Seokjin terlihat sangat bersemangat sekali di pemotretan hari ini. Para staf dan kameramen mengira karena dia sedang memakai pakaian rancangan milik suaminya. Semangatnya membuat santai sang kameramen yang berhenti mengarahkan gaya setelah tiga kali jepret. Dia malah sibuk memuji wajah tampan Seokjin dan yang ditimpali dengan candaan kalau bajunya yang membuat dirinya bersinar. Seokjin pandai membuat suasana pemotretan menjadi nyaman dengan kalimat dan tawa renyahnya.
Butuh waktu setengah hari untuk menyelesaikan pemotretannya. Seokjin tak bisa bohong jika ditanya bagaimana lelahnya dia hari ini. Didandani, bergaya sampai mati gaya, dan tak bisa mengeluh sama sekali. Barulah saat sudah di dalam ruang ganti, dia bisa menyandarkan punggung sembari merenggangkan kakinya yang hampir mati rasa.
Seperti tahu kalau Seokjin sudah selesai pemotretan, satu pesan masuk ke ponselnya yang berdenting di atas meja rias. Seokjin pun mengambilnya dengan malas, dan bertambah malas ketika tahu siapa yang repot-repot menanyakan kondisinya di saat hari sibuk seperti ini.
"Kutebak pasti kau sudah selesai pemotretan? Mau makan siang bersama?"
Tanpa banyak pikir, Seokjin membalasnya dengan singkat lalu mengunci ponselnya lagi.
"Tidak. Mungkin lain kali. Aku ada jadwal lain setelah ini. Maaf."
Napasnya mengeluh panjang sembari mengadahkan kepalanya ke langit-langit. Matanya terpejam rapat sembari menggigit bibir bawah. Kebiasaan yang tidak sengaja menjadi kebiasaan karena sering menggoda Namjoon yang bilang bibirnya semakin tebal karena sering digigiti. Padahal dia memang terlahir dengan bibir penuh seperti ini dan tidak ada hubungannya dengan menggigit.
Mengingat Namjoon membuat Seokjin membuka matanya. Dia menarik kepalanya, menatap kosong ke arah meja rias yang penuh dengan produk pemoles wajah, kemudian bangun sembari menyambar ponsel. Langkahnya bergerak cepat menuju kantor Seokjin sembari menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya.
Dia bertemu Jimin yang baru saja keluar dari kantor suaminya, dan entah kenapa malah terkejut begitu mereka bertemu tatap. Jimin buru-buru membiasakan dirinya dan tersenyum yang malah terlihat aneh di mata Seokjin.
"Apa Namjoon ada di dalam?" tanya Seokjin mengabaikan sikap Jimin tadi.
"Tentu. Aku baru bertemu dengannya. Silahkan masuk, hyung," jawab Jimin ramah dengan ciri khas senyum bulan sabit.
"Oke, terima kasih." Seokjin dan Jimin pun saling menunduk kecil sebagai tanda hormat sebelum pergi ke tempat yang ingin dituju. "Oh ya. Kau mau ikut makan siang dengan kami? Rencananya aku mau mengajak Namjoon, Hoseok dan kau. Kau belum makan siang, kan?" tawarnya kembali berbalik ke Jimin yang juga ikut berbalik karena terkejut Seokjin kembali mengajaknya bicara.
Jimin langsung menggeleng pelan, menolak dengan sopan. "Aku sudah berjanji dengan orang lain. Mungkin lain kali, hyung. Nikmati makan siangmu dengan sang suami."
Seokjin lantas tersenyum dan mengangguk.
Saat Seokjin masuk ke dalam kantor Namjoon, pemandangan kantor yang terlihat sepi membuatnya bingung. Jimin bilang kalau suaminya ada di dalam. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa. Pun dia masuk ke dalam, menutup pintu, dan berjalan sembari mengedarkan seluruh pandang ke ruangan untuk mencari sosok Namjoon.
Senyumnya mengembang lega begitu mendapati prianya sedang tidur di sofa panjang dengan tangan melipat di atas dada. Napasnya berhembus teratur dan tenang. Saat Seokjin mendekati dirinya untuk mengendurkan dasi di lehernya, hidungnya bisa mencium samar-samar bau alkohol. Sepertinya Namjoon habis minum tadi malam dan masih dalam keadaan mabuk.
Pelan-pelan Seokjin mendudukkan dirinya di bawah sofa, tepat di samping Namjoon. Dia bisa melihat wajah suaminya dalam jarak sedekat ini. Beberapa hari ini Namjoon tidak pulang ke rumah dan memilih untuk tidur di kantor. Seokjin yakin suaminya sedang sibuk menyiapkan koleksi baru dan juga pemotretan untuk promosi. Untungnya hari ini dia menjadi model untuk koleksi Namjoon, jadi dia bisa mengecek keadaan suaminya.
Yah, setidaknya Namjoon masih suami legalnya.
Atensi Seokjin kemudian teralihkan ke meja kaca di depan sofa yang sedang penuh kertas-kertas setengah rancangan yang dicoret-coret kasar. Terlihat seperti Namjoon meluapkan emosinya lewat pensil ke atas kertas desain yang hampir jadi. Bahkan ada beberapa yang sobek karena terlalu ditekan dan remasan kertas di bawah meja. Seokjin tidak berani membereskan milik Namjoon. Dia mungkin akan membutuhkannya nanti, jadi Seokjin membiarkan begitu apa adanya.
"Ah, cincin..." gumam Seokjin dalam hati.
Seokjin pun bangun dari duduknya, kemudian melangkah ke meja kerja Namjoon yang sama berantakannya. Figura berisi cincin itu tidak ditemukan di atas meja, berikut dengan figurin alpaca putih yang selalu mendampinginya. Seokjin mengira kalau dua benda itu tertimbun buku dan kertas-kertas di meja. Tapi dia tidak menemukannya bahkan setelah mengangkat semua barangnya dua kali. Perasaan cemas pun menghantui Seokjin saat itu juga.
Tidak mungkin Namjoon sengaja menghilangkan figuranya kalau dia tahu ada cincin pernikahan di dalam sana. Pun kalau misalnya hilang, Namjoon sudah pasti mengadukannya seperti yang pernah dia lakukan tahun lalu. Tapi kali ini Namjoon tidak mengatakan apa-apa.
Tidak mungkin sengaja, kan?
Mau tak mau Seokjin membangunkan Namjoon yang masih tidur dengan terburu-buru.
"Seokjin? Pemotretanmu sudah selesai, ya?"
"Cincin! Cincinmu kemana? Figuranya dimana, Joon? Kau tidak membuangnya, kan?" Seokjin langsung memutus ucapan Namjoon dan menggoyang-goyangkan kedua lengannya histeris.
Ditodong pertanyaan begitu membuat mata Namjoon langsung segar. Tapi dia tidak sehisteris Seokjin yang masih menuntut jawaban dengan matanya yang melotot cemas.
Namjoon pun menghela napas berat kemudian menurunkan kakinya dari sofa. "Oh, cincin. Ada di suatu tempat."
"Dimana? Kau tidak menghilangkannya, kan, Joon?" tanya Seokjin lagi dengan tidak percaya seperti biasanya. Apalagi ekspresi Namjoon tenang sekali sehabis menghilangkan barang berharga.
"Aku tidak menghilangkannya," tegas Namjoon. Lalu dia bergumam datar dengan nada pelan saat bangun dari sofa. "Toh, cincin tidak berarti kita masih menikah."
"Apa maksudmu?" Nada Seokjin sampai naik, tersinggung dengan tangan mengepas menahan emosinya yang hampir meledak.
Namjoon berbalik setengah badan, lalu mengendikkan bahunya acuh tak acuh. "Tapi, bukannya itu yang kau mau? Atau jangan-jangan kau sudah mengajukan surat cerai ke pengadilan?"
"Namjoon!" pekik Seokjin marah. "Kau benar-benar sukar dipercaya, Joon."
"Kau pikir kau aman setelah kau bilang untuk pura-pura diam dengan perselingkuhanmu? Aku bukan orang yang akan terus mencecoki dengan pertanyaan memojokkan sampai aku tahu semuanya."
Bohong kalau Seokjin tidak gemetaran sekarang. Dia tahu kalau Namjoon tidak suka menggunakan tinju untuk mengalahkan saingannya. Tapi dia lebih suka bermain diam-diam seperti seorang prajurit yang mengubur bom di bawah tanah musuh. Dia akan menghancurkan musuh tanpa harus mengotori tangan sendiri. Tipe seperti Namjoon lah yang bisa dijadikan definisi pasti kalau orang baik itu paling seram ketika marah.
Namjoon memutar badannya dan berhadapan dengan Seokjin yang masih duduk dengan mata menatap tajam suaminya. Namjoon malah tenang sekali melihat suaminya terintimidasi, pun tersenyum miring sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana mahalnya.
"Aku tidak pernah bermain-main dengan kalimatku, Jin. Kalau aku menginginkanmu, sampai akhir aku tetap ingin memilikimu. Meski harus mempertaruhkan karierku sendiri, aku akan tetap membuatmu terus menjadi milikku. Jadi, hentikan semua permainan ini dan kembali lah menjadi Kim Seokjin yang dulu. Aku akan memaafkan semua kesalahanmu dan menganggap semuanya tak pernah terjadi. Tapi, kalau kau bersikeras tetap ingin bersamanya, baiklah. Mari kita lihat sampai berapa jauh kau bisa bertahan. Tapi, jangan salahkan aku jika pria yang kau sukai itu akan hancur di depan matamu sendiri. Aku tidak akan lagi bermain lembut mulai sekarang."
.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Très cher | Namjin
FanfictionApapun akan dilakukan Namjoon jika itu tentang Seokjin, meskipun pria itu berbuat sesuatu yang merugikan Namjoon. Apapun itu demi si Kesayangan (Très cher). Namjin fanfiction [Dont read this if you are a homophobic!]