Entah kenapa setelah makan malam, Namjoon malah pergi ke ruang kerjanya dan mengerjakan desain baru, alih-alih menghampiri Seokjin di kamar dan berbicara padanya. Biasanya dia akan menghabiskan malam bersama Seokjin bersama cerita-cerita ringannya tentang para model cilik yang akhir-akhir ini banyak direkrut agensinya. Di sela-sela percakapan, Namjoon akan mencium kepala Seokjin yang sibuk berceloteh tanpa henti. Dia pikir suaminya sangatlah menggemaskan dan Namjoon tak tahan untuk tak menciumnya.
Tapi sekarang rasanya sudah berubah. Setiap kali dia melihat wajah Seokjin yang terbayang pasti kejadian malam itu. Namjoon tak buta, dan dia yakin sekali yang dia lihat saat itu adalah Seokjin. Tidak ada keraguan, apalagi Seokjin tak membantah dugaannya itu. Hingga kini pria itu sama sekali tidak membahas apapun tentang malam itu, seolah-olah tidak pernah ada yang tejadi.
Namjoon sampai pusing sendiri. Dia masih tidak tahu bagaimana caranya bersikap 'biasa-biasa saja' setelah kejadian itu. Sulit.
Bahkan setiap kali Namjoon melihat senyum Seokjin, dia malah mengutuk dirinya sendiri dan bergumam betapa bodohnya dia karena bisa melepaskan Seokjin begitu mudah. Ah, belum. Namjoon masih suami sah Seokjin. Tapi janji sumpah di altar dua tahun yang lalu tampaknya sudah menjadi formalitas susunan acara pernikahan saja.
Apa selama ini hanya Namjoon yang bersungguh-sungguh mengucapkan janji itu?
Mendadak amarahnya memuncak. Kertas desain di bawah pensilnya langsung penuh coretan abstrak penuh emosi. Nafas Namjoon memburu dan bahunya naik turun. Dia pun menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pelan-pelan Namjoon berusaha menetralkan jantungnya yang berdetak terlalu cepat akibat emosi dengan menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.
"Jangan biarkan amarah mengendalikanmu, Joon. Tenang." Otaknya bicara dengan dirinya sendiri yang masih bergumul dengan pilihan antara ingin meluapkan kemarahannya pada Seokjin, atau memilih diam dan memikirkan rencana terbaik untuk keluarganya.
Jujur, Namjoon tak ingin pernikahannya hancur. Bukan karena dia sudah bersusah payah mempertahankan hubungannya sebelum berniat menikahi Seokjin. Namjoon terlanjur menaruh hatinya dan memberikan semua kepercayaannya pada Seokjin. Pria itu yakin sekali Seokjin tidak akan pernah berbuat kesalahan dan akan selalu berlaku jujur padanya.
Tapi, kenyataannya sudah tak begitu 'kan?
Tiba-tiba pintu ruang kerja Namjoon diketuk. Sebelum Namjoon menyahut, Seokjin sudah membuka pintu dan menyembulkan kepalanya ke dalam.
"Tidak tidur, Joon?" tanyanya dengan nada khawatir karena Namjoon masih duduk di meja kerjanya daripada datang ke kamar dan memeluknya seperti malam-malam biasanya.
Namjoon pun tersenyum tipis dan menegakkan punggungnya sembari menumpu dagu dengan tangan kiri. "Aku terpikir beberapa desain untuk koleksiku selanjutnya. Kau bisa tidur duluan, Sayang. Jangan hiraukan aku."
Seokjin tidak langsung menjawab. Dia malah masuk ke dalam ruangan dengan tangan di dalam saku kemeja tidurnya. Wajahnya berubah sedih dengan bibir menekuk turun ke bawah. "Aku tidak suka mendengarnya," gumam Seokjin lalu duduk di kursi kecil di depan meja Namjoon.
Kursi itu sengaja diletak disana karena Seokjin suka sekali melihat Namjoon bekerja lembur. Katanya Namjoon seksi sekali saat bekerja. Apalagi saat menggoreskan pensilnya di atas kertas gambar. Seokjin takkan berhenti memuji keahlian menggambar sang suami sampai-sampai Namjoon malu sendiri mendengarnya.
"Kalimat apa?" tanya Namjoon saat Seokjin sudah di depannya.
"Kau bilang aku jangan menghiraukan dirimu."
Mata mereka bertemu. Selama beberapa detik hanya saling menatap, seakan-akan sedang bicara lewat mata. Mata bulat Seokjin menggelap sedih. Berbeda dengan Namjoon yang terlihat limbung mencari makna tersembunyi dari protesnya itu. Entah kenapa ucapannya terdengar sangat egois di telinga Namjoon.
Namjoon nyaris tertawa karena kalimat Seokjin, tapi dia berhasil mengendalikan dirinya dan hanya tersenyum. "Aku hanya khawatir padamu, Sayang. Kau pasti lelah bekerja seharian dan mengurus rumah. Aku tak tega membiarkanmu bangun tengah malam begini." Namjoon pun mencubit pipi Seokjin dan menggoyangkannya dengan gemas.
Tangan Seokjin langsung melepas cubitan Namjoon di pipinya kemudian menggenggamnya dengan menyelipkan semua jari di sela jemari suaminya. "Lelahku hilang setelah melihatmu datang di pintu, tau."
Namjoon tersenyum tipis melihat jemarinya bertautan dengan jemari Seokjin. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanyanya mengalihkan topik. Dia lebih baik mendengar hal lain daripada mendengar Seokjin yang berlaku manis. Semuanya mulai terdengar meragukan di telinganya.
"Berjalan dengan baik. Apalagi sekarang ada model-model cilik. Mereka lucu-lucu. Jadi ingin punya anak," jawab Seokjin yang diakhiri dengan senyum sumringah dan pipi memerah.
Anak.
Impian Namjoon selama ini. Saat pernikahan mereka masih terhitung minggu, Namjoon suka sekali mengatakan ingin punya anak. Dia dan Seokjin bahkan sudah beberapa kali mengunjungi satu panti asuhan yang kebetulan menjadi tempat Namjoon memberikan bantuan rutin setiap tahun.
Ada satu anak yang menjadi perhatian mereka sejak pertama kali ke sana. Namanya Choi Soobin. Matanya bulat mirip Seokjin dan punya lesung pipi seperti Namjoon. Anak polos yang suka sekali makan kue. Dia pasti senang sekali kalau Namjoon datang. Katanya dia merindukan kue yang dibawa untuknya, bukan karena rindu Namjoon ataupun Seokjin. Kepolosannya membuat gemas dan mereka berdua sepakat akan mengadopsi Soobin jika waktunya datang.
"Kau sudah siap mengadopsi Soobin?" tanya Namjoon sembari menatap serius suaminya.
Sebenarnya ini pertanyaan menjebak. Mengadopsi anak bukanlah hal yang bisa dipermainkan, makanya butuh banyak kesiapan untuk mulai mengurus dan membesarkannya agar menjadi yang diharapkan.
Namjoon pun tak mau memaksakan Seokjin untuk mengadopsi Soobin. Dia tak mau terburu-buru, mengingat pekerjaan mereka yang super duper padat. Kekhawatiran selalu muncul saat tekad sudah bulat untuk menjadikan Soobin anak mereka. Dan situasi mereka sekarang membuat Namjoon semakin khawatir untuk membawa Soobin ke keluarga ini. Anak itu harus mendapatkan kasih sayang dua orang tua secara penuh. Namjoon inginnya seperti itu.
Seokjin pun tahu bagaimana terencananya Namjoon untuk masa depan mereka berdua. Dia orang yang selalu bertindak setelah mempertimbangkan semuanya. Berbeda dengan Seokjin yang masih suka bertindak tanpa berpikir. Pun Seokjin menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Namjoon.
Pria berlesung pipi itu lantas tersenyum miring secara sembunyi-sembunyi di balik kepalanya yang menunduk, lalu berkata lagi dengan tenangnya. "Katakan padaku kalau kau sudah siap, Sayang. Kau pasti tahu kesulitan mengurus anak daripada membuatnya. Jadi, kuharap kau memikirkannya matang-matang sebelum mengatakannya padaku. Aku akan menunggu."
Seokjin pun mengangguk. Dia lalu menarik jemarinya dari jemari Namjoon sebelum bangkit dari kursinya. "Kurasa aku mengantuk. Aku akan tidur lebih dulu."
Namjoon mengangguk dan menutup mata ketika Seokjin memberikan ciuman di dahi dengan manis. Pria itu mengantarkan kepergian Seokjin dengan pandangannya dan kemudian pintu ditutup, meninggalkan Namjoon sendiri dengan pikirannya.
Namjoon pun memutuskan untuk kembali bekerja, dengan harapan pikirannya bisa kembali sibuk agar kejadian malam itu terlupakan. Pertama-tama mari singkirkan kertas penuh coretan abstrak ini ke dalam tempat sampah. Mari mulai lagi dengan lembaran kertas gambar baru.
Di sela-sela pekerjaannya mata Namjoon selalu menatap foto dirinya dan Seokjin yang terpasang di pigura kecil di atas mejanya. Foto kasual mereka berdua yang memakai kemeja putih dan celana jins biru muda dengan latar belakang putih. Fokusnya terpaku pada senyum Seokjin yang selalu menjadi candu untuknya.
Tapi sedetik kemudian senyumnya terangkat miring sembari mendengus, mentertawakan diri dengan prihatin.
"Aku tahu kau tidak pernah serius ingin memiliki anak, Seokjin-ah. Matamu tidak bisa berbohong dan aku benci diriku yang selalu memakluminya."
.
Soobin-ah~
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Très cher | Namjin
FanfictionApapun akan dilakukan Namjoon jika itu tentang Seokjin, meskipun pria itu berbuat sesuatu yang merugikan Namjoon. Apapun itu demi si Kesayangan (Très cher). Namjin fanfiction [Dont read this if you are a homophobic!]