▪️▪️▪️
Ukuran tangan Bhima lebih besar darinya, maka tak heran terasa hangat. Sepanjang mereka berjalan, pegangan tangan itu tidak lepas. Bhima terlihat santai menggandeng tangan Irena. Cowok itu berjalan tanpa melihat gadis di sampingnya. Wajahnya terkesan datar, karena tatapan mata fokus ke depan. Satu titik.
Jangan lupakan itu, tinggi badan Bhima jauh darinya. Ketika ia mendongak, ia melihat dagu Bhima yang kokoh. Mengalir bulir keringat melalui pelipis. Seketika Irena geleng kepala, ia tak boleh mengamati lebih dalam.
"Lepas!" Ia menepis secara kasar tangan Bhima.
Cowok itu menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan Irena. "Bisa ngga, tangan lo itu ngga usah kasar!"
Irena terpaku di posisinya, jarak antara dia dan Bhima tidak lebih dari lima senti. Kedua bola mata Bhima yang kecoklatan bertemu dengan iris mata Irena. Keduanya begitu dekat, bahkan hidung Bhima hampir bersentuhan dengan hidung Irena.Seperti cewek pada umumnya, Irena merasa debaran jatungnya lebih cepat.
Bhima kembali menegakkan tubuhnya. "Lo mau kemana?"
Masih dengan perasaan yang nano-nano, Irena memalingkan wajahnya dari Bhima. "Gue mau ke Perpustakaan Gasibu? Kenapa lo, mau nganter?"
"Yaudah ayo."
"Hah?"
Gadis itu bergerak dari posisi semula, ia berpindah bukan karena kemauannnya. Tetapi karena Bhima menggandeng tangan Irena. Ia membawa gadis itu ke parkiran sepeda motor. "Bhim, lo mau ngapain sih?"
"Tadi lo bilang mau ke Perpus Gasibu? Gue anter."
"Ngga usah, gue tadi ke sekolah bawa motor sendiri."
"Yaudah gue anterin pakai motor lo." Bhima berlari ke parkiran paling pojok, dimana sepeda motor Irena berada. Hari ini dia memang berangkat ke sekolah naik motor. Dia kembali membawa helm berwarna hitam.
Tiba-tiba Bhima naik di atas motor Irena dengan helm yang sudah terpasang di kepala. "Mana kunci lo." Tangan Bhima melayang dengan gestur meminta.
Irena menggeleng, menyerahkan benda kecil itu. Dia memilih diam di belakang Bhima. Kejadian beberapa menit yang lalu benar-benar membuatnya kacau. Seolah ia masih merasakan embusan napas Bhima ketika mereka berdekatan. Bahkan sekarang, cowok itu di depannya, harum parfum yang Bhima pakai semakin mengingatkan Irena pada kejadian tadi.
Membutuhkan waktu beberapa menit, motor matic Irena tiba di daerah Citarum, Bandung. Perpustakaan ini berada di Lapangan Gasibu, sebuah lapangan besar yang terletak persis di depan Gedung Sate. Kedua remaja itu turun dari motor. Bhima masih melepas kaitan helmnya, Irena malah berjalan mendahuluinya.
"Tungguin, elah!" Bhima menyusul, Irena tak menghiraukan itu.
Melewati tangga undak-undakan. Ia merasa desain eksterior bangunan ini unik, memiliki arsitektur futuristik. Saat memasuki perpustakaan alas kaki harus dilepas, dan sudah disediakan rak sepatu. Mereka berdua menitipkan tas dan almamater ke dalam loker.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIGHT
Teen Fiction[COMPLETED] Bagi Irena, Bhima itu cuman cowok brengsek yang kebetulan mampir dalam kehidupannya. Karena memang mereka dipertemukan sebagai teman sekelas. Irena selalu menghindar dengan sikap Bhima yang sok manis. Bukan karena ia sombong, tapi ia ha...