"Cincinmu kemana, Joon?" tanya Seokjin saat mereka sedang menonton dengan tangan saling mengait di sela-sela jari.
Namjoon menunduk melihat tangannya yang ada di dada Seokjin, kemudian menatap Seokjin dengan senyum gugupnya.
"Aku takut menghilangkannya jadi aku simpan saja," jawab Namjoon sembari menggaruk belakang kepalanya sembari tertawa canggung. Dia tahu kalau Seokjin tak suka cincin pilihannya dilepas karena dia pernah dimarahi.
Namjoon itu ceroboh luar biasa. Bahkan ponselnya saja bisa tertinggal di bangku taman begitu saja, dan menghilangkannya karena tidak sadar sampai besok. Jadi Namjoon tak mau ambil resiko dengan menghilangkan tanda pernikahannya dan memilih menyimpannya di suatu tempat.
Jawaban Namjoon membuat Seokjin mengkerutkan kening dengan ekspresi tak senang. "Dimana kau menyimpannya? Kau yakin ingat letaknya?"
Namjoon langsung mengangguk cepat. "Ingat. Ada di dalam figura foto kita di kantor. Letaknya tepat di samping layar komputer jadi tidak ada celah untukku lupa melihat foto itu," ujarnya sembari merapikan helaian poni Seokjin dengan halus. Salah satu cara agar pria itu tidak mengomel lebih banyak.
Seokjin pun bangun dari tidurnya di atas paha Namjoon, berhadapan dengannya lalu mengadahkan tangan kanannya. "Berikan padaku cincinnya. Biar aku yang simpan."
Nada bicara Seokjin yang terdengar tegas membuat Namjoon agak kecewa dan melengkungkan bibirnya ke bawah. "Kau tidak mempercayaiku? Aku tidak akan menghilangkannya. Figuranya benar-benar tepat di samping layar komputerku. Hampir setiap detik aku melihatnya, Jin."
Seokjin bergeming, matanya masih menatap lurus Seokjin, bersikeras agar Namjoon mematuhinya. Satu napas panjang keluar dari mulut Namjoon yang mengeluh akan sikap Seokjin yang kadang berlebihan.
"Apa aku perlu mengirim foto dan video saat aku membuka figura dan menunjukkan cincinnya? Aku tidak keberatan mengirimkannya setiap hari. Tapi setelah itu kau harus percaya kalau aku benar-benar menjaganya sepenuh hatiku, Jin."
Mata mereka menatap lurus satu sama lain, dengan Seokjin yang seolah-olah minta penjelasan lebih banyak dari kalimat yang sudah Namjoon katakan tadi. Mereka bicara satu sama lain lewat mata untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Seokjin memecah hening dengan satu hembusan napas pasrah.
"Baiklah. Aku percaya. Jangan sampai kau hilangkan. Itu berharga untukku," ujar Seokjin lalu menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa.
"Tentu saja~ Kau tahu berapa lama aku harus mendapatkan cincin itu darimu? Tidak mungkin aku menghilangkannya." Dan Namjoon menarik pria kesayangannya ke dalam pelukan dengan gemas.
Namjoon ingat saat Seokjin memberikannya cincin saat baru kembali dari New York. Katanya dia membeli itu sebagai tanda terima kasih, tanda pertemanan, dan dibeli sepasang. Ukurannya yang pas di jari manis Namjoon membuatnya terkejut. Jemari mereka tidak jauh berbeda, tapi tentu milik Namjoon lebih besar. Bentuknya pun sederhana dan terbuat dari emas putih. Seokjin membuatnya tak protes sama sekali dan memakainya dengan senang hati.
Kemudian Namjoon melamarnya. Di malam setelah lamaran itu, Seokjin memohon untuk memakai cincin persahabatan mereka sebagai cincin pernikahan daripada membeli yang baru. Padahal Namjoon sudah membelinya dengan aksen berlian. Mereka sempat berdebat, tapi akhirnya Namjoon menyetujui keinginan Seokjin. Pun dia terpaksa memberikan cincinnya pada kolega yang bersedia membayar meski Namjoon tak meminta untuk dibayar kembali.
Namjoon senang mengoleksi barang yang berkaitan dengan Seokjin. Bahkan tiket hadiah yang didapat saat bermain di mesin permainan dan tiket bioskop berdua masih disimpan, ditempatkan di kotak tersendiri di dalam laci meja kantornya. Belasan figurin yang menyerupai Seokjin, seekor alpaca putih, beberapa bulan pernah memenuhi meja Namjoon sebelum suaminya membawa pulang beberapa ekor karena terlalu sesak. Dan juga barang kenangan lainnya yang entah kenapa selalu ada di meja, memenuhi seperti 'sampah' yang tak dibuang karena malas.
Tapi, barang itu tampaknya sudah tak ada arti lagi untuknya.
Jawaban Seokjin yang menolak permintannya membuat Namjoon muak dan lelah secara bersamaan. Entah mana yang lebih mendominasi, tapi perasaannya membuat Namjoon menyingkirkan semua barang itu ke dalam paper bag bekas membeli mantel bulu. Gerakannya seperti orang yang membersihkan sampah, melemparnya begitu saja tanpa peduli apakah ada yang pecah atau tidak. Beberapa boneka pemberian Seokjin juga dilesakkan ke dalam tas, kemudian menyimpannya di pojok lemari baju, tertutup dengan mantel-mantel panjangnya.
Helaan napas panjang Namjoon keluar setelah dia mendudukkan diri di kursi putar dan menatap mejanya yang sudah kosong. Ah, belum. Masih ada satu figura dan satu alpaca kecil. Namjoon langsung membuangnya ke tempat sampah di samping mejanya tanpa banyak berpikir.
Dia lagi-lagi mendesah panjang dan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Lengan kirinya terangkat dan ditempel di atas keningnya dengan mata tertutup. Bayang-bayang wajah Seokjin yang mendung dan sendu saat di panti kemarin, terus menghantui Namjoon. Ekspresi suaminya sulit sekali ditebak.
Terhitung sudah enam belas hari Seokjin 'membodohinya' dengan segala macam ekspresi. Wajahnya bisa sangat serius, sangat ceria, sangat menggoda, dan bisa juga jadi sangat menyebalkan dengan tampangnya yang bersedih, murung, dan banyak melamun diam. Sosok Seokjin yang dikenalnya sangat terbuka dan ekspresif. Tapi sejak hubungannya dengan orang lain terbongkar, Seokjin jadi sulit dibaca sulit ditebak, dan seperti orang asing.
"Bahkan setelah kusingkirkan semua barangmu, aku tetap tak bisa melupakanmu, Jin. Kau suamiku, tapi kenapa hatiku terus bersikeras menyuruhku melupakanmu? Apa sang logika tidak lagi berjalan untuk berpikir maklum? Dia pasti punya alasan kenapa selingkuh."
Namjoon banyak bermonolog malam itu. Dia tidak memaki Seokjin yang memberikan hatinya pada orang lain. Tapi dia menyalahkan dirinya yang tidak pernah bisa sempurna untuk Seokjin. Kepalanya penuh dengan asumsi kalau dia lah penyebab kenapa Seokjin berselingkuh.
Katakan Namjoon sudah buta, tapi dunianya memang hanya berpusat pada Seokjin seorang.
"Aku benci mengatakan ini padamu, Joon. Tapi aku sudah dapat kemungkinan siapa saja orang yang sedang dekat dengan Seokjin." Yoongi memecah diam Namjoon yang kini mengarahkan seluruh atensinya pada sahabatnya. Dia pun mengambil amplop besar berwarna coklat dan menyodorkannya ke arah Namjoon.
Pria itu menaruh sumpit makannya ke atas meja, kemudian mengambil amplop itu ke genggaman. Tangannya bergerak sibuk membuka tali pengunci yang melilit di tengah amplop. Isinya serangkap kertas berisi biodata dengan foto pemiliknya. Yoongi sudah seperti seorang profiler yang mengungkapkan identitas penjahat pada detektif.
"Semuanya bekerja di bidang mode?" tanya Namjoon dengan dahi mengkerut tanpa mengalihkan pandangannya pada kertas.
Yoongi bersedekap di depan dada, mengangguk dengan punggung menegak lurus. "Semuanya orang yang terdaftar menjadi anggota Fashion Empire."
Ada tiga orang yang menurut Yoongi sedang dekat dengan Seokjin, dan Namjoon mengenali semuanya dengan baik. Tidak ada orang yang tidak Namjoon kenal, tapi ketiga orang inilah yang masih Namjoon jaga hubungannya sampai sekarang.
"Apa kau tahu tentang kehadiran mereka nanti?" tanya Namjoon melempar kertas itu bersamaan dengan amplopnya ke atas meja, kemudian bersedekap di depan dada.
"Untungnya, aku kenal seseorang yang bertanggung jawab dalam RSVP. Aku sengaja membuatnya mabuk karena dia gampang dikendalikan saat itu. Hasilnya, dua di antara tiga orang itu dipastikan datang ke acara tahun ini. Mereka adalah Jeon Jung Kook dan Park Jung Woo."
.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Très cher | Namjin
FanfictionApapun akan dilakukan Namjoon jika itu tentang Seokjin, meskipun pria itu berbuat sesuatu yang merugikan Namjoon. Apapun itu demi si Kesayangan (Très cher). Namjin fanfiction [Dont read this if you are a homophobic!]