1. Awal (1)

3.1K 211 3
                                    

Malam berbintang. Saat inilah awalnya, babak baru dalam kehidupanku, aku menjadi seorang mahasiswa. Walau terdengar lucu, pikiran-pikiranku masih dipenuhi oleh mimpi. Seluruh hidupku dibayangi oleh remah-remah waktu sebagai kumpulan dari masa lalu.

Mahasiswa, oh ... rasanya ini istilah yang sedikit berat, mengingat orang pada umumnya telah melewati masa yang disebut remaja.

Dewasa, itu aku, tapi bagaimanapun kedewasaanku sekarang, seperti buah yang masak karbitan. Aku melompati fase yang dalam kehidupan dinamakan remaja. Aku menjadi dewasa tanpa pernah menjalani masa itu.

Malam ini berbintang, saat inilah awalnya. Aku bertemu denganmu yang tiba-tiba menjadi kompas dalam kehidupanku.

Aku dan empat orang teman satu kost duduk menikmati santapan malam di sebuah kafe. Tempat yang menyenangkan, kami menamakannya Tempat Biasa, tempat para mahasiswa nongkrong sambil berdiskusi mengenai apa saja, tempat favoritnya mahasiswa FISIP yang terletak di luar kampus dan telah ada sejak zaman reformasi. Letaknya di pinggir jalan, dengan setting duduk lesehan membuat suasana menjadi lebih akrab.

Saat itulah aku melihatmu masuk, wajah sangat manis yang membuat mata menatap lekat dan lebih lama dari biasanya. Kau tertawa renyah pada seorang teman di sebelahmu sambil sesekali melirik ke arah jalan. Kau mendekatiku dan bertanya apakah bangku di sebelahku kosong? Aku mengangguk, tapi tetap diam, berusaha tak jelalatan melihat parasmu.

Kenapa ada orang yang membuat aku kaget setengah mati? Aku sering melihat wanita cantik, tapi ada yang berbeda mengenai gadis ini. Oh, ya? Aku jelas suka pada wanita yang cerdas, sekalipun dulu aku tak pernah memiliki kesempatan untuk menjajal seseorang.

Jujur, biasanya aku tak mudah tertarik pada wanita, apalagi pada pertemuan pertama. Aku tak suka mengakui ketertarikan pada fisik semata. Tapi aku memang cukup pintar menilai seseorang, cukup tepat mengetahui penilaianku benar. Kualihkan pandanganku, takut seseorang akan memergoki keterpanaanku. Aku pun mulai kembali terlibat dalam diskusi. Aku sedikit merinding tatkala memergokimu menguping pembicaraanku dan teman-temanku.

🌠🌠🌠

Pukul 05.00 pagi

Aku sebenarnya malas mengikuti ospek, soalnya aku pembangkang. Tipe-tipe yang akan mendapat masalah dan membuat senior senang, mangsa empuk untuk dibantai kalau beramai-ramai, apalagi dalam kondisi tak bisa melawan. Namun, aku menyadari kalau masa ini menarik, aku tak mau kehilangan moment lagi.

Cepat-cepat kuhabiskan roti tawar yang hampir mengeras, aku memang tak terlalu suka makan, jadi makanan apa saja sering utuh sampai harus terbuang. Sayang sebenarnya, mau bagaimana lagi?

Hari pertama ospek ada teman sekosan yang berbaik hati mengantarku ke kampus, sebagai anak perantauan, aku jelas belum terlalu mengenali daerah ini.

Boy, nama temanku itu. Tawa kerasnya menyambut kedatanganku ke parkiran kos. “Culun bener kau, Zi.”

Aku mengangkat bahuku, lalu dia melanjutkan, “mau diantar sampai mana?”

“Sampai gerbang aja,” Benar-benar mencari masalah, saat daftar ulang di fakultas, panitia sudah mewanti-wanti untuk tidak berangkat dengan kendaraan.

Tapi peduli amat. Boy segera melajukan kendaraan roda duanya,  dengan semangat mengenalkan nama-nama jalan maupun gang yang kami lalui. Boy, mahasiswa Fakultas Ekonomi satu tingkat di atasku.

Laju kendaraan segera mengantarkan kami ke gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Jurnalistik. Aku lupa tepatnya kenapa aku memilih jurusan itu, mungkin karena kekagumanku pada seorang paman, journalist senior di salah satu surat kabar terbesar di negara ini. Orang yang sejak dulu menyemangati aku.

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang