Twenty Second

2.4K 400 49
                                    

Disini aku pakai sudut pandang Namjoon-Jimin-Namjoon ya. Jadi jangan kaget kalo tiba-tiba malah berpusat ke Jimin padahal awalnya Namjoon. Enjoy~

.


Namjoon baru saja kembali mengantar Jimin dan Hoseok di depan pintu masuk apartemen. Jung Woo juga pulang bersama mereka, tentu tidak satu mobil. Dia tentu tidak akan memilih tinggal di rumah suami orang meski dia ingin tinggal lebih lama. Toh, dia sudah mendapatkan 'hadiah natalnya' dari Seokjin. Tak ada lagi yang dia harapkan lagi di tahun ini, semuanya sudah dia dapatkan.

Namjoon mendapati apartemennya sudah sepi dan beberapa lampu sudah dimatikan. Jam masih menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Namjoon tak melihat siapa-siapa. Langkahnya pun bergerak ke kamar dirinya dan Seokjin, tapi tidak menemukan suaminya di sana dan lampunya masih mati. Samar-samar dia mendengar suara dari dalam kamar kosong di ujung lorong, kamar yang dipersiapkan untuk Soobin tempati setelah dia menjadi anak angkat mereka nanti.

Namjoon mengintip ke dalam ruangan dan mendapati Soobin berada di pangkuan Seokjin yang mendengarkan anak itu membaca buku. Tanpa sadar senyum Namjoon mengembang, terharu melihat kedekatan suaminya dengan anak yang di kemudian hari akan menjadi anak angkat mereka. Bahkan jika dilihat-lihat, wajah Soobin dan Seokjin terlihat mirip. Mata mereka sama-sama besar, kulit mereka sama-sama putih, dan sama-sama suka makan. Oh, jangan lupakan sifat mereka yang manja kalau ada maunya.

Namjoon jadi ingat percakapannya dengan Jimin saat menjemputnya tadi siang.

"Maafkan aku karena sudah melibatkanmu, Jim."

Yang diajak bicara menoleh ke Namjoon, lantas mengangguk canggung. "Tidak apa-apa. Toh, Yoongi hyung tidak marah. Kau pasti kesulitan meyakinkan dirinya 'kan, hyung?"

Kalau saja Jimin tahu apa saja yang sudah dia lewati saat membicarakan ini ke Yoongi, mungkin dia akan ngomel-ngomel lagi perihal sikapnya yang tidak bisa diajak bercanda itu.

"Tidak masalah. Aku sudah mengatakan semua rencanaku padanya," jawab Namjoon yang dibalas anggukan mengerti dari Jimin.

Kemudian ada hening yang muncul di tengah-tengah mereka. Namjoon dan Jimin tenggelam pada pikiran masing-masing. Mereka tidak pernah berada di situasi yang membuat mereka diam seribu kata. Mereka sebenarnya berisik, riuh, dan juga tawa Jimin yang membuat suasana nyaman.

Tapi, kejadian akhir-akhir ini membuat mereka banyak berpikir. Namjoon dengan masalah rumah tangganya, kemudian Jimin yang terseret ke masalah mereka. Namjoon tahu kalau Jimin pernah menyukainya di masa lalu, dan itu membuat Jimin sedikit tidak nyaman ketika pria itu memintanya untuk menjadi pacar sementaranya.

"Tolong bersabar sebentar, ya, Jim. Ini tidak akan lama."

Jimin pun menoleh, menatap sisi samping Namjoon yang bicara tanpa menatapnya. Dia bisa melihat ada sirat sedih dan rasa tak enak hati, sampai tak ingin menghadap ke dirinya.

Jimin lantas tersenyum, bersimpati pada kesulitannya. "Aku tidak masalah, hyung. Kuharap masalahmu cepat selesai."

Namjoon hanya bisa mengangguk dan selanjutnya tak mengatakan apa-apa lagi. Perbincangan canggung mereka pun selesai begitu saja. Namjoon menyalakan mesin mobilnya, dan menyetir menuju apartemennya. Dua puluh menit tanpa pembicaraan apa-apa terasa seperti dua jam perjalanan ke luar kota. Jimin nyaris tertidur karena bosan.

Jimin sudah merasa lelah bahkan sebelum pestanya dimulai. Beberapa kali dia melirik ke Namjoon yang berubah pendiam. Sepertinya Namjoon nyaris tak bicara banyak dengan siapapun selama satu bulan ini, kecuali dengan Yoongi.

Perselingkuhan Seokjin benar-benar merubah Namjoon. Dia dulunya adalah pria yang sangat bahagia, selalu memamerkan bagaimana paginya yang lucu dan menyenangkan ke Jimin dan Hoseok. Tiada hari tanpa memuji-muji Seokjin yang dia sayangi itu. Pernikahannya benar-benar membawa kebahagiaan pada Namjoon. Melebihi kebahagiaannya saat memamerkan koleksinya ke khalayak ramai untuk pertama kali.

Jimin tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali bersimpati. Pun yang hanya bisa dia lakukan hanya menjadi 'pacar' sementara, menjadi bagian dalam rencana besar yang penuh resiko. Di saat seperti ini dia rindu Yoongi dan omelannya.

"Hyung, jangan khawatir aku akan kembali menyukaimu. Aku tidak pernah berpikiran seperti itu. Hanya Yoongi yang kupikirkan sekarang. Jadi, jangan tegang dan santai saja. Aku akan membantu semampuku," ujar Jimin sembari menepuk bahu Namjoon, menyalurkan semangatnya agar temannya kembali ceria seperti dulu.

Mereka pun keluar dari lift begitu sampai di lantai apartemen yang dituju. Jimin tiba-tiba teringat sesuatu, pertanyaan yang selama ini ingin ia tanyakan tapi tak pernah mendapat kesempatan untuk bertanya. Dia pun berlari kecil dan menyamakan langkah di samping Namjoon.

"Hyung, apa rencanamu setelah Seokjin mengaku semuanya padamu?"

Namjoon langsung menjawab tanpa berpikir dua kali. Dia tegas dengan kalimatnya, dan itu membuat Jimin kaget dan canggung secara bersamaan. "Aku akan memaafkannya. Tapi tidak dengan pernikahanku. Aku akan menceraikannya."

Entah kenapa jantung Jimin jadi berdetak cepat dan terasa tak nyaman karena jawaban Namjoon. Dia menyayangkan keputusan itu, pun dia tak bisa bersimpati juga pada Seokjin yang sudah mengkhianatinya. Tidak hanya kepada Namjoon, tapi juga kepada sumpah janji kepada Tuhan di atas altar.

"Aku akan mendoakan kebahagiaanmu, hyung. Hari minggu ini aku pergi ke Gereja."

Jimin tidak berniat bercanda, tapi Namjoon menganggapnya lucu dan tertawa kecil sebagai tanggapan sebelum dia menimpali perkataan Jimin. 

"Kalau begitu tolong sampaikan pada Tuhan untuk memaafkan Seokjin. Mungkin Dia akan mendengarkanmu yang taat ini." Namjoon benar-benar tertawa pada kalimatnya sendiri, tapi Jimin malah kasihan melihatnya. Itu tidak lucu, tapi Namjoon malah membuatnya sebagai lelucon.

Jimin tak tahu harus mengatakan apa selain memberikan tepukan semangat di bahu Namjoon sekali lagi.

Jung Woo ternyata tidak se-clingey yang Jimin kira. Dia pikir pria itu akan terus menempeli Seokjin karena mereka masih di masa berpacaran, pasti ingin terus dekat. Jung Woo hampir mirip dengan Namjoon yang hanya suka memperhatikan dari jauh, tidak terlalu suka menggoda tapi tampak menggoda, dan tentunya dia gampang sekali membaur ketika Hoseok mengajaknya bicara.

Tetap saja Jimin tidak mengerti kenapa Seokjin masih mau mencari orang lain ketika Namjoon sudah memiliki segalanya. Dia cerdas, pekerja keras, setia, dan fisiknya luar biasa bagus. Tidak ada satupun celah yang bisa dijadikan alasan untuk menyelingkuhinya .

"Aku pernah baca kalau Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk hidup lainnya di muka bumi ini. Namun Tuhan lupa memberikan rasa puas pada ciptaan-Nya dan menjadikan setiap makhluknya saling bersaing untuk mendapatkan yang terbaik dari orang lain. Tak peduli bagaimana caranya. Namun dari situlah manusia bisa belajar bagaimana membedakan mana yang haknya dan mana yang hak orang lain."

Entah buku apa lagi yang dibaca Namjoon sampai menjadikannya seorang pria tangguh yang menjadikan segalanya sebagai pembelajaran. Dia menanggapi segalanya dengan kepala dingin meski hatinya panas dan emosi memenuhinya dirinya sekarang.

Namjoon terlalu tenggelam pada pikirannya, menatap kosong pemandangan kota di luar jendela apartemennya. Dia tak sadar kalau Seokjin sedang memperhatikannya di belakang dengan tangan melipat di bawah dada, menatap punggung tegap itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sosoknya yang terpantul di jendela bahkan tak kunjung menarik perhatian Namjoon.

"Joon," panggil Seokjin akhirnya.

Pria itu agak terkejut, melirik pantulan Seokjin di jendela kemudian berbalik. 

"Bisa kita bicara sebentar?" pinta Seokjin ragu-ragu.

Namjoon menarik napasnya, dan mengangguk. "Ya. Mari kita bicara, Jin-ah."



.

[END] Très cher  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang