23th Deliberate Practice

80 5 2
                                    

     Great performance is more valuable than ever — but where does it really come from?-Geoff Colvin-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Great performance is more valuable than ever — but where does it really come from?
-Geoff Colvin-

▪️▪️▪️

              Benar-benar hari Senin awal masuk semester genap ini langsung full pelajaran. Sang guru datang ke kelas tepat waktu. Irena menundukkan kepalanya, dia menyandarkan kepala di atas meja dengan tangan sebagai bantalan. Gadis itu merasakan pening di kepala dan tubuhnya lemas. Tangannya memegangi perut.

Suara guru yang menjelaskan materi perang dunia kedua dari slide power point tersebut tak berarti sama sekali baginya. Irena terus bergerak ke kanan kiri untuk menahan rasa sakit.

Ia meyenggol lengan Megan yang khusyuk mendengar ocehan guru. "Me lo bawa roti ngga?"

Megan mengembuskan napas dan mengambil dorayaki sari roti di tasnya. "Lo ngapain sih pelajaran gini minta roti? Belum sarapan?"

"Bukan roti yang itu." Irena mencoba menjelaskan. "Roti yang biasa dipakai elo, gue setiap bulannya."

"Oh." Megan membulatkan bibirnya. "Eh lo beneran?"

Irena mengangguk. "Gue lupa ngga bawa ganti."

"Yaudah ke UKS aja. Sekalian lo istirahat katanya lagi ngga enak badan. Gue anter yuk."

Gadis itu meniup poninya. "Pak Sardi mana boleh keluar berdua ke UKS, gue sendiri aja."

"Bentar gue panggilin." Megan berdiri dan mengangkat tangan. "Pak Irena sedang sakit, minta izin untuk istirahat di UKS."

Pak Sardi menghentikan kegiatan berceramahnya. "Irena apa benar?"

Ia mengangguk, lalu dipersilakan untuk keluar dari ruangan ini. Gadis itu berjalan gontai menuju UKS. Di sana sudah ada beberapa petugas yang berjaga. Irena lalu mengambil pembalut wanita yang disediakan di lemari dan menggantinya di kamar mandi.

Sebenarnya ia lelah bukan karena datang bulan saja. Tapi juga karena beberapa masalah di keluarganya. Tentang Mama yang terus mengeluh karena bisnisnya hampir bangkrut. Andai saja Mamanya menerapkan filsafat stoa. Mungkin ia akan bersikap biasa saja. Karena semua rezeki adalah pemberian Tuhan, pada akhirnya kita hanya bisa berserah diri jika rezeki itu diambil kembali. Dan mungkin untuk ikhlas memang tidak mudah.

Irena membaringkan tubuhnya di atas brankar, ia mencoba memejamkan supaya rasa pening di kepalanya reda.

•••

           Bhima memasuki area kantin, tapi sejenak ia berhenti karena bingung dengan tujuan dia ke tempat ini. Ia menoleh ke samping, Adit hendak berjalan ke lemari es untuk mengambil minuman. Tangan Bhima menghadang, persis seperti adegan di film-film.

"Dit, cewek kalau lagi datang bulan enaknya dikasih apa?"

"Lo bawain aja minyak kayu putih sama teh anget atau makanan apa kek yang bikin di moodnya baik."

INSIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang