•••
Pagi ini langit terlihat mendung, semakin tak bersahabat ketika gerimis mulai turun. Beruntung Irena sudah sampai di gerbang sekolah. Namun siapa sangka setelah ia turun dari kendaraan Papanya, hujan malah semakin deras. Padahal saat ini ia masih berdiri di pos satpam dekat gerbang sekolah. Gerbang sekolah SMA Taruna Arsa adalah 2 buah tugu besar di pinggiran, lalu di atas gerbang besi ada atap yang bisa untuk berteduh ketika siswa baru turun dari kendaraan. Sayangnya di depan lobi gedung SMA ada lapangan upacara dan halaman yang cukup luas, jadi untuk menuju pintu masuk utama sekolah, Irena harus berjalan cukup jauh.
Ia berdecak, gadis yang masih berdiri di pos satpam itu mendongak ke atas.
GLUDUK!!
Bunyi petir yang terdengar pelan namun cukup membuat Irena meringis, ia bukan takut hujan melainkan jam sudah menunjukkan pukul 06.45 tidak lama lagi bunyi speaker untuk segera menyanyikan lagu Indonesia Raya pasti terdengar. Dan dia baru menyadari bahwa di sekitarnya sudah mulai sepi, orang-orang sudah mulai memasuki gedung SMA.
Ia lantas membuka jas hitam miliknya, sekarang ia hanya mengenakan kemeja putih berlengan pendek dan rok tartan hitam merah di atas lutut, udara dingin terasa menusuk di kulit gadis itu. Ia mengambil ancang-ancang untuk berlari. Irena tak peduli lagi sepatu putih kesayangannya akan kotor oleh lumpur. Beruntung saat ini ia sedang tidak membawa laptop, tas ransel yang terasa ringan akan memudahkannya dalam berlari. Ia sudah bersiap, satu..dua..tiga...
Irena dengan sigap melompatkan kakinya di tengah genangan air, ia terus berlari melintasi luasnya halaman sekolah berlapis cor.
"Eh Irena ngapain lu hujan-hujan?" Teriak salah satu siswa yang berdiri di depan lobi.
"Geblek! lu ngga liat jam apa, gue takut telat anjay. Yakali pakai seragam rapi tapi hujan-hujan." Umpat Irena dalam hati.
Jangan remehkan kemampuan lari Irena, karena gadis itu mantan anggota klub olahraga ketika masih kelas 10. Ia merasa lega ketika kakinya mendekati lapangan rumput, mungkin sekitar 50 meter lagi ia sampai di depan lobi.
"HWAAAA!!!!" Irena menjerit tatkala sepatunya menginjak genangan air yang cukup licin, tanah di lapangan ini sangat licin ketika hujan.
Irena jatuh tergelincir dengan tangan dan lutut kaki yang menjadi tumpuan. "AAWH" Irena meringis kesakitan, telapak tangannya menepak kerikil begitupun kedua lututnya. Rasanya perih sekali, hampir saja ia menangis. Tetapi buru-buru ia menepis, ia tidak boleh terlihat lemah bahkan ketika orang-orang menertawainya. Dia yang terlihat seperti kucing kecebur got.
Tidak ada yang sempat menolongnya, karena bel masuk sudah berbunyi. Gadis itu mencoba berdiri meski lututnya terasa nyeri. Ia berjalan pincang menuju lobi, jas yang semula dia pakai untuk melindungi diri dari hujan kini hanya ia sampirkan ke pundak. Ia sudah tak peduli air hujan menerpanya. Tetapi ia merasa, air tak lagi jatuh ke tubuhnya. Ia mengerutkan kening, bukankah sekarang masih hujan ia juga belum sampai di depan lobi. Atau ini hanya imajinasi belaka bahwa ada awan berdiri di atasnya dan melindunginya dari air hujan.
Irena tersadar, ada yang mendekatinya. Ia memelaskan wajahnya. "Hiks kaki gue sakit."
•••
Sial banget! hujan pagi harus terjadi di hari Kamis. Seharusnya hari Sabtu atau Minggu biar ngga usah sekolah dan bisa goler-goleran di atas kasur terus bangun bikin mie rebus. Percuma kalau masuk sekolah, karena yang benar-benar niat pelajaran cuman beberapa orang. Lihat saja sekarang, di kelas semua siswa besedekap di atas meja, meletakkan kepala di atas tangan dan menutupinya dengan jaket. Harapannya ya cuman satu, semoga guru tidak masuk.
Rasa empati Bhima tiba-tiba terbangun, ia merasa kelasnya masih sepi bukan karena guru belum datang. Tetapi jumlah siswa yang kurang. Ia lantas mengabsen satu persatu dan menyadari ketidakhadiran seseorang. Sudah hampir pukul 7, seharusnya Irena sudah berangkat. Ia langsung keluar kelas.
Hiruk pikuk siswa di sekitaran koridor kelas sudah mulai sepi.
"Kasian banget tuh anak jatuh, semoga aja dia bawa baju ganti."
"Lo Ris bawa payung juga, ngapain ngga bantuin dia."
"Males ah, Irena tuh orangnya ngeselin, susah diajak bergaul gitu. Gue kan jadi males!"
Bhima yang semula fokus melemparkan pandangannya ke sekitar koridor kini langsung menoleh ke orang itu. "Dimana Irena jatuh?" Tanya cowok itu spontan.
Cewek yang ditanyai itu merasa kaget, dan merasa tidak enak dengan Bhima. "Itu ada di lapangan rumput dekat lobi." Jawabnya dengan jari yang menunjuk ke kanan.
"Gue pinjem payung lo."
Bhima bergegas keluar koridor kelas, ia sengaja lewat samping. Cowok itu dapat melihat Irena yang menahan sakit. Rok di atas lutut yang ia kenakan membuat darah segar di lututnya semakin kentara. Tanpa banyak pikir, Bhima langsung berlari dan memanyungi Irena dari belakang. Tetapi gadis itu tak menyadarinya. Butuh beberapa detik, hinggga ia menoleh.
Matanya yang bersinar terlihat semakin bercahaya karena basah. Gadis itu menatap Bhima dengan mata yang memelas. "Hiks, kaki gue sakit."
Hanya itu yang Irena ucapkan, sebelum Bhima merangkulnya dan membawa gadis itu masuk.
•••
Siapa sih yang ngga kesel? Jatuh di tempat umum dan disaksikan banyak orang, apalagi jatuhnya bikin sakit. Irena sangat kesal dengan kejadian itu, andai ia masih kelas 10, pasti ia akan sangat malu dan mungkin tak berani lagi untuk sekolah. Tetapi dia kan sekarang sudah kelas 12, tinggal menunggu bulan ia akan segera lulus. Ia berdecih dan mengutuk kejadian tadi pagi. Buat apa terlalu dipikirkan, toh sebentar lagi dia akan hengkang dari lingkungan ini. And said, bye bye masa SMA!
Tunggu, kalau dia meninggalkan SMA otomatis dia juga akan meninggalkan teman-teman yang sudah baik dengannya. Termasuk cowok di depannya sekarang, cowok yang jonggok di depan dan mengobati luka di lututnya. Setelah perdebatan panjang, Bhima yang memaksa Irena untuk memakai baju olaharaga dan handuknya, kini berakhir Bhima yang menang. Irena tidak dapat mengelak, karena jika ia tak memilih opsi itu, nekat pakai baju kotor di kelas? Ya, siap-siap saja di suruh pulang oleh guru.
"Perih, Bhim." Keluh gadis yang sedang duduk di brankar UKS dengan Bhima yang berjongkok mengobati lukanya.
"Nih udah." Setelah menetesi luka itu dengan obat merah Bhima menutup dengan hansaplas. Lantas ia bangkit berdiri. Menatap wajah kusut Irena.
"Ayo ke kelas." Tidak ada sahutan.
"Ngapain masih diem, buruan jalan. Lo ngode minta digendong? Ogah lo berat!"
Irena turun dari brankar. "Dasar lo! Baik cuman sebentar, sadar lagi jadi setan!" Umpatnya lalu ia berjalan keluar UKS menuju kelas.
"Bisa ngga lo?" Teriak Bhima di belakangnya, cowok itu lalu menyusul Irena dan berjalan di samping gadis itu.
"Ngga usah lebay, gini aja gue bisa."
####
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIGHT
Teen Fiction[COMPLETED] Bagi Irena, Bhima itu cuman cowok brengsek yang kebetulan mampir dalam kehidupannya. Karena memang mereka dipertemukan sebagai teman sekelas. Irena selalu menghindar dengan sikap Bhima yang sok manis. Bukan karena ia sombong, tapi ia ha...