14th Ke Tempat Bhima

86 6 0
                                    

▪️▪️▪️ 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

▪️▪️▪️
 

              Beruntung cuaca sore ini mendukung, tidak ada mendung sama sekali. Perjalanan ke rumah Bhima membutuhkan waktu sekitar 45 menit, bisa bayangin bagaimana jadinya mereka naik motor kalau hujan. Cowok itu menghentikan kendaraannya begitu mendekati perlintasan kereta api, palang dibentangkan. Bunyi alarm penanda bahwa tak lama lagi kereta melintas, bercampur dengan deruman kendaran beroda dua maupun empat.

Merasa asing, Irena jarang sekali melewati jalanan ini. Ia mengedarkan pandangannya pada lingkungan sekitar. Hingga matanya bertemu pada suatu titik, pipi Irena langsung merona.

Bhima melirik Irena melalui kaca spion, ia mengikuti arah pandang cewek itu. Cowok itu ikut tertawa. Perlintasan kereta api ini memang dekat dengan pemukiman warga, jadi jangan heran jika area perlintasan kereta api disalah gunakan. Menjemur pakaian misalnya.

Jadi Irena merona karena itu, ia melihat jemuran pakaian dalam lelaki berjejer di sekitar perlintasan kereta.

Bhima menolehkan kepalanya ke belakang. "Lagi lihat apa Na?"

Irena tersadar. "Lihat pemandangan sore, Bhim."

"Wah, enak banget ya. Kena palang kereta, menunggu sembari menikmati indahnya pemandangan sore hari."

Melihat ke pengendara motor lainnya, mereka juga terlihat tertawa. Benar kata Bhima, menunggu kereta lewat sekaligus menikmati pemandangan jemuran di sekitar rel.

Terdengar bunyi mesin kereta, kereta api tersebut telah melintas. Palang kembali dibuka, pengendara melajukan kembali kendaraannya. Motor Bhima kembali melaju di jalan raya, sekitar 1 kilo meter kemudian memasuki daerah perumahan.

Berhenti di depan pintu pagar besi yang tidak terlalu tinggi, tanaman merambat di sekitar pagar. Rumah minimalist satu lantai dengan gaya estetik karena didominasi warna coklat dan putih. Terlihat terawat, sang pemilik rumah sangat menyukai kebersihan. Dan pasti rumah ini penuh dengan kehangatan, tidak seperti rumah Irena.

"Ayo masuk." Bhima menarik pergelangan tangan Irena, gadis itu terlalu lama mematung. "Nyokap gue jam segini paling lagi masak buat makan malam." Seharusnya Irena tidak mendengar ucapan itu, jujur itu menyakiti perasaannya.

Ia mendorong handle pintu. "Bunda, Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumussalam, Abang!" Luna dan Fara yang sedang asyik mewarnai di depan televisi langsung berlari mendekati Bhima. Kedua anak kecil itu memeluk Bhima.

"Bang, kemarin di sekolah ada tugas suruh gambar orang yang paling disayangi. Aku gambar wajahnya Bang Bhima, gambaran aku dapat nilai A, Bang!" Fara turun dari gendongan Bhima.

Bhima mengusap kepala adiknya itu. "Wah, adik Abang sekarang jago gambar. Mau jadi seniman ya kalau udah besar? Coba mana gambarannya, Abang pengen lihat." Fara menyerahkan buku sketsa miliknya.

INSIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang