25 | One Step Closer

2.1K 331 49
                                    


He will try to take away my pain, and he just might make me smile but the whole time I'm wishing he was you instead.

ㅡHaunted, Taylor Swift.






Rama memelankan laju larinya ketika melihat Shinta juga melakukan hal yang sama. Dia menengok ke belakang dimana Shinta berada.

"Ram, capek." Ucap Shinta, perempuan itu berhenti berlari dan malah membungkuk memegangi lutut.

Rama terkekeh, menghampiri Shinta. "Istirahat dulu. Tuh, di bangku."

Shinta berjalan ke arah bangku taman yang ditunjuk Rama, Rama mengikutinya. Mereka berdua berakhir duduk disana dengan napas sedikit terengah. Mereka sudah mengelilingi taman seluas ini sebanyak tiga kali sejak tadi.

Di hari minggu pagi ini, mereka berdua melakukan jogging di sebuah taman. Rama yang mengajak, atas usul Lea. Dan untungnya, Shinta mau.

Sewaktu Lea datang bersama Bimo ke kedainya waktu itu, Lea menceritakan keadaan Shinta yang selama satu minggu ini sama sekali tidak keluar rumah. Shinta hanya pergi ke butik untuk mengecek, itu pun tidak lama dan langsung pulang lagi. Dengan alasan itu, Lea membujuk Rama agar mau mengajak Shinta pergi keluar. Dan hari ini, Rama memutuskan untuk mengajak Shinta jogging.

"Aduh, botol minumku ketinggalan di mobil kamu. Aku ambil dulu, deh."

"Ngga usah, minum ini aja. Tadi aku tenggak, kok." Rama menyodorkan botol minumannya ke arah Shinta.

Shinta menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya menerima dengan ragu-ragu. "Makasih ya."

Rama melempar senyum, menyandarkan kepalanya pada kepala bangku. Diam-diam, sedikit melirik ke arah Shinta yang kini sedang menenggak air dari dalam botol minumnya. Rama buru-buru mengalihkan pandangan lagi ketika otaknya sudah menjalar kemana-mana.

Rama juga seorang laki-laki normal pada umumnya. Bedanya, dengan sampul yang jauh lebih baik.

Mereka berdua sama-sama diam setelahnya. Malah mengamati orang-orang yang juga sedang melakukan olahraga pagi di sekitaran taman itu.

"Sepedaan asik deh kayanya."

Ucapan Rama membuat Shinta menoleh. Dia mengikuti arah pandang laki-laki itu. Segerombolan anak-anak berusia sepuluh sampai dua belas tahunan sedang asik naik sepeda sambil bercanda dan melempar keusilan satu sama lain.

"Shinta, kamu masih capek?"

"Dikit, tapi aku masih pengen lanjutin."

"Sepedaan aja gimana? Biar ngga terlalu capek. Kebetulan sepedaku sama sepedanya Bunda belum dikeluarin dari bagasi."

Shinta tersenyum canggung. "Eum... mau sih, tapi aku ngga bisa naik sepeda."

Rama sedikit melebarkan matanya. Terdiam sebentar, terlihat terkejut. "Serius?"

Shinta mengangguk. Sedikit merasa malu sebenarnya, ketika harus mengakui kalau dia tidak tahu caranya mengayuh sepeda. "Dulu pas kecil, Mama sama Papaku ngga ada waktu buat ngajarin aku naik sepeda. Makanya mereka malah ngasih aku skuter, jadi sampai sekarang aku ngga bisa naik sepeda. Takut aja rasanya, takut jatuh."

Rama terkekeh mendengar penjelasan Shinta. "Mau aku ajarin?"

"Hm? Nanti kalo jatuh gimana?"

"Jatuh pasti ke bawah lah."

"Rama ih."

Rama kembali tertawa melihat Shinta kesal. "Skuter sama sepeda itu hampir mirip, kok. Kamu bisa naik skuter harusnya bisa naik sepeda juga."

OCEAN OF PAIN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang