Pagi-pagi yang langsung dicari Namjoon adalah keberadaan Seokjin di sebelahnya. Biasanya dia akan memeluk Seokjin dari belakang sepanjang malam dan saat terbangun dia akan mengecup kepala Seokjin.
Namun pagi ini dia tidak mendapati pria itu di sampingnya. Bantalnya rapi. Namjoon langsung terduduk dari tidurnya dengan mata melebar. Dia menatap nyalang ke segala arah kemudian bangkit dari kasur dengan tergesa-gesa.
Langkahnya bergerak cepat menyusuri segala tempat di apartemennya. Dari membuka kamar mandi di kamar, kamar mandi utama, ruang membaca, ruang kerja Namjoon, balkon, sampai ke dapur. Tidak ada Seokjin dimana-mana. Namjoon hampir menggila dengan kepala penuh asumsi negatif tentang Seokjin.
Apa ini akhir dari segalanya? Apa Seokjin sudah memutuskan untuk meninggalkannya?
Namjoon sampai terduduk di dapur sembari meremas frustasi rambutnya sendiri. Seokjin tak mungkin meninggalkannya secepat ini. Bukankah Namjoon sudah berjanji secara tak langsung untuk tidak membicarakan malam itu? Dia bahkan berpura-pura kejadian itu tidak pernah terjadi. Tapi kenapa...?
Namjoon kembali ke dalam kamarnya dan menyambar ponsel di atas nakas. Ibu jarinya bergerak cepat mencari kontak manajer Seokjin dan menghubunginya langsung. Butuh beberapa dering sampai panggilannya terputus otomatis karena sang manajer tak kunjung mengangkat. Namjoon tak menyerah. Dia sekali lagi menelpon si manajer dan menunggu dengan kaki diketuk-ketuk tak sabar dan ibu jari yang digigit dengan cemas.
"Pak Kim."
"Kim Seokjin mana?" sambar Namjoon melupakan sopan santunnya dalam menjawab salam si manajer.
"Oh, Seokjinnie? Dia sedang pemotretan, Pak."
"Pemotretan?" ulang Namjoon tak mengerti.
Setaunya, Seokjin tidak punya jadwal pemotretan hari ini. Pria itu seharusnya berada di rumah dan menonton, seperti yang selama ini dia lakukan ketika tidak ada pekerjaan. Tapi Namjoon tak tahu kalau Seokjin ada jadwal kerja.
"Bisa tolong beritahu Seokjin untuk menghubungiku ketika dia selesai?" pinta Namjoon setengah memohon yang langsung disanggupi oleh manajer Seokjin.
Namjoon pun terduduk di atas kasurnya ketika panggilan terputus. Ponsel di tangannya kembali memperlihatkan layar home dengan foto mereka berdua sebagai wallpaper. Namjoon ingat sekali foto itu diambil saat malam ulang tahun Seokjin tahun lalu. Mereka selalu merayakan ulang tahun hanya berdua dengan champagne dan kue krim buatan sendiri. Mereka akan bicara apa saja tentang hal-hal yang sudah terlewati, bersama dengan ejekan yang berakhir tawa. Ah, Namjoon rindu masa itu.
Setelah sepuluh menit menata pikiran untuk kembali positif, Namjoon pun keluar dari kamar menuju dapur. Perutnya lapar. Tapi dia tak bisa masak.
Namjoon nyaris menelpon salah satu restoran untuk layanan pesan antar ketika matanya menangkap tudung saji diletak di atas meja. Bahkan ada kertas memo yang menempel di sisinya. Namjoon mengambil kertas itu dan membaca dua kalimat yang ditulis Seokjin.
Maaf, aku harus pergi pagi-pagi untuk pemotretan. Ini sarapan untukmu.
Senyum Namjoon terkembang seperti orang bodoh begitu melihat ada hati yang digambar di akhir pesan. Dia malah mentertawakan dirinya sembari menggeleng saat mengingat kembali sikapnya yang mendadak cepat menyimpulkan sesuatu. Dia tak pernah begitu, namun Seokjin membuatnya waspada setiap waktu. Lucu rasanya mengingat kembali apa yang telah dia lakukan dengan ponsel di tangannya ini.
Tiba-tiba ponselnya berdering, menampilkan nama 'Sayang' di layar. Namjoon segera menggeser tombol hijau ke tengah dan menempelkannya ke telinga kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Très cher | Namjin
Fiksi PenggemarApapun akan dilakukan Namjoon jika itu tentang Seokjin, meskipun pria itu berbuat sesuatu yang merugikan Namjoon. Apapun itu demi si Kesayangan (Très cher). Namjin fanfiction [Dont read this if you are a homophobic!]