Seokjin baru setengah sadar dari mabuknya, baru akan menyuap sendok kuah ke dalam mulut untuk kelima kalinya, dan Namjoon sudah membuat pikirannya kosong dengan kalimatnya. Mata bulatnya makin membulat menatap Namjoon, bertanya-tanya apakah yang dia katakan itu serius atau hanya candaan pagi untuk mencerahkan suasana.
"Apa kau bilang tadi?" Seokjin tak bisa menahan diri untuk kembali mendengar kalimat ajakan Namjoon dan bertanya.
Yang ditanya malah tersenyum, membentuk jelas lesung pipi di kedua sisi. "Ayo kita liburan. Itu yang kau mau bukan?"
Seokjin lantas menyendok kuah sup di sendok ke dalam mulut kemudian diletak di atas meja tepat di samping mangkuk. Dia melipat tangannya di atas meja, bersedekap sambil mencondongkan tubuh ke depan.
"Kau sedang tidak bercanda, kan? Aku memang ingin pergi liburan denganmu. Tapi melihat situasi kita, rasanya aneh mendengar ajakanmu, Joon. Kau sudah tidak marah lagi padaku?" tanya Seokjin, menatap cemas dan takut pada Namjoon yang masih tersenyum entah untuk apa.
Namjoon malah tergelak. "Kita perlu liburan, Jin. Sebentar lagi tahun baru. Bukankah bagus melihat kembang api di langit Jepang? Atau kau ingin kita bermalam di hotel depan Menara Eiffel? Kau yang rencanakan ingin kemana."
Namjoon yang bersemangat menyebutkan pilihan-pilihan liburan sempat membuat Seokjin tergoda. Sudah terbayang serunya liburan tahun baru mereka, di negeri orang, tanpa mengenal siapa-siapa selain bergantung satu sama lain. Tapi dia mendadak ingat apa saja yang sudah dia lakukan akhir-akhir ini. Rasanya kurang etis pergi liburan di situasi seperti ini.
"Aku tidak tahu harus bereaksi apa, tapi aku sepertinya bisa merasa lega sekarang karena kau tak lagi memandangku tajam, Joon. Tapi bukan berarti aku lupa semua yang sudah kulakukan padamu. Aku memang pantas mendapatkannya," ujar Seokjin sembari tersenyum tapi ekspresinya sedang mengasihani diri dengan menatap sedih mangkuk supnya yang mulai dingin.
"Ayo kita lupakan semuanya sejenak dan menikmati liburan. Menjadi pasangan menikah yang saling mengucap selamat pagi setelah bangun tidur, bercanda dan bicara sampai tak kenal waktu, dan melakukan kegiatan di luar ruangan sampai menggunakan semua uang yang kita punya. Setidaknya kita harus melakukannya lagi sebelum semuanya berubah."
Namjoon tersenyum, dan Seokjin tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum lagi. Namun senyumnya tidak diartikan sebagai rasa senang atau perasaan suka cita. Dia menangis di dalam hati dan ditutupi oleh senyuman. Pun Seokjin tak bodoh untuk sekedar mengartikan kalimat terakhir Namjoon tadi. Kata 'berubah' yang dimaksud pasti tentang perpisahan.
Mereka pasti akan bercerai suatu saat nanti. Hanya saja Namjoon merasa mereka harus melakukan sesuatu daripada hanya menyimpan dendam. Setidaknya ada yang bisa mereka ingat dan kenang ketika nanti mereka sudah berpisah. Yah, memangnya dosa ini bisa dimaafkan begitu saja?
Seokjin lantas mengangkat kepalanya, dan tersenyum lebar ditambah mata yang terbentuk seperti bulan sabit. Manis. Terlalu manis. Sekaligus terlihat sedih.
"Oke. Ayo kita liburan. Aku yang akan memilihkan tempatnya, Joon."
Makan pagi mereka selesai setengah jam yang lalu. Seokjin sedang mandi, sementara Namjoon menunggu gilirannya. Pakaiannya sudah terlepas, digantikan dengan handuk yang melilit di seluruh pinggangnya, membiarkan dadanya tak terbalut apa-apa. Dia berdiri di depan kaca jendela kamar yang masih setengah tertutup oleh tirai hitam, tangan kanan berkacak di pinggang, sementara tangan kiri memegang ponselnya. Jemarinya menekan nama seseorang yang langsung dia hubungi.
Tak butuh waktu lama dan seseorang di seberang langsung mengangkat.
"Apa?" tanyanya ketus tanpa ada kata sapaan yang seharusnya disebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Très cher | Namjin
FanfictionApapun akan dilakukan Namjoon jika itu tentang Seokjin, meskipun pria itu berbuat sesuatu yang merugikan Namjoon. Apapun itu demi si Kesayangan (Très cher). Namjin fanfiction [Dont read this if you are a homophobic!]