Fajar Pov's
Bagian paling berat buat gue setelah nikah ini adalah ninggalin Ayra turnamen. Rasanya berat banget lebih berat dari ngangkat beban 100 kg.
Sedangkan yang di tinggal berusaha biasa aja dan nyemangatin gue. Padahal gue tau dia juga sedih gue tinggal. Sekarang dia lagi rapihin koper yang akan gue bawa buat ke Malaysia.
"Udah siap." kata dia lalu memberikan koper gue.
"Aku kok berat banget ninggalin kamu ya." kata gue.
"Berat kenapa? kan cuman sebentar." kata Ayra dengan santai.
"Ikut aku turnamen yuk." ajak gue.
"Aku kan besok sekolah A."
Gue menghembuskan nafas gue kasar.
"Udah ah jangan lesu gitu. Harus semangat di pertandingan pertama 2020. Semoga dapet gelar yang banyak tahun ini." ucap dia menyemangati gue.
Ayra gak bakal nganter gue ke bandara hari ini. Dia cuma bakal nganter gue sampe pelatnas aja. Gue bakal berangkat dari pelatnas bareng yang lain.
"Ayuk berangkat nanti kamu telat."
Gue dan dia pun pergi nurunin apartemen untuk segera menuju ke pelatnas dengan menggunakan taksi.
"Nanti ke rumah ibu naik apa?" tanya gue.
"Minta jemput pak Yusuf kayaknya atau mau naik kereta gak tau deh." kata dia ragu ragu.
"Naik kereta juga gapapa kalo kamu mau." kata gue mengizinkan dia naik kereta.
"Beneran?" tanya dia.
Gue hanya mengangguk. Ayra bakal nginep di rumah Ibu selama gue ada di Malaysia. Supaya gue bisa lebih tenang juga ninggalinnya.
"Tapi kalo udah sampe kabarin. Jangan sampe lupa." kata gue.
Lalu tiba saatnya gue harus bener bener ninggalin dia untuk menjemput rezeki gue 2020 ini.
"Dah semangat ya!" kata dia setelah gue mencium puncak kepalanya.
Gue pun menaiki bus yang udah tersedia di pelatnas untuk ke bandara. Lalu gak lama bus melaju pergi ninggalin pelatnas bersama Ayra.
●●●
Ayra Pov's
Setelah mengantar suami gue ke pelatnas, gue balik lagi ke apartemen untuk mengambil beberapa barang gue.
Gue memasukkan keperluan yang gue butuhkan di rumah ibu nanti ke dalam tas. Lalu gue menemukan suatu barang yang gue beli beberapa waktu lalu saat belanja bulanan.
Gue belum sempat mencoba barang ini. Karena waktu gue mau coba ternyata tamu gue dateng. Gue bersyukur karena gak di kasih saat itu. Gue belum siap. Gue masih sekolah dan ingin kuliah. Tapi gue juga gak bisa menolak kehendak Allah.
Gue pun pergi ke rumah ibu naik commuterline. Sesuai perintah A Fajar, gue langsung ngabarin dia pas gue udah sampe.
Kereta di hari minggu cukup ramai. Cukup lelah juga gue. Gimana kalo gue nanti berangkat sekolah naik kereta ya?
"Dek. Itu temen temen kamu dateng."
Gue hari ini mengundang temen temen gue ke rumah dalam rangka kangen. Liburan ini gue belum menghabiskan waktu sama mereka. Sedangkan besok gue harus kembali ke sekolah.
"Halo ibu rumah tangga!" sapa Dita ketika masuk kamar gue.
"Kangen." gue memeluk ketiga temen gue bersamaan.
"Gilaaa udah mau semester 2 aja kita besok. Gak siap deh gue pisah sama kalian." kata Freya.
"Cepet banget ya waktu. Kayaknya gue baru kemaren nangis nangis masuk sekolah sekarang udah mau kuliah." kata Fanya.
"Gue suka mikir jodoh gue siapa ya." kata Dita.
"Jodoh lo belom lahir." kata kembarannya.
"Sembarangan lo! sama bocah dong gue."
Gue ketawa denger berantemnya mereka.
"Ketakutan terbesar lo semua selama hidup apa? selain mati." tanya Fanya cukup serius.
"Berat banget pembahasan lo nya." jawab gue.
"Random banget deh lo Nya." kata Dita.
"Ketakutan terbesar gue adalah gak ada cowok yang bisa nerima ketidaksempurnaan gue." lanjut Fanya.
Sambil merebahkan badannya di kasur gue. Gue dan si kembar ngikutin jejak Fanya. Walaupun kasur gue besar tapi untuk ber empat tetep aja sempit.
"Mellow banget sih Nya." kata Freya.
"Semua di tangan tuhan Nya. Pasti ada yang nerima kekurangan lo." kata gue.
"Lagian apaan sih yang kurang dari diri lo. Cantik iya pinter iya. Apapun lo bisa anjir." lanjut gue.
Lalu Fanya cuma tersenyum pedih natap gue.
"Gue gue sekarang gue." sahut Dita antusias.
"Ketakutan terbesar gue selama hidup adalah kehilangan atau ninggalin saudara kembar gue. Walaupun gue tau hal itu pasti terjadi. Tapi gue gak bisa bayanginnya." kata Dita.
Sedih juga ya jadi anak kembar. Dari rahim udah barengan terus dan bakal ada saatnya mereka akan meninggalkan satu sama lain.
"Sama. Gue sama kayak Dita. Walaupun adek gue itu nyebelin. Tapi gue gak bisa bayangin kalo salah satu dari kita pergi." kata Freya.
"Lo apa Ra?" tanya Dita.
"Gue hmm, ketakutan terbesar gue saat ini gue takut gak bisa kasih keluarga kecil buat A Fajar. Gue takut gak bisa bahagiain A Fajar." kata gue.
Mereka bertiga menatap gue bingung.
"Gak bisa punya anak maksud lo?" tanya Fanya.
Gue ngangguk.
"Kata dokter ada kista di rahim gue. Tapi gak menutup kemungkinan kalo gue bisa hamil. Tapi tetep aja gue parno. Ngerti gak sih." jelas gue.
Mereka memeluk gue yang tidurnya ada di tengah tengah.
"Kok lo gak pernah cerita sih." kata Freya.
"Gue pikir itu gak penting untuk gue ceritain." kata gue.
"Penting. Apa gunanya lo punya temen kalo bukan buat cerita?" kata Fanya.
Gue menghela nafas panjang. Menatap cincin yang berada di jari manis tangan kiri gue. Supaya orang gak mengira itu cincin nikah, gue taro cincin tersebut di tangan kiri.
"Gue takut banget gak bisa bahagiain A Fajar." kata gue.
"Bisa Ra bisa. Bahagia gak soal anak. Dengan lo selalu ada di sisinya mau dia diatas atau dibawah, dia pasti bahagia punya lo." kata Freya.
"Kalo dia gak bisa nerima gue gimana?" kata gue.
"Waktu dia mutusin buat nikahin lo, artinya dia juga mutusin buat nikahin segala kelebihan dan kekurangan lo Ra." kata Freya.
"Udah ah kenapa jadi mellow gini. Delivery makanan kek laper gue." kata Dita.
●●●
Thank youuu
JANGAN LUPA COMMENT N VOTE HUEHEHE