Twenty Eighth

2.9K 420 45
                                    

Bacanya pelan-pelan, ya. Aku tahu kalian muak baca paragraph yang kalimatnya banyak. Juga, aku tahu kalian muak sedih-sedihan mulu. Tapi kali ini kedua-duanya aku pakai jadi siapkan hati dan kuatkan mata. Kalo nggak kuat, lanjutkan besok saja. Good night, everyone~


.


Seokjin tak mengerti kenapa Namjoon mengajaknya ke pantai di cuaca sedingin ini. Bibirnya mulai membiru, kedua lengan merapat erat-erat menyatu ke badan, bahkan jaket tebal padding berlapis-lapis saja masih bisa dilewati oleh angin dingin yang sering kali berhembus kencang.

Sejak langkah mereka masuk ke kawasan pantai dan menginjak selangkah demi selangkah di atas pasir, Seokjin tak berhenti mengomel dan memprotesi pilihan Namjoon ini. Dia bilang dia merasa telah dibohongi yang katanya akan dibawa ke tempat bagus dan hangat. Memang sih pantainya bagus dan air lautnya biru sekali. Jarang Seokjin bisa melihat air laut sebiru itu ketika sedang di Korea. Tapi dimana hangatnya? Ini pantai, tempat terbuka, dan angin terus berhembus kencang seolah-olah sedang berlomba angin bagian mana yang lebih cepat berhembus menuju selatan.

Hebatnya, Namjoon tampaknya tidak terlalu banyak komentar soal angin dingin. Dia malah berlarian seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat pantai. Kaki panjangnya berjongkok di batas garis pasir yang basah akibat sapuan ombak yang naik ke permukaan pantai. Giginya berderet lucu dengan senyumnya yang tercetak lebar melihat ombak yang naik turun menghantam lembut sepatunya. Seokjin reflek tersenyum melihat tingkah suaminya yang menggemaskan seperti anak-anak.

Seokjin pun berdiri tepat di samping Namjoon, ikut menatap kakinya yang disapu ombak yang kemudian surut kembali. Meski anginnya kencang, tapi lama-lama rasanya menenangkan juga.

"Soobin pasti senang bermain-main di sini. Seharusnya kita mengajaknya juga," kata Namjoon sedikit kecewa karena harus merasakan kesenangan ini bersama Seokjin saja. Mereka lupa kalau punya Soobin yang mereka sayangi seperti anak sendiri.

"Kau mau anak itu mendengar 'kelakuanmu' tadi malam, huh?" delik Seokjin ke arah Namjoon yang berada di bawahnya.

Pria itu mendongak, kemudian tertawa kotak menyadari apa yang sedang disebut Seokjin dalam pertanyaannya. "Tidak masalah untukku selagi kau tidak mengeluarkan suara apapun."

Seokjin lantas mendorong lengan Namjoon dengan lututnya sampai pria itu rebah ke samping. Bukannya kesal, Namjoon malah tertawa mengejek ekspresi Seokjin yang menahan malu dengan wajah memerah. Dia pun berdiri, membersihkan pasir-pasir yang menempel di jaket tebalnya, kemudian merangkul Seokjin untuk lebih dekat dengannya.

"Selagi kau suka aku tidak masalah, Jin," ujar Namjoon acak dengan senyumnya menatap laut luas.

Seokjin pun tertawa mendengus, mengejek kalimat menggelikan Namjoon yang entah apa hubungannya dengan kalimat sebelumnya. "Kau ngomong apa."

Namjoon tak menanggapi tapi menarik Seokjin untuk lebih dekat. Entah kenapa di pantai ini hanya ada mereka dan satu keluarga kecil yang sedang melihat anaknya bermain pasir. Tempatnya sangat tenang bahkan suara desir ombak lautnya bisa jelas terdengar di telinga mereka. Meski anginnya dingin, tapi Seokjin sama sekali tak terganggu dan membiarkan angin menerpa kulit wajahnya sampai kedinginan.

"Seokjin-ah."

Mata yang tadinya tertutup pun terbuka. "Ya?"

"Kenapa dulu kau mau menikah denganku?" tanya Namjoon pelan tapi terdengar jelas di telinga Seokjin.

Pertanyaannya membawa Seokjin ke masa lalu, di atas panggung mode, Namjoon melamarnya di depan semua orang dan wartawan yang datang. Dalam semalam dia menjadikan Seokjin pusat perhatian. Orang-orang yang dulunya tak mengenal dia sekarang tahu siapa Seokjin. Namanya disebut dimana-mana, di portal berita hiburan, bahkan menyebutnya sebagai pria beruntung karena dilamar Namjoon.

[END] Très cher  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang