Ninth

2.8K 429 146
                                    

Entah sejak kapan Seokjin benci pesta. Bukan saat dia sudah menikahi Namjoon. Bahkan lebih dari itu. Kebisingan pesta membuatnya tak nyaman. Ditambah dengan tatapan dan bisikan para tamu yang seolah-olah sedang mengejeknya. Sekeras apapun sang manajer meyakinkan Seokjin, dia tetap tidak akan pergi ke pesta manapun.

"Ada undangan Fashion Empire untukmu. Kau akan datang?" tanya Sandeul, manajer Seokjin yang juga sahabatnya.

Seokjin hanya mengambil undangan itu, melihat nama Fashion Empire yang dicetak dengan tinta emas, lalu menaruhnya ke jok kosong di sebelahnya. "Tidak ikut."

Ekspresi Sandeul berubah sedih menatap Seokjin dari kaca spion depan. "Kenapa?"

Seokjin diam saja. Kepalanya yang bersandar pada jok mobil terlihat sedih dengan mata yang menatap kosong jalanan malam di luar jendela. Perjalanan kembali ke apartemen Seokjin menjadi yang terhambar sepanjang Sandeul mengantar modelnya pulang. Pria cerewet itu tidak mengatakan apapun selain menghela napas panjang, menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan dengan gelisah, dan menutup mata tanpa ada niat untuk tidur.

"Besok siang aku akan menjemputmu, hyung. Malam ini tidurlah dengan nyenyak."

Seokjin hanya mengangguk dan membungkuk kecil sebagai ucapan selamat tinggal. Sandeul tidak langsung pergi, alih-alih memperhatikan Seokjin yang berjalan lurus dengan bahu agak membungkuk.

Sandeul kesal dan sedih secara bersamaan melihat sahabatnya seperti itu. Dia tidak pernah tahu apa alasan Seokjin yang tak mau lagi datang ke acara dan pesta para model dan desainer. Hanya acara ulang tahun agensi saja yang selalu dia datangi. Pun Sandeul menganggapnya sebagai suatu keharusan untuk Seokjin.

Sandeul tidak bisa membantu apa-apa selain terus berada di sisi Seokjin.

Kepribadian Seokjin yang selalu menyimpan segalanya untuk diselesaikan sendiri, terkadang membuat dirinya lelah. Dia tahu konsekuensinya, tapi tidak pernah berusaha membuka diri. Seokjin hanya tak mau orang lain ikut kesusahan karena memikirkan bebannya, bahkan pada suaminya sendiri.

Namjoon bukanlah orang yang akan diam saja saat orang yang dikasihinya sedang kesulitan. Kepribadiannya boleh saja tenang, tapi Seokjin tahu kalau pria itu sedang berunding dengan otaknya. Dia tak perlu menyebutkan apa rencana dan asumsinya. Cukup hanya dirinya sendiri yang tahu, dan itu menakutkan untuk Seokjin.

"Aku akan menunjukkan siapa orangnya, tapi tolong jangan usik dia lagi."

Bukan tanpa alasan untuk Seokjin meminta itu pada Namjoon. Dia merasa suaminya tidak akan bisa menyelesaikan yang satu ini karena ini berkaitan dengannya. Terlalu banyak hal yang bisa menghancurkan Namjoon, luar dan dalam. Tak terkecuali karirnya sekarang ini.

Jika diingat rasanya mau gila.

"Namjoon melihat kita."

Pria berjas abu-abu gelap yang tengah duduk di kursi kerjanya yang nyaman, mendongak dari majalah di atas meja, lantas tersenyum kecil ke arah Seokjin.

"Kupikir kita sudah berdiri di tempat yang tertutup," jawabnya sembari tersenyum miring dan tertawa mendengus.

"Kurasa saat itu kita sedang tidak beruntung," ujar Seokjin menghela napas sembari berjalan ke arah pria itu dengan tangan bertautan di belakang badan.

"Semuanya akan baik-baik saja, Jin. Jangan khawatir."

Seokjin mengangguk dengan senyum tipisnya. Matanya menatap papan nama yang berada di pinggir meja, kemudian menjalankan ujung telunjuknya pada sisi papan. Dia mengeja nama 'Park Jung Woo' yang tercetak tegas dengan warna hitam di sana, lalu tersenyum. Padahal sudah ribuan kali dia membaca nama itu, tapi tak pernah muncul kata bosan di tengah-tengah nama pacarnya itu.

Seokjin lantas berjalan ke sisi meja kerja Jung Woo, kemudian menyandarkan bokongnya di sana dengan tangan kanan di atas meja menahan bobot badannnya. Matanya yang bulat menatap dalam wajah Jung Woo, dengan senyum tipisnya yang manis, mengagumi wajah sang pria yang tak pernah terasa membosankan untuk dipandangi.

"Kau selesai jam berapa?" tanya Seokjin mengalihkan matanya ke arah jemarinya yang dielus pelan oleh jemari Jung Woo. Sentuhan kecil yang bisa membuat jantungnya berdegup.

"Setengah jam lagi. Ada yang ingin kau lakukan?"

Suaranya berat namun lembut secara bersamaan. Dia lalu bangkit dari kursinya, berpindah posisi di depan Seokjin dengan jarak cukup dekat. Tak lebih dari setengah meter dan Seokjin mampu mencium aroma parfum Jung Woo yang begitu khas. Rasanya salah sudah merindukan aroma ini enam hari ke belakang. Namun Seokjin tak dapat membantah kalau dia benar-benar menantikan pertemuan ini setiap waktu.

Entah setan apa lagi yang berhasil merasuki Seokjin sampai dia berani menarik sisi jas Jung Woo sampai mengikis jarak begitu banyak, membuat sebelah kaki Jung Woo berada di tengah-tengah Seokjin dengan satunya menumpu badannya yang hampir limbung karena tarikan itu.

Jung Woo tentu kaget karena biasanya dia lah dominan disini. Kesukaannya menggoda Seokjin sembari berusaha mencuri satu ciuman yang berakhir dengan banyak kecupan di wajah pria itu. Layaknya pasangan yang sedang dimabuk cinta.

Satu senyum dari Seokjin, Jung Woo pun luluh. "Kau ada rencana?" tanyanya dengan genit sembari membenarkan kerah jas si pria dengan perlahan.

Mata Jung Woo melirik tangan Seokjin di jasnya dan kembali menatap wajah manis itu. "Aku ingin menghabiskan sampanye kita yang tersisa minggu kemarin. Apa kau punya waktu?"

Munafik jika Seokjin tak tergoda. Dia sudah menunggu hari ini begitu lama, bersikap tidak ada apa-apa di depan manajer dan staf pribadinya, bahkan harus menahan untuk tidak memegang ponsel terlalu lama saat waktu jeda pemotretan. Dia takut ada seseorang yang mengintip isi pesannya atau mencuri dengar saat bicara dengan Jung Woo ketika sedang sendiri.

Seokjin tahu semuanya jadi terlalu sulit untuk dijalani karena statusnya yang suami dan pacar dari orang yang berbeda. Menjaga sikap dari pandangan orang-orang yang tak bisa dikendalikan saat berasumsi, membuatnya seperti sedang berjalan di lahan penuh bom bawah tanah. Sekali terinjak, semuanya akan meledak satu persatu seperti efek domino.

Ini memang konsekuensi. Dia memutuskan menikahi Namjoon, namun memacari Jung Woo di dua waktu sekaligus. Menegangkan, juga terasa menyenangkan.

"Lain kali. Aku harus pulang dan menyiapkan makan malam." Seokjin menggeleng pelan disertai senyum kecilnya. 

Dia menawan di mata Jung Woo. Hanya dengan satu senyuman dan itu tak bisa menahan si pria untuk tak mencubit pipi bulatnya kemudian mencuri satu cium di bibir Seokjin yang terlalu menggoda. Bohong kalau Seokjin tak berdegup. Perlakuan pacarnya terlalu manis. Kondisi mereka yang berada di ruangan besar, berdua, dengan jarak terlampau dekat, tentu berhasil mengacaukan konsentrasi Seokjin dalam sekejap.

Lingkaran setan memang menyesatkan dan menyenangkan di saat yang bersamaan. Sekejap lupa kalau sedang berbuat dosa di hadapan janji Tuhan yang diucapkan saat menikah. Seokjin tak menyesali saat-saat berdua dengan Jung Woo seperti ini. Mereka saling berdekatan, menatap dengan tatapan memuja, dan tanpa sadar saling menyentuh bibir satu sama lain hingga kesulitan mengambil napas. Semuanya terlalu memabukkan seperti soju murah di pinggir jalan.

Ya. Seokjin tak jauh berbeda dengan soju pinggir jalan karena telah menjadi 'murah' akibat hubungan gelap penuh pengkhianatan ini.


.

[END] Très cher  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang