Eleventh

2.5K 410 14
                                    

"Hyung, kita mulai lima menit lagi, ya." Jimin memperingati Namjoon dengan menyembulkan kepalanya ke dalam ruang ganti, tempat Namjoon sedang dirias. Pria itu mengangguk mengerti dan Jimin kembali menutup pintu untuk kembali bicara dengan wartawan perihal wawancara hari ini.

Namjoon hampir lupa jadwal wawancara hari ini jika saja tak diingatkan oleh Hoseok. Dia merasa bersalah karena akhir-akhir ini tidak mendengarkan Hoseok saat menyebutkan jadwalnya. Tapi untungnya Namjoon bukan orang yang akan datang telat meski satu hari tidak ada jadwal. Dia bisa membaca-baca pertanyaan dan jawaban yang telah disediakan Hoseok untuk wawancara lima menit lagi.

"Kau sudah sering melakukan ini, Joon. Tak usah gugup." Hoseok menepuk dua kali bahu Namjoon dan memberikan sedikit pijatan semangat.

Namjoon seolah-olah tak mendengar dan terus menerus berkomentar tentang isi wawancaranya di dalam hati. Tidak ada yang bisa dia lihat selain pertanyaan tentang pernikahannya dan rencana di masa depan bersama suami. Ingin rasanya menjambak Hoseok dan membuang bundel wawancaranya ke tempat sampah daripada harus menjawab pertanyaan dengan jawaban palsu yang sudah ditentukan. Semuanya hanya berisi hal yang ingin didengar para pembaca dan pendengar, bukan benar-benar dari mulut Namjoon sendiri.

Sang penata rias sekali lagi membubuhkan sedikit sentuhan pada bibir Namjoon dengan lipstik dan merapikan beberapa helaian poninya yang menurutnya sedikit berantakan, sebelum membiarkan sang desainer masuk ke set pemotretan. Majalah yang ingin mewawancarainya kali ini mengingkan beberapa potret kasual namun resmi sebagai foto sampulnya. Namjoon hanya perlu duduk di kursi tinggi dengan setelan jas buatan sendiri kemudian bergaya sesantai mungkin di depan kamera.

Sesi pemotretannya menyenangkan, tapi tidak dengan wawancaranya. Secara keseluruhan, Namjoon menyukai bagaimana sang wartawan menanyakan pertanyaan dengan gayanya yang terkesan santai. Namjoon sampai terbawa suasana dan tertawa-tawa sembari menjawab pertanyaan yang mengarah pada pekerjaan dan rencana masa depan untuk rumah modenya. Tapi semuanya menguap ketika sang wartawan mulai bertanya tentang rumah tangganya.

"Dua tahun yang lalu, Anda membuat heboh acara pegelaran mode saat itu dengan melamar Kim Seokjin, seorang model papan atas yang digilai banyak orang. Saya bahkan akan mengejarnya kalau saya terlahir sebagai pria." Wartawan dan Namjoon sama-sama tertawa karena kalimatnya itu.

Sesuai dengan yang ada di naskah. Aku harus tertawa karena kalimatnya, pikir Namjoon di sela-sela tawanya.

"Semua orang mendukung dan memberi kalian predikat sebagai panutan karena masa lalu kalian yang bersih dari skandal, bahkan setelah menikah hingga sekarang. Bisa Anda ceritakan bagaimana Anda menjaga hubungan yang sehat seperti itu."

Ini pertanyaan pertama yang ada di naskah. Tapi Namjoon ingin menjawab dengan jawaban yang berbeda. Maka dia melirik ke Hoseok yang berada di sebelah kameramen utama, menggigit ujung jempolnya dengan mata menatap Namjoon dan naskah secara bergantian. Tatapan matanya terlalu menakutkan jika sedang serius. Namjoon agak ragu ingin melenceng.

Jadi, Namjoon menjawab dengan yang sudah dirancang saja. Mulutnya lancar sekali mengucapkan jawabannya dengan nada bangga dan bahagia. Namun, hatinya tidak terima jawaban yang mengatakan kalau dia memperhatikan dan menjaga Seokjin dengan baik. Dia juga selalu memahami apapun yang Seokjin katakan dan inginkan demi kenyamanan bersama. Pun komunikasi menjadi hal yang utama di hubungan mereka. Jawaban yang baik karena Namjoon memang melakukan itu untuk Seokjin, tapi suaminya tidak berlaku demikian.

Agaknya dia merasa bersalah pada sang wartawan karena sudah mengatakan apa yang tidak sesuai dengan kenyataan. Rumah tangganya yang hancur tentu bukan untuk konsumsi publik. Namun sesak sekali rasanya mengatakan hal yang tidak sebenarnya kepada orang lain dengan ekspresi muka bahagia dan lega secara bersamaan.

Mungkin dia bisa menjadi aktor jika rumah modenya tidak berhasil.

"Pertanyaan terakhir dari sesi ini, apa Anda dan Kim Seokjin punya rencana sebelum tahun ini berakhir?"

Namjoon berdehem kecil sembari melirik ke Hoseok untuk ke sekian kalinya. Ini bukan pertanyaan yang bisa menimbulkan spekulasi negatif, jadi tidak ada masalah kalau tidak mengikuti jawaban naskah.

"Baru-baru ini, saya dan Seokjin merencanakan suatu liburan. Dia bilang ingin ke Jepang, tapi itu belum ditentukan dengan pasti. Kami bahkan belum mendapatkan hari yang tepat karena jadwal kami yang sama-sama padat. Meski begitu, setidaknya kami harus liburan untuk menutup tahun yang padat ini agar kami bisa memulai tahun yang baru dengan semangat yang baru."

Jawabannya mengakhiri sesi wawancara itu. Namjoon harus melirik beberapa kali ke arah Hoseok yang sedang menatap dirinya dan wartawan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dia tak terlihat seperti orang yang ingin mengamuk karena kelancangan Namjoon, tapi dia juga terlihat lega karena jawaban Namjoon yang tak terlalu beresiko.

Namjoon pun menghampiri Hoseok yang sedang bicara dengan ponselnya. Dia langsung berhenti bicara begitu Namjoon sudah berada di depannya."Apa jadwalku selanjutnya?"

"Setelah makan siang kita ada rapat sekaligus pengecekan pakaian. Oh ya, kau harus memilihkan pakaian untuk pemotretan Seokjin dua hari lagi," jawab Hoseok menyebutkan daftar jadwal yang ada di tabletnya. "Oh ya, kenapa kau mengganti jawaban untuk pertanyaan terakhir?"

"Kenapa? Apa jawabannya terlalu beresiko?"

Hoseok menggeleng. "Yah, setidaknya kau tidak bicara tentang mengadopsi Soobin."

Namjoon jadi merindukan sosok kecil menggemaskan itu karena Hoseok. Dia hampir melupakan Soobin karena masalah di rumah. Kepalanya terlalu penuh untuk memikirkan semuanya sampai-sampai tidak ada ruang lagi untuk anak itu. Dia jadi ingin menemuinya sekarang.

Jadi, Namjoon memutuskan untuk membawa mobilnya sendiri ke panti asuhan dengan sekantung roti selai stroberi khusus untuk Soobin dan dua loyang besar kue coklat untuk anak-anak panti lainnya. Tangannya penuh sekali dan langkahnya menapak pasti undakan tangga batu menuju pintu masuk gedung panti asuhan. Jantungnya terlampau semangat ingin menemui Soobin. Dia langsung bergegas ke lapangan belakang gedung tempat anak-anak bermain setelah menyapa dan memberikan kue pada nenek Cheon.

Entah kenapa senang sekali rasanya melihat anak-anak sedang bermain satu sama lain meski udara hari ini agak sedikit panas. Tapi tawa dan teriakan semangat mereka saat bermain bola membuat mereka lupa kalau peluh sudah membasahi muka dan kerah baju.

Senyum Namjoon sumringah ketika mendapati Soobin yang tengah berlari bersama teman-temannya, berusaha merebut bola sekuat tenaga. Namjoon pun langsung memusatkan perhatiannya pada anak itu yang senang sekali bermain meski keringatnya terlampau banyak karena kesulitan mengejar bola.

Sampai akhir permainan, Soobin hanya berlari dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa pernah menendang. Dia kecewa dan hampir menangis meski teman satu timnya bersorak atas kemenangan mereka. Namjoon pun berjalan menghampiri anak itu, ingin memberikan pelukan penenang dan mengajaknya makan kue. Dia memanggil namanya tapi dia tak kunjung mendengar. Soobin malah bergegas ke arah lain, menuju seseorang yang duduk di salah satu kursi kayu di bawah rumah pohon, dan mengadukan kelemahannya bermain bola.

Namjoon tak tahu kalau Soobin punya pengunjung hari ini, bahkan hubungannya terlampau dekat. Tak seperti baru kenal. Namjoon pun kembali berjalan menghampiri anak itu dan agaknya terkejut melihat sosok bermantel coklat dengan kacamata berbingkai bulat yang sedang mengelus kepala Soobin yang hampir menangis. 

"Seokjin?" gumam Namjoon lirih hampir tak terdengar.

Tapi presensinya mampu menarik perhatian Soobin yang langsung menoleh dengan mata membulat kaget. "Ahjussi!"

Seokjin serta merta menoleh, tak kalah terkejut dari Soobin. Ekspresinya berantakan. Dia terkejut, tapi air mukanya seperti orang yang panik karena ketahuan kabur dari rumah. Pun sedetik kemudian dia tersenyum hangat dengan matanya yang menyipit.

"Kau datang, Namjoon."



.

[END] Très cher  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang