Twelfth

2.4K 422 35
                                    

Jam makan siang sudah selesai beberapa menit yang lalu. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang menjelang sore. Beberapa anak panti terlelap setelah sepuluh menit sesudah makan. Mereka membersihkan dapur dan meja makan, kemudian ada yang segera pergi tidur dan ada juga yang bermain kembali di lapangan. Soobin tidak termasuk anak-anak yang bersemangat itu. Dia memilih untuk tidur setelah kenyang menyantap kue-kuenya dengan bahagia.

Sekarang Namjoon sedang duduk dengan Seokjin yang berada di sebelahnya. Tangan masing-masing menggenggam gelas kertas dengan kopi yang hampir mendingin. Tidak banyak yang mereka lakukan. Hanya duduk bersebelahan dengan jarak setengah meter, menatap objek apapun yang ada di depan mata, mulut terkunci rapat dengan kecanggungan yang entah untuk apa.

Perdebatan tadi malam membuat mereka bungkam. Rasanya seperti akan ada perdebatan lainnya jika keluar satu kalimat dari mulut. Mereka mulai memilah-milah kata yang ingin diucap. Tidak seperti dulu yang aktif sekali bicara apapun seperti bertemu teman lama.

"Aku tidak tahu kau datang kesini." Namjoon berujar, memecah keheningan setelah sepuluh menit saling diam.

Seokjin menoleh, kemudian meluruskan kepalanya lagi sembari menumpukan kaki kanan ke atas kaki kiri. "Soobin menelponku." Gelas kopi di tangannya kemudian dia letak di sebelah pahanya.

Namjoon pun menatap Seokjin penuh minat. "Soobin?"

"Ya. Aku langsung datang setelah menelpon. Dia bilang dia merindukanku, dan kau."

"Seharusnya kita datang bersama."

"Aku memang ingin mengajakmu. Tapi, Jimin bilang kau sedang ada wawancara. Jadi, kupikir kau akan sibuk setelah itu." Seokjin menunduk sembari menatap jemarinya yang bermain-main dengan kulit mati di pinggir kuku jari telunjuk.

Namjoon reflek mencegah pria itu menguliti tangannya lebih jauh yang bisa berujung pada luka, kemudian memberikan gelas kopinya kembali. Kebiasaan buruk Seokjin ketika sedang tak ada yang dia pegang atau sedang gugup dan bosan.

"Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat kalau itu karena Soobin. Pekerjaanku bisa menunggu." Namjoon membalas perkataan Seokjin sembari menyodorkan gelas kopi yang ada di sebelah paha Seokjin kepada pemiliknya.

Seokjin mengambilnya tapi malah memindahkannya ke sisi kosong di sebelah pahanya. Tidak berminat meminumnya lagi karena sudah terlalu dingin. Namjoon melirik gelas kopi itu lalu ke Seokjin yang menunduk.

Di mata Namjoon, prianya tidak lagi terlihat sama. Ada banyak keraguan di matanya dan dia lebih banyak seperti sedang berpikir. Namjoon bahkan baru menyadari kalau kantung mata Seokjin terlihat menghitam dan rambut yang semakin panjang.

Sudah hampir dua minggu Namjoon tak memperhatikan Seokjin seperti biasa. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja atau langsung tidur setelah makan malam. Seokjin bahkan tak lagi mengganggunya saat Namjoon lembur, dan lebih memilih untuk tidur tanpa menunggu. Interaksi mereka menurun, bersamaan dengan tingkat kepedulian mereka yang semakin terasa asing.

"Joon-ah."

Seokjin memanggil setelah lima menit diam (lagi) dengan nada seperti ingin memberitahu sesuatu. Namjoon menoleh, menunggu sang pria melanjutkan ucapannya.

"Aku ingin kau bahagia, Joon."

Kening Namjoon segera mengkerut dengan mulut sedikit terbuka, seolah-olah mengatakan 'apa maksudmu' dengan ekspresinya yang kebingungan.

"Alasanku tidak menyetujui rencana adopsi Soobin karena aku tidak mau dia punya orang tua yang buruk." Senyum Jin mengembang tipis yang terlihat sedih di balik kepalanya yang tertunduk.

Namjoon bergeming. Dia tidak tahu harus mengatakan apa karena semuanya jadi abu-abu sekarang. Seokjin yang menyakitinya tanpa ampun beberapa hari ini menumbuhkan kebencian di hati Namjoon. Dia jadi terlihat menyebalkan karena wajahnya membuat Namjoon ingat kejadian malam itu. Namun perkataannya tadi malam dan sekarang membuat Namjoon terdiam, mempertanyakan apa alasan semua tingkah Seokjin yang berubah drastis. Ingin bersimpati tapi fakta bahwa Seokjin mengkhianatinya tak bisa dilupakan begitu saja.

Pun Namjoon masih penasaran siapa dan kenapa dia berselingkuh.

"Kau akan menjadi orang tua yang baik, Jin." Nada suara Namjoon terdengar menenangkan untuk hati Seokjin yang meragu.

Namun Seokjin membantahnya dengan anggukan cepat. "Tidak. Soobin akan kesulitan jika dia punya orang tua sepertiku."

Rahang Namjoon mengerat menahan emosi karena nada pesimis Seokjin tentang dirinya. "Kau salah. Soobin akan sangat senang kalau dia punya orang tua sepertimu. Kau menyayanginya dan tidak ada alasan untuk Soobin membencimu. Jika kau bicara tentang rumah tangga kita yang mungkin bisa hancur karena bercerai, kau harus ingat kalau aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan memperjuangkanmu sama seperti dulu. Tidak akan ada yang berubah kalau itu untukmu, Jin."

Kalimat Namjoon hampir membuat Seokjin menangis. Bibir bawahnya terangkat kecil, matanya menatap Namjoon dengan tatapan sedih, sekaligus mengiba karena tekad suaminya yang hingga akhir masih memperjuangkan dia, meski Seokjin rasanya ingin menyerah saja.

"Aku tidak akan menghalangimu, pun aku tidak akan menanggung rasa sakitmu jika hasilnya tidak sesuai dengan keinginanmu."

Tanpa diperingatkan pun Namjoon sudah tahu apa konsekuensinya. Tindakannya selalu berakhir dengan resiko besar meski sudah ratusan kali dipikirkan. Jika pilihannya adalah mempertahankan atau melepaskan, dia akan tetap dapat sakit yang sama besar. Kepercayaannya rusak karena keraguan dan kecurigaannya yang semakin besar setiap harinya.

"Kau tahu betul aku tak pernah berucap tanpa berpikir, pun bertindak selalu dengan perhitungan. Jika aku ingin kau, sampai akhir aku ingin kau. Tidak ada yang lain." Namjoon membuat jantung Seokjin mencelos sekali karena kalimat dan ekspresinya yang serius penuh kesungguhan. Namjoon tak pernah main-main dengan kalimatnya dan itu membuat Seokjin takut.

Diam-diam tangannya mengepal erat di atas pahanya menahan kesal pada dirinya yang menjadi lemah di depan Namjoon. Dia sudah bertindak berani memutuskan untuk bersama Jung Woo, tapi Namjoon berhasil mengangkat rasa bersalahnya ke atas permukaan dengan mudah. Dia sudah menguburnya, tapi suaminya berhasil membongkarnya kembali.

"Tidak bisakah kita berhenti membicarakan ini setiap hari? Aku lelah," rengek Seokjin hampir seperti gumaman untuk dirinya.

"Kalau begitu akhiri ini semua dan kembalilah padaku. Aku akan memperlakukanmu dengan lebih baik dari sebelumnya."

Musim dingin kali ini terlalu dingin daripada tahun-tahun sebelumnya. Pun badai datang lebih cepat di awal bulan ini dengan angin yang membawa bencana besar, tanpa peringatan sama sekali. Namjoon hampir mati, tapi dia mampu bertahan hidup di sisa-sisa napasnya. Sembari mencari tahu penyebab sang angin yang datang  menghancurkan hidupnya. 

Namjoon mencintai Seokjin lebih dari apapun. Namun badai terlalu semangat menerjang mereka sampai-sampai dia harus kehilangan Seokjin. Namjoon tidak tahu apakah Seokjin benar-benar menyukai kekasih barunya, atau memang ada sesuatu yang dia sembunyikan, sampai dia mengatakan ini.

...kau harus tahu sebanyak apa yang harus aku lalui akhir-akhir ini.

Namjoon berada di titik tengah antara ingin mengikuti hatinya yang buta karena Seokjin untuk terus memaklumi, atau logikanya yang sudah memusuhi Seokjin dan menyuruhnya untuk balas dendam. Dua sisinya punya konsekuensi yang sama besarnya. Namjoon tak tahu harus memilih sisi yang mana, bahkan saat mendengar jawaban satu kata penuh makna dari suaminya.

"Maafkan aku."



.

Percayalah,guys. 

Perang batin lebih menguras emosi daripada menggunakan fisik. 

Aku banyak berpikir di chapter ini karena harus memikirkan bagaimana ekspresi dan emosi Seokjin yang masih abu-abu. Aku tak berniat membuatnya misterius dengan menyimpan kebenaran. Fokusku masih ke permasalahan mereka berdua tentang hilangnya rasa percaya, saling curiga, dan mulai menutup diri satu sama lain. Karena itu aku jadi kesulitan mengetik chapter ini, jadi aku minta maaf kalau rasanya terkesan bertele-tele, menyebalkan dan membosankan. Aku hanya ingin kalian tahu bagaimana rumitnya sebuah hubungan jika salah satu dari mereka sudah berselingkuh. Cerita ini rumit, menguras emosi dan energi, dan terkadang tak masuk akal karena Namjoon yang terkesan bucin. Maafkan aku, tapi tolong dukung aku sampai akhir juga. Terima kasih :')

[END] Très cher  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang