Agaknya Namjoon banyak bermenung akibat terlalu tenggelam pada pikirannya sesaat setelah bertemu dengan Yoongi. Pikirannya berusaha keras mencari-cari informasi sebuah nama mantan Seokjin di ingatannya, yang entah kenapa terpikirkan saat dia bicara kemarin malam. Yoongi secara tak langsung mengatakan kalau orang yang sedang dipacari Seokjin adalah mantannya yang dulu. Tapi Yoongi meyakinkannya untuk mencari tahu dulu karena tidak ada yang tak mungkin dari seorang mantan. Apalagi Seokjin hanyut sekali dalam kenangannya saat bicara tentang mantan satu-satunya itu.
"Jin, apa kau masih bicara dengan mantanmu akhir-akhir ini?" tanya Namjoon yang langsung dapat pandangan bingung dan terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu.
Sedetik kemudian Seokjin terkekeh. "Tidak, Joon. Dia mengganti nomornya begitu sampai di Jepang dan tidak ada satupun temannya yang aku kenal untuk dimintai kontaknya." Seokjin meletakkan sepiring telur gulung kesukaan Namjoon di dekat mangkuk nasi agar pria itu mudah mengambilnya.
Malam ini seperti biasa Seokjin sudah berada di rumah sebelum dirinya. Aroma masakan yang menguar nikmat langsung tercium begitu Namjoon menginjakkan kaki dari pintu masuk. Kecemasannya akan Seokjin seketika hilang begitu saja saat mendapati rumahnya masih tampak sama dengan aroma masakan, lampu rumah yang dinyalakan, dan sepasang sandal rumah yang menyisakan miliknya saja. Menandakan bahwa Seokjin masih ingat pulang dan tidak memilih menginap dengan selingkuhannya, yang akhir-akhir ini selalu menjadi kecemasan utama Namjoon. Tapi suaminya masih pulang dan itu melegakan.
"Ada apa? Kenapa menanyakan mantanku?" tanya Seokjin setelah mendudukan dirinya di kursi depan Namjoon dengan semangkuk nasi hangat.
"Hanya terpikirkan selintas saat bekerja saja," jawab Namjoon berusaha tak terlihat terlalu tertarik.
Seokjin pun tampaknya tidak ingin membahas lebih jauh tentang hubungan masa lalunya. Selama makan malam mereka hanya sibuk mengambil lauk dari piring, menyuap dan mengunyah nasi, sambil sesekali menatap teman makan dalam diam. Tidak ada yang bicara sampai sisa seperempat nasi di dalam mangkuk dan beberapa potong lauk yang hampir habis di setiap piring kecil. Bahkan mereka saling membantu mengambilkan minum dan lauk tanpa harus mengatakan apa-apa.
"Joon."
Namjoon langsung mengangkat kepalanya dengan sumpit di ujung bibir.
"Kau tidak perlu mencari tahu mantanku apa dia punya hubungan dengaku atau tidak. Dia bukan pria di malam itu."
Bohong kalau Namjoon tidak terkejut. Matanya terbelalak kemudian tersenyum miring dengan tawa mendengus, mengejek cara bicara Seokjin yang mendadak serius hanya untuk mengatakan kalimat itu.
"Sejak tadi itu yang kau pikirkan, huh? Mencari cara untuk mencegahku mencari tahu orang-orang yang kau dekati?" tanya Namjoon sarkastis lalu melipat tangannya di atas meja setelah meletakkan sumpit.
"Kau menuduhku seperti orang tak tahu malu, Joon. Aku tak suka."
Atmosfir sekitar mereka berubah tegang dalam sekejap. Dingin mencekam dan saling menatap tajam. Mereka bukan tipe yang bertengkar lalu mendiamkan satu sama lain. Apalagi dengan kepribadian Namjoon yang tak tahan tak bicara dengan si kesayangan. Seokjin gampang luluh dan akhirnya suasana menghangat kembali. Tapi untuk yang ini tidak bisa dianggap lalu. Namjoon punya batas kesabaran dan Seokjin sudah melewati batas.
Keheningan mereka diputus dengan satu hembusan napas dari mulut Namjoon yang berusaha menenangkan diri.
"Apa bagimu aku sudah melewati batas karena bertanya tentang mantanmu lagi? Maafkan aku jika itu menyinggung. Tapi aku masih suamimu. Kau harus tahu bagaimana perasaanku saat tahu kau berciuman dengan pria lain. Statusmu masih sah secara resmi sebagai suamiku dan status kita yang public figure membuatku sulit untuk bersikap biasa saja di sekitar teman-temanku. Apa itu tak pernah terlintas di kepalamu, Jin?"
Ingatkan Namjoon untuk menahan suaranya yang mendadak meninggi di kalimat pertanyaan. Seokjin tersentak kecil mendengar semua kata Namjoon yang menggebu-gebu dan terlampau jelas berasal dari lubuk hatinya. Pembawaan Namjoon yang biasanya tenang agaknya mengejutkan untuk Seokjin yang melihat suaminya berubah emosional hanya karena satu kalimat.
"Aku paham kenapa kau meledak-ledak malam ini, Joon. Tapi kau harus tahu sebanyak apa yang harus aku lalui akhir-akhir ini." Suara Seokjin agak melemah dengan mata menatap sedih. Dia hampir menangis, entah untuk apa. Sulit dipastikan.
"Tidak bisa kita membicarakannya bersama? Kau tidak perlu membuatku bertanya-tanya sendiri."
Katakanlah Namjoon sudah bicara dengan egonya, tapi dia mulai mempertanyakan guna dirinya di hidup Seokjin sampai-sampai pria itu memblok keberadaannya yang ingin terus paham tentang dirinya.
"Apa aku hanya pemuas hasrat ibumu yang ingin melihatmu menikah?" tanya Namjoon kesal.
Seokjin tiba-tiba memukul meja dengan kepalan tangannya. "Hentikan. Kau sudah kelewatan."
"Atau mungkin kau menerimaku karena terpaksa? Aku melamarmu di hadapan para reporter dan para penggemar." Namjoon semakin gigih memancing sepercik kejujuran dari rahasia yang disembunyikan Seokjin. Rasanya dia lebih berani setelah membuat Seokjin ngamuk tadi.
Seokjin tak langsung menjawab, alih-alih menanyakan hal lain dengan mata yang menatap sedih hampir menangis. "Kau tak percaya padaku lagi?"
Namjoon terhenyak. Rahangnya mengeras kesal karena pertanyaan yang seolah-olah dia yang sudah mengkhianati. Terdengar bodoh sekali ditanyakan pada Namjoon yang memergokinya berselingkuh. Perdebatan di dalam dirinya antara hati yang ingin menjawab dengan perasaan dan kepala yang ingin menjawab dengan jawaban logis, membuat Namjoon sakit kepala. Tidak ada jawaban aman untuk pertanyaan singkat nan bodoh ini.
"Jangan membuat dirimu tampak menyedihkan, Jin. Aku yang korban disini. Semua kulakukan untukmu sampai aku harus memaklumi semuanya."
Namjoon pun bangun dari kursinya, menatap Seokjin datar. "Aku tidak akan menyerahkanmu begitu saja pada orang lain meski nanti kau bersikeras ingin bersamanya."
Mereka bagaikan dua negara yang sedang perang dingin. Percakapan di meja makan hari itu membuat hubungan mereka berubah menjadi orang asing. Seokjin masih membuatkan sarapan, menyiapkan cemilan untuk di kantor, makan bersama, bahkan mengambilkan mantel untuk Namjoon. Tapi tidak ada satupun kata yang terucap dan momen canda tawa yang biasa memenuhi apartemen besar ini. Mereka memilih bergerak dalam diam dan pergi bekerja tanpa ada kecupan manis penyemangat pagi.
Sesaat Namjoon ada di dalam mobilnya, dia langsung menghubungi Yoongi. Ponselnya tertempel di telinganya tanpa peduli pria itu akan mengamuk karena tidur tenangnya diganggu. Panggilannya pun tersambung saat hampir diputus operator.
"Haruskah kau menggangguku pagi-pagi begini, Joon? Aku baru tidur dua jam," erang Yoongi hampir mengumpat dengan suaranya yang serak.
"Maaf mengganggumu, Yoon, tapi aku ingin minta tolong padamu."
"Mendesak sekali?"
Namjoon mengangguk mantap. "Ya."
Ada jeda beberapa detik dan suara lirih seperti erangan Yoongi yang berusaha bangun dan duduk di pinggir kasurnya. "Katakan padaku."
"Tolong kumpulkan semua kegiatan Seokjin lima tahun ke belakang. Aku punya firasat dia ada hubungan dengan seorang pemilik rumah mode terkenal atau petinggi di agensinya. Sekaligus juga dengan mantannya yang berada di Jepang. Lakukan semuanya dengan tenang seperti kau melakukannya dengan rival-ku waktu itu."
.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Très cher | Namjin
Fiksi PenggemarApapun akan dilakukan Namjoon jika itu tentang Seokjin, meskipun pria itu berbuat sesuatu yang merugikan Namjoon. Apapun itu demi si Kesayangan (Très cher). Namjin fanfiction [Dont read this if you are a homophobic!]