30 | Cerita Bunda

544 39 1
                                    

30. Cerita Bunda

"Aku tak peduli banyak terlampau maafku agar bisa selayaknya kau maafkan."

**

Sudah tiga hari keadaan Rahel kritis. Gadis itu kini masih terbaring lemah di ruang ICCU. Rahen, Arka, pak Aditya dan bunda pun masih setia menunggu di ruang depan, ruang khusus tunggu pasien. Dua pemuda itu segera melesat ke rumah sakit setelah pulang sekolah.

Alee menginfokan ke grup kalau keadaan Rahel belum membaik, jadi belum bisa dijenguk.

Meskipun begitu beberapa anak kelas menyempatkan datang siang ini setelah pulang sekolah, ada Metta, Nina, Selly dan Alee. Tapi mereka tidak bisa berlama-lama, karena harus mengerjakan tugas kelompok.

Arka yang masih memakai seragam sekolah duduk di kursi tunggu, sedangkan bunda dan pak Aditya dipanggil ke ruangan dokter. Rahen duduk di lantai, agak menjauh dari cowok itu. Hubungan keduanya belum membaik sama sekali.

Seorang perawat keluar dari ruang ICCU, "Pasien bisa dijenguk. Tapi hanya satu per satu yang bisa masuk." ucap perawat wanita itu membuat Arka dan Rahen saling melempar tatapan.

Rahen segera berdiri, berjalan menghampiri perawat itu dengan cepat.

"Saya mau masuk, mbak." kata Rahen dan perawat itu mempersilakan, ikut masuk membimbing.

Arka melirik malas. Pemuda itu mendesah panjang kemudian beranjak, menunggu di depan ruang ICCU.

**

Rahen tertegun, kakinya lemas ketika mendapati tubuh Rahel terbaring lemah disana. Dengan selang yang masih terpasang membantu pernafasannya dan alat-alat kesehatan di sampingnya.

Rahel terlihat tenang disana, kedua matanya tertutup rapat. Kulit wajah gadis itu memucat, membuat rasa bersalah dalam diri Rahen semakin membuncah. Rahen merapatkan diri berdiri di samping ranjang gadis itu.

"Rahel, maaf." ucap Rahen lirih ketika meraih punggung tangan gadis itu. Mengusapnya pelan.

"Rahel bangun, hukum gue. Lo boleh benci gue Lo boleh sakitin gue, Hel." Rahen mengusap ujung hidungnya yang berair, nada bicaranya terdengar serak. Cowok itu membiarkan air matanya luruh begitu saja.

Rahen mengeratkan genggamannya, merasakan dingin di kulit pucat Rahel. Bibirnya juga ikut memucat.

"Rahel, bangun. Lo harus hukum gue. Lo harus bales semua perlakuan gue ke elo. Bangun Rahel," ucap Rahen lagi mengharapkan kedua mata di depannya itu terbuka. Matanya menyayu melihat Rahel yang masih enggan membuka mata.

Tangan gadis itu perlahan bergerak, Rahen merasakannya. Rahen melebarkan mata, mengerjap seakan tak percaya.

"Rahel? Bangun, Ayo bangun." kata Rahen masih memandang tangan putih yang ia genggam itu.

Tangan Rahel bergerak lagi, dan ini lebih lama gerakannya. Rahen benar-benar yakin, pemuda itu berlari menghampiri seorang perawat disana.

"Mbak! Adik saya sadar, Mbak!" panggil Rahen panik, perawat itu berlari segera mengecek keadaan Rahel.

"Mas tunggu diluar, saya akan menangani dulu," kata seorang dokter perempuan yang agak tua baru saja masuk ke ruangan.

Rahen mengangguk, lalu berjalan lemas bercampur khawatir keluar ruangan. Arka yang melihat itu jadi mengrenyit, seolah ingin melempar pertanyaan tapi enggan.

"Kenapa?" tanya Arka mencoba mengelakkan gengsinya, meskipun tatapannya masih dingin.

"Tadi tangan Rahel gerak, dia kayaknya sadar," jawab Rahen lirih, kemudian beralih menepuk pundak Arka.

Rahen Rahel [COMPLETED]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang