa. Rahen nggak dapat sedikitpun perhatian dari papa lagi. Yang papa kasih itu uang, bukan kasih sayang." Rahen menatap papanya nanar.

"Rahen pengen bahagia, Rahen pengen keluarga kita kayak dulu." meluncur tetesan air mata dari Rahen, kin bunda yang merasa bersalah.

"Papa berusaha menjelaskan, Rahen. Tapi kamu tidak mau dengar."

"Apa yang perlu dijelaskan, Pa? Rahen kangen mama, selama ini Papa hanya fokus sama kebahagiaan anak itu." ucap Rahen kalap.

"Siapa maksut kamu, Rahen?!" nada bicara pak Aditya meninggi.

"Papa jangan pura pura tidak tau, Rahen muak dengan sandiwara di rumah ini. Dia udah ngerusak keluarga kita." Rahen melempar tatapan tajamnya ke arah bunda, bunda hanya bisa diam dan menangis.

Ingin rasanya Rahel merangkul bunda, menguatkan wanita itu atas perlakuan Rahen. Tapi yang dilakukannya, hanya diam. Mengintip dibalik pintu kamar.

Perdebatan itu berakhir dengan Rahen keluar rumah, dengan membanting pintu depan. Dan suara mobilnya berderu meninggalkan kompleks rumah dengan kecepatan tinggi.

Bunda menuntun pak Aditya duduk di sofa, menenangkan lelaki itu. Rahel mengulum bibirnya, menahan sesak di dalam hati. Sebenarnya siapa yang salah? Kenapa selalu Rahel dan Bunda yang dia salahkan?

**

Esok harinya, kedua mata Rahel sembab karena menangis semalaman. Bahkan ia berniat tidak masuk sekolah hari ini. Tapi, demi ibundanya ia akan tetap masuk. Menuntut ilmu, meskipun terkadang di sekolah dia hanya melamun kalau tidak, ya tidur.

"Bunda cuma buat nasi goreng, sini makan." sambut Bunda ketika Rahel tampak di tangga.

"Rahel." pak Aditya memanggilnya.

Rahel mendongak, menatap pria berumuran empat puluh dua tahun itu.

"Kurangi bertengkar sama Rahen ya, Rahen itu emosian." Rahel hanya mengangguk.

"Salah paham ini, kita luruskan bersama."

Kenyataannya, Rahel tidak peduli. Kalaupun diluruskan, pasti akan tetap sama. Kehangatan keluarga masih belum bisa ia bayangkan.

"Kemarin itu nomor siapa?" tanya Bunda membuat Rahel terkejut kecil.

"Oh, itu temen Rahel, Bun." jawab Rahel cepat.

"Namanya Arka?"

Rahel tiba-tiba tersedak, segera ia menuang air putih dan meminumnya. "Kok Bunda tau?" tanya Rahel setelah minum.

"Tadi malam dia kirim pesan, kayaknya anaknya baik, ya?"

Rahel hanya diam, "Itu beneran teman kamu, Hel?" kini pak Aditya yang bertanya.

"Iya, Pa."

"Rahel mau berangkat," Sebelum ia ditanya macam-macam Rahel segera mengakhiri sarapannya dan segera berangkat sekolah.















































**

Rahen Rahel [COMPLETED]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang