"Semalam kamu kemana sih, Jun? Kata adik kamu, habis pulang kantor kamu pergi lagi? Terus semalam kamu juga pulang jam berapa? Kok Mama ngga tau pas kamu masuk rumah?" Dewi menata makanan di meja makan, membantu Bi Ima. Wanita kisaran lima puluh tahunan itu kemudian mengambil tempat duduk di samping suaminya.
Arjuna menyendokkan nasi, memindahkannya ke piring. Laki-laki itu berdehem. "Aku ke rumah ke Shinta, Ma."
Mendengar nama Shinta disebut, raut wajah Dewi berubah semangat. "Kok ngga kamu ajak kesini aja sih, Jun? Mama kangen tau sama Shinta. Shinta baik-baik aja, kan? Hubungan kalian juga baik-baik aja kan, Jun?" Tanya wanita itu secara beruntun.
"Shinta baik-baik aja, Ma. Nanti deh kapan-kapan aku ajakin kesini. Sekarang ini dia lagi sibuk sama bisnis butiknya."
"Makanya, Jun, cepet-cepet kamu resmiin lah biar disini Shinta ngga sendirian lagi. Kasihan loh, anak gadis tinggal sendirian." Dewi tersenyum ke arah putra pertamanya itu.
"Nanti lah, Ma."
"Kamu tuh nanti-nanti terus. Mau nunggu apalagi sih, Jun? Di umur kamu sama Shinta itu sudah matang untuk menikah, loh. Kamu juga sudah mapan."
Arjuna menghela napas. Mamanya selalu mendesaknya untuk segera menikah. Padahal masih banyak hal yang ingin Arjuna jangkau di umurnya yang ke dua puluh tujuh. "Ma, Arjuna kan baru setahun dikasih kepercayaan buat nerusin perusahaannya Papa, Arjuna mau fokus dulu sama pekerjaan. Arjuna ngga mau nanti perusahaan itu malah ngga bisa berkembang setelah Arjuna yang pegang."
Sementara Dewi sedang sedikit berdebat dengan Arjuna, Halim dan Johnnatan hanya diam menonton. Sejak tadi, mereka sibuk memakan sarapan masing-masing sambil mendengarkan perdebatan kecil itu. Hingga perkataan Dewi selanjutnya membuat kedua orang itu mau tidak mau mengangkat wajah, ikut memusatkan atensinya pada Arjuna.
"Shinta itu cantik loh, Jun. Ngga cuma cantik, tapi juga dewasa, mandiri dan cerdas. Mau kamu, kalau dia diambil orang gara-gara kamu kalah cepat? Dimana lagi coba kamu bisa menemukan perempuan seperti Shinta?"
Suasana langsung hening, bahkan suara sendok dan garpu yang tadinya beradu dengan piring pun ikut terhenti. Arjuna bungkam, tidak lagi menjawab.
"Sudahlah, Ma. Mereka ini kan sudah sama-sama dewasa. Pasti bisa menentukan sendiri jalan yang akan mereka ambil nantinya." Ucap Halim, mencoba memecah keheningan dan suasana canggung yang tiba-tiba tercipta pagi ini.
Dewi menghela napas. Memutuskan untuk mengalah. "Iya, Mama kan cuma mau memberi saran."
Setelahnya, mereka melanjutkan sarapan tanpa berbicara lagi. Ruang makan keluarga Gasendra pagi itu benar-benar hanya diisi oleh suara alat makan yang saling beradu. Tidak ada adu argumen seperti tadi.
"Ma, Pa, Arjuna berangkat dulu." Ucap Arjuna tiba-tiba. Laki-laki itu mengambil jas yang tersampir di kursi lalu memakainya.
"Loh, Kak, tungguin. Tadi katanya mau nebengin?" Jonnathan mendongak, menatap kakaknya yang kini sudah berdiri.
"Naik angkot aja deh lo, udah gede, manja."
Johnnatan menatap sebal ke arah Kakaknya. Kalau motornya tidak rusak, Johnnatan juga pasti lebih memilih berangakat sendiri daripada harus nebeng Kakaknya yang sedingin es di antartika itu.
"Udah, nanti kamu pake mobil Papa aja." Ucap Halim, mencoba meredakan kekesalan Johnnatan.
"Emang Papa ngga jadi ke kantor?" Tanya Johnnatan.
"Besok aja lah, gampang."
Setelah perusahaan dipegang oleh Arjuna, Halim hanya sesekali menengok perusahaannya. Memantau, bagimana hasil kinerja putra pertamanya setahun ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
OCEAN OF PAIN ✓
Fanfiction[completed ✓] ❝ All i want is just drown in your love, not in your ocean of pain. ❞ ©fallforten, 2019