17 | Usaha Arka (2)

448 45 0
                                    

17. Usaha Arka (2)

"Aku tidak tau, bahkan denganmu aku tidak yakin. Aku hanya menunggu Tuhan menggariskan takdir."

**

Rahel dengan santainya menyesap vanilla latte yang baru dibuatnya. Kini gadis itu berada di balkon kamar, mendengus melihat mobil Rahen yang baru memasuki pekarangan rumah.

"Gue pikir dia punya rumah selain disini." kata Rahel cuek, ya setidaknya ia bisa tenang sehari tidak melihat cowok itu.

Ponsel-nya bergetar, mengalihkan perhatian Rahel. Ada panggilan suara dari Arka. Kenapa jantung Rahel jadi berdetak kencang seperti ini?

"Iya?"

"Hai, Ra." suara di seberang sana hangat menyapa, mendadak hati Rahel jadi menghangat.

"Iya, Ka?"

"Makan yuk, Ra. Gue bayarin deh."

"Sekarang?"

"Ya iya, gue jemput ya?"

"Eh, tapi, Ka..."

"Gada tapi. Oke?"

Tut tuut...

Arka memutus sambungan telepon, dan Rahel menghela nafas kesal. Gadis itu segera berlari menuju lemari besarnya, masa iya keluar sama Arka pake piyama?

Pandangan Rahel jatuh ke arah hem warna hitam putih, juga celana jeans warna putih. Tanpa pikir panjang, ia segera mengganti baju. Rambutnya dibiarkan terurai, dan kini Rahel telah siap, menunggu Arka di balkon kamar.

Ponsel Rahel bergetar, Arka menelfonnya. "Iya?"

"Keluar buruan, gue udah nyampe."

"Iya, bentar." Rahel memutus sambungan telepon dan berlari menuruni tangga.

Sempat tatapannya bertemu Rahen di ruang tamu, cowok itu sedang menikmati keripik pisang sambil menonton televisi. Tapi Rahel cuek-cuek saja, ia melangkah ke arah pintu utama.

"Mau kemana lo?"

Rahel mendengus, "Bukan urusan lo."

Rahen yang mendengar itu hanya menyunggingkan senyum sinisnya. Jarang sekali Rahel keluar malam dengan dandanan seperti itu, seperti anak muda yang ingin kencan. Rahel kalau nggak ke minimarket beli kopi ya kemana lagi? Biasanya hanya mengenakan piyama atau celana training nya. Lah sekarang?

Dih Kenapa Rahen kepo?

"Jauh jauh aja dari rumah, banyak nyusahin juga." Rahen melanjutkan aktivitasnya lagi. Hubungannya dengan pak Aditya sudah agak membaik, Rahen masih menghormati papanya meski bagaimanapun juga.

"Rahen." pak Aditya ikut duduk di samping Rahen.

"Iya, Pa?"

"Adik kamu kemana?"

Rahen mengedikkan bahu cuek, masih menatap layar TV besar itu.

"Kamu gak tanya dia?"

"Gak."

Pak Aditya menghela nafas, "Yasudah, Papa ke kamar ya. Kamu buruan tidur."

"Hm iya, Pa."

*****

"Kita kemana?" tanya Rahel, kini ia berada di mobil Arka. Arka malam ini seperti Arka biasanya, manis dengan pakaian khasnya. Celana jeans selutut dan jaket maroon yang pernah ia pinjamkan ke Rahel.

"Kita?" tanya Arka melempar senyum jahil.

"Ma-maksutnya lo mau ajak gue kemana?"

Kenapa Rahel jadi gugup sih? Fix, ini bukan gaya Rahel.

"Makan."

Dih, kenapa jadi Arka yang jawab singkat. Biasanya juga Rahel.

"Ra. Kamu ada masalah apa sih, Ra?" Arka memberanikan diri bertanya tanpa menoleh, dan tetap fokus ke jalanan.

"Masalah apa?"

"Nggak usah bohong, Ra."

Rahel diam, tidak bisa membalas apapun. Jelas jelas Arka tau dia menangis saat di halte bus dan Arka yang menenangkannya. Ah, Rahel jadi malu sendiri.

"Kok diem?" decak Arka kesal.

"Nggak."

"Mau makan apa?"

"Terserah."

"Makan hati aja."

"Terserah."

Arka berdecak, "Lo pengen tau makanan kesukaan gue?" tawar Arka masih fokus kedepan.

"Apa?"

"Gue tuh suka yang pedas asin gitu."

"Emang apa?"

"Ya, makanan yang pedas asin. Terserah itu apa, yang penting gak ada manisnya."

"Kenapa?"

"Udah sama kamu soalnya."

"Gak jelas." Rahel berhasil tersipu, ia menunduk menyembunyikan wajahnya. Takut Arka tau kalau Rahel malu dibuatnya.

"Ra." panggil Arka.

"Hm?"

"Kalau ada masalah cerita ya, Ra. Gue bisa kok bantuin."

"Iya."

"Tapi kalau itu privasi, dan emang lo gak mau itu orang lain tau. Ya gue gak maksa."

"Iya, Ka."

Arka melirik sebentar Rahel, gadis disampingnya itu sibuk menatap pemandangan dari jendela. "Manis, Ra."

Arka tidak sadar mengucap itu, dan beruntung Rahel tidak mendengar. Arka merutuki mulutnya yang sering tidak sadar mengucap segala tentang Rahel.

"Lo buat gue jadi aneh, Ra." batin Arka, sambil tersenyum tipis.

*****

Rahel diantar Arka pukul sembilan tepat, cewek itu segera memasuki rumahnya. Masih ada Rahen di ruang tamu, cowok itu tertidur pulas di sofa dengan televisi yang masih menyala.

Rahel berdecak sebal kemudian mematikan televisi itu, "Baru pulang lo?" itu suara Rahen.

Rahel tidak menjawab, ia segera melangkah menaiki tangga.

"Rahel." langkah Rahel terhenti.

"Lo darimana?" tanya Rahen, kenapa cowok itu mendadak peduli dengannya?

"Bukan urusan lo."

"Lo abis kencan sama siapa?"

"Bukan urusan lo." Rahel semakin menekankan setiap katanya.

"Jangan biasa keluar malem, gue gak suka identitas gue dibongkar."

"Siapa peduli?"

"Rahel, lo siapa sih di hidup gue?"

"Seperti yang lo bilang, gue itu pengganggu di kehidupan lo."

"Iya, sekaligus perebut kebahagiaan." balas Rahen dingin.

"Nah, tau. Udah kan?"

"Gue nyesel tanya ke lo." Cowok itu pergi, melangkah menuju kamarnya.

Rahel tersenyum sinis, lalu menuju kamarnya. Ternyata dia rindu lama tidak berdebat dengan Rahen. Manusia yang paling membenci kehadirannya di dunia.






















































**

Rahen Rahel [COMPLETED]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang