Twenty Third

2.3K 416 28
                                    

Namjoon lagi-lagi tenggelam dalam diam, memikirkan perkataan Seokjin tadi. Percakapan mereka membuka semua hal yang selama ini dia ingin dengar dari Seokjin. Keningnya mengkerut, semakin keras dia berpikir ternyata keadaannya tidak semudah yang dia pikir. Dia terlalu jauh bertindak dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Semua yang sudah dia lakukan hanyalah tentang dirinya, tidak pernah bertanya bagaimana Seokjin selama ini.

"Sial!"

Rambutnya bisa-bisa lepas dari kulit kepalanya kalau sekali lagi dia tarik sebegitu kerasnya. Namjoon berjongkok di depan kaca, menatap tanpa tujuan ke luar jendela, kemudian mengusap kasar wajahnya. Kepalanya penuh dengan kalimat-kalimat dan ekspresi kesulitan Seokjin selama dia mengatakan tentang dirinya.

Seokjin berselingkuh bukan karena dia ingin, tapi ada alasan dibalik itu. Dan Namjoon tak pernah berusaha ingin tahu alasannya. Dia menunda, dan bertindak sendirian seolah-olah dirinya akan tahu semua tanpa diberi tahu. Padahal dia hanya harus mendengar langsung dari Seokjin dan mempercayainya.

Tapi kenapa terasa sulit untuk melakukan satu hal itu? Mempercayainya kembali...

"Aku ingin mengadopsi Soobin," ujar Seokjin memecah keheningan setelah lima menit menundukkan kepala.

Namjoon jelas senang. Dia langsung mendekati Seokjin yang duduk di ujung sofa, hampir memeluknya, tapi kalimat selanjutnya membuat Namjoon terdiam.

"Tapi, aku merasa tak pantas."

Bohong kalau Namjoon tak suka. Ingin rasanya protes tapi melihat ekspresi Seokjin yang terus menunduk dengan jemari bermain-main dengan ujung kaosnya membuat Namjoon khawatir. Bahkan dia tak berhenti menggigit-gigit bagian dalam bibirnya. Kebiasaan ketika sedang gelisah.

Namjoon hanya bisa bertanya 'kenapa' dan selanjutnya tak ada jawaban dari Seokjin. Matanya menolak menatap Namjoon dan terus menunduk. Namjoon pun menggeser duduknya dan semakin dekat dengan Seokjin. Dengan keberanian yang selama ini dia kumpul untuk menghadap semua masalahnya, dia menggenggam tangan Seokjin erat-erat. Berharap keberanian yang dia punya terserap oleh suaminya untuk mulai berterus terang padanya.

"Aku tak marah kalau akhirnya kau bersama Jimin, Joon. Ini semua salahku. Aku pun tak mau Soobin punya ayah sepertiku yang dengan mudahnya mengkhianatimu." Suara Seokjin bergetar. Sepertinya dia hampir menangis mengatakan kalimat itu.

Namjoon tahu kalau Seokjin tak bersungguh-sungguh mengatakan itu. Pun dia tak berbohong kalau hatinya sakit melihat Seokjin seperti itu. Sudah lama mereka tidak bicara empat mata, tapi saat kembali melakukannya yang dia dengar hanya hal yang menyakitkan.

Namjoon tak tahu harus berkata apa, namun menarik prianya ke dalam dekapan. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung lebar Seokjin dan mengelus rambutnya. "Menangislah jika kau ingin menangis," ujar Namjoon lembut tepat di telinga Seokjin.

Namjoon tak berharap prianya akan menumpahkan semua kesulitan yang sejak lama dia tahan ke dalam tangisan. Pun dia tak berharap semuanya akan terungkap dalam satu malam. Hanya saja agaknya kecewa karena Seokjin tak kunjung membalas dekapannya. Dia percaya kalau saling memeluk bisa membuat mereka lebih dekat. Tapi Seokjin merasa dirinya sudah tak pantas membalas pelukan Namjoon. Terlalu banyak yang sudah dia lakukan sampai mengecewakan suaminya sendiri.

Namjoon pun mengendurkan pelukannya. Tangannya mengelus kepala Seokjin, tersenyum tipis, bersimpati pada keadaan suaminya yang berantakan. Dia bahkan masih tak mau menatap Namjoon.

"Ingin pindah ke kamar? Disini dingin."

Seokjin tak mengatakan apa-apa selain mengangguk. Namjoon senang dia tidak menolak. Apalagi saat dia menggendong Seokjin, menempatkannya ke kasur, dan menyelimutinya dengan hati-hati. Agaknya lega karena tak ada perlawanan sama sekali.

[END] Très cher  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang