Twentieth

2.4K 411 30
                                    

Namjoon agaknya banyak berpikir perihal rencana yang sudah dibicarakannya dengan Yoongi di sela-sela pesta tadi. Keputusannya memang beresiko karena dia melibatkan orang lain yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan perselingkuhan Seokjin. Dia bahkan hampir dibanting Yoongi saat mengatakan dia ingin 'meminjam' Jimin sebentar untuk keberhasilan rencananya itu.

Saat itu hari menjelang malam dan semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing, di bawah lampu sorot warna-warni yang menyilaukan mata ditambah suara musik yang memekakkan telinga. Hampir semua tamu berada di bawah batas normal mereka, dan mulai masuk ke mode mabuk masing-masing.

Namjoon menyeret Yoongi ke bagian tersepi di gedung ini, memastikan tidak ada siapapun yang mendengar mereka kecuali telinga masing-masing. Ekspresi Yoongi yang siap memiting kepala Namjoon dan membantingnya, membuat Namjoon panik sekaligus takut. Dia selalu lupa kalau Yoongi bisa beladiri meskipun badannya kecil dan kurus.

Namjoon pun mencengkeram bahu Yoongi untuk membuatnya kembali tenang. "Hyung, dengarkan aku dulu."

Yoongi malah menepis tangan Namjoon dari bahunya. "Tidak jika itu Jimin."

"Hyung, aku bisa saja membanting Jung Woo ke tanah saat itu juga kalau aku tidak berpikir panjang. Menyakiti seseorang yang sudah menyakitimu tidak bisa membalasnya dengan fisik. Balasannya harus setara, hyung. Jimin bisa membantuku untuk 'memukul' mereka."

Yoongi bergeming. Matanya menatap tajam Namjoon tanpa ekspresi. Namjoon mau tak mau harus mengatakan ini untuk meyakinkan Yoongi meski dia nantinya akan membenci.

"Aku tahu Jimin pernah menyukaiku, dan kau pun tahu itu, hyung."

Fakta yang selalu Yoongi benci kalau melihat Jimin berdekatan dengan Namjoon. Bahkan saat tahu Jimin bekerja dengan Namjoon, yang mana mereka akan terus bertemu hampir dua belas jam sehari, membuat mereka pernah berada dalam situasi canggung karena bertengkar hebat.

Bukannya Yoongi tidak percaya si pacar, tapi semua orang tahu, termasuk dirinya, bagaimana mudahnya sang hati berubah-ubah setiap detiknya. Orang yang kau suka bisa saja menyukaimu sekarang, tapi tidak ada yang tahu di menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun berikutnya apa dia masih memiliki perasaan yang sama atau tidak.

Yoongi tidak membenci Namjoon ataupun Jimin. Tapi kekhawatiran yang seharusnya tidak dia khawatirkan yang malah membuat dia membenci dirinya sendiri.

"Jimin tidak akan kembali menyukaiku, hyung. Aku bisa jamin itu," tambah Namjoon berusaha meyakinkan Yoongi yang ragu.

"Izin apa yang harus kuberikan untukmu?" tanya Yoongi masih dengan tatapan dinginnya.

"Biarkan aku mengencani Jimin untuk beberapa saat, hyung."

Oke, Yoongi hampir memiting kepala Namjoon dan membantingnya dengan beberapa pukulan keras di wajah tampannya itu kalau saja dia tidak ingat siapa orang di depannya ini. Namjoon sigap memblokir wajahnya dengan kedua lengan kalau-kalau Yoongi benar sepenuh hati mau membantingnya.

"Aku tahu kau gila tapi ternyata kau lebih gila dari orang gila." Sarkasme Yoongi malah terdengar seperti pujian daripada hinaan di telinga Namjoon. Dia bahkan terkekeh karena kalimat itu.

"Tidak. Kau tidak boleh mengencani Jimin."

"HYUNG!" teriak Namjoon protes.

"Aku lebih senang kau membanting Jung Woo di depan Seokjin daripada harus melihat kau merangkul Jimin hanya untuk memanas-manasi Seokjin," ketus Yoongi sambil menunjuk-nunjuk di belakang badannya seolah-olah menunjuk Jung Woo yang sekarang entah dimana.

"Hyung, aku tidak—darimana kau tahu kalau itu tujuanku, hyung?" tanya Namjoon tercengang mendadak.

"Memangnya apa lagi guna Jimin kalau bukan untuk menghancurkan emosi Seokjin? Hanya itu yang kau pikirkan, Joon? Sesempit itu untuk tahu apa Seokjin masih mencintaimu, bahkan saat dia sudah jelas-jelas menyelingkuhimu? Dia tidak mencintaimu lagi, Joon! Untuk apa kau pertahankan? Sadar!"

Yoongi terdiam sebentar saat suaranya mendadak meninggi dan menggema seram. Dilihatnya wajah Namjoon dengan ekspresi sedih meski terlihat samar-samar.

"Dengarkan aku," lanjut Yoongi sembari menghela napas, menenangkan diri dengan posisi sudah berkacak pinggang.

"Apa kau sudah pernah tanya apa alasan Seokjin selingkuh?"

Namjoon menggeleng.

"Saat kau memergokinya, apa kau tanya kenapa dia melarangmu untuk bertanya lebih lanjut?"

Namjoon menggeleng, lagi.

"Dan apa kau bertanya perihal tingkahnya yang tenang setelah ketahuan berselingkuh?"

Dan lagi-lagi Namjoon hanya bisa menggelengkan kepala.

Oke, Yoongi hampir meledak melihatnya. "Kau payah juga ternyata."

"Hyung..." Bohong kalau hati Namjoon tak sakit mendengarnya, tapi dia tidak bisa marah. Kalimatnya tidak ada yang pantas disalahkan.

"Kau boleh balas dendammu pada Jung Woo. Tapi setelah itu kau harus melepaskan Seokjin, Joon. Dia sudah mengkhianatimu. Perselingkuhan akan terjadi lagi meski pelakunya sudah meminta maaf dan berjanji tak akan melakukannya lagi. Tidak ada yang namanya belas kasihan kepada orang yang mengkhianatimu, Joon. Kau berhak untuk orang yang mencintaimu dengan tulus."

Untuk pertama kalinya Namjoon menitikan air mata di depan orang lain selain Seokjin. Setitik air mata jatuh tanpa sadar dari mata kirinya dan membentuk berkas memanjang di pipi. Namjoon pun menyeka pipinya, terkejut karena tiba-tiba menangis. Apa ini karena sudah terlalu lama menahan sakit sampai menangis pun tidak terasa sama sekali?

"....aku janji tidak akan menyentuh Jimin lebih jauh, hyung. Tolong biarkan aku mengencaninya sebentar. Aku akan memberitahu Jimin perihal ini," ujar Namjoon memohon dengan suara pelan dan kepala menunduk.

Yoongi membenci rencana Namjoon karena Jimin. Tapi dia tidak bisa marah kepadanya. Namjoon berhak memperjuangkan apa yang dia percayai bisa diperjuangkan. Hanya saja caranya terlalu beresiko. Yoongi tak mau kliennya, ah bukan, temannya mendapat masalah baru.

"Kenapa kau tidak bisa memikirkan cara yang lebih baik sih, Joon? Kau membuatku pusing." Yoongi memijit kepalanya yang mulai pening karena kegigihan Namjoon yang sia-sia itu.

Di sisi lain, Namjoon menyimpulkannya sebagai jawaban 'iya' yang diucapkan dengan pasrah. Senyumnya pun mengembang tipis di wajahnya.

"Apa yang akan kau lakukan dengan Jimin? Memberitahu Seokjin kalau kau mengencaninya sekarang?" tanya Yoongi masih sarkastik.

"Tidak menyenangkan kalau aku hanya mengatakan padanya kalau aku mengencani Jimin terang-terangan. Aku hanya akan memberikannya perhatian lebih di depannya saja, hyung. Pun aku berencana mengundang Jimin dan Jung Woo ke acara Natal besok."

"Soobin bagaimana? Kau akan membiarkan anak kecil itu melihatmu bermesraan dengan orang lain sementara suamimu bersama dengan selingkuhannya? Kau benar-benar..."

"Jangan buat aku terlihat mengerikan, hyung. Aku bukan orang yang akan melakukannya tanpa pertimbangan. Pun aku yakin Soobin akan menganggap Jimin hanya sebagai teman dekatku ketika aku memperhatikannya," komentar Namjoon sembari tertawa miris untuk dirinya sendiri yang sudah terluka di sana-sini akibat perkataan Yoongi.

"Ya, terserah kau saja, Joon. Aku tidak akan ikut kali ini. Beraksilah sendiri. Kulanjutkan apa yang sudah kukerjakan dari awal. Bermain di bawah." Yoongi mengibaskan tangannya di wajah Namjoon, tanda kalau dia memberi izin kliennya untuk mengerjakan apa yang dirasanya penting untuk menyelesaikan masalahnya itu.

"Aku tidak akan membuat masalah baru, hyung. Aku janji," kata Namjoon berubah semangat dan senang secara bersamaan. Dia bahkan menyatukan kedua tangannya erat-erat di depan dada.

"Pastikan saja Jimin tidak terkena dampak psikis dan fisik dari tindakanmu, Joon. Dan kalau kau terjebak di ujung jalan, kita bisa melakukan gugatan hukum. Aku akan berusaha keras menyiapkan semuanya untukmu."

Namjoon tak bisa menahan harunya dan memeluk Yoongi. Hanya sebentar dan Namjoon melepas pelukannya itu lagi.

"Maafkan aku untuk semuanya, hyung. Aku akan mengembalikan Jimin padamu secepatnya."



.

Pelan-pelan, ya kita bongkar semuanya.

[END] Très cher  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang