26. Survival (1)

487 78 1
                                    

Seakan tak menempuh perjalanan jauh. Aku dan Farhan bergegas menuju apartemen Gea. Farhan menekan bell apartemen Gea dengan kalap, aku di sampingnya. Lima menit sepuluh menit berlalu, kemana dia? HP-nya tak aktif, jangan sampai Gea pergi, masih ada yang ingin dikatakannya.

Pintu itu tak terbuka. Farhan menoleh ke arahku, lalu menggeleng. "Kita pulang aja dulu," ajakku.

"Ke rumah?"

"Ya, masih ada waktu buat mencari Gea." Farhan menuruti, beberapa kali dia menoleh ke belakang berharap pintu itu terbuka.

Bibi Tia menyambut kami, dia memeluk Bang Farhan. Ibu tak terlihat begitu pula ayah. Farhan berjalan gontai ke kamarnya. Aku mengikutinya.

Dia menghempaskan dirinya ke tempat tidur. Aku berbaring di sampingnya memandangi langit-langit kamar. Sudah lama kami tak melakukan hal ini. Dulu Farhan yang selalu mendukung aku, sekarang giliran aku.

Aku meliriknya lagi, ada bayangan gelap di matanya. Sesuatu yang dulu tak pernah ada. Penyebabnya sepele, wanita.

"Lucu ya." Farhan memecah keheningan, "Setelah bertemu dan menghabiskan waktu bersama wanita yang kau cintai. Kita melupakan bagaimana saat-saat sebelum bertemu dia." Aku diam saja mendengar kata-katanya.

Saat turun ke bawah kami melihat ayah dan ibu sedang bertengkar hebat, aku dulu benci suasana rumah yang hening dan kekakuan pada sikap ayah, tapi ternyata aku lebih benci kalau rumah ini ribut dan air mata mengalir di wajah ibuku. Wajah ayah juga berkerut mungkin menahan marah. Aku heran dengan sikapnya, apa dia tak punya perasaan? Memasang wajah seperti itu sementara anaknya sedang terpuruk. Sekalipun itu akibat menentang keinginannya. Saat melihat kami turun mereka segera terdiam.

Farhan duduk di sebelahku, tak ingin bicara apapun. Ibu yang memulai pembicaraan itu, "Ibu senang kamu sehat Farhan."

"Thanks, Bu," jawab Farhan singkat.

"Ayah pikir kali ini kamu sangat keterlaluan Farhan," Begitu akhirnya dia berkata. Farhan hanya diam. "Dari awal ayah sudah menentang hubunganmu dengan dia, dia membawa pengaruh buruk buat kamu."

"Sekarang ayah udah puas?" Farhan menjawab dingin.

Pria itu bicara dengan begitu dingin, seakan tak mengerti. Oh tentu saja dia tak akan mengerti dia tak pernah merasakan kekecewaan. Apa dia pernah dikhianati? Apa dia pernah merasakan pedihnya dicampakjan atau sedikit saja perasaan bersalah atas dosa-dosanya di masa lalu.

"Farhan! Lihat kamu sekarang, dulu kamu tidak pernah membantah ayah. Sejak bertemu orang itu kamu selalu menentang ayah. Apa kamu pikir kamu bisa bersama dengan orang yang asal usulnya tidak jelas itu!" suara pria itu meninggi, aku tersentak akan kata-katanya. Seakan lubang dalam hatiku menganga lagi dan mengucurkan darah segar.

"Ayah." Dadaku panas melihat Farhan diperlakukan seperti itu. "Jangan salahkan Bang Farhan saja, ini semua salah ayah!" tiba-tiba kata itu meluncur dari mulutku tajam.

"Kamu anak kecil Fauzy, jangan ikut-ikutan masuk ke kamarmu sekarang!"

"Aku bukan anak kecil dan jangan perlakukan Bang Farhan sebagai anak kecil, sebaiknya ayah intropeksi diri dan berkaca."

"Lihat Farhan, ini yang kamu ajarkan pada Fauzy? Untuk ikut-ikutan menentang ayahnya?" Suaranya makin meninggi diiringi isak tangis ibuku, aku mulai kesal pada ibuku. Air mata wanita dari dulu selalu membuat aku tak berdaya, air mata juga yang membuatku luluh saat ibu ingin menikah dengan orang ini dan membuat aku terjebak dalam lumpur hisap.

"Dia bukan anak kecil, aku tak pernah mengajarinya apa-apa karena dia terlalu pintar untuk diajari olehku." Farhan balas berteriak marah.

"Kalian berdua bersekongkol menentang ayah kalian sendiri sekarang." Ayah tiba-tiba berdiri."Apapun yang kamu katakan lebih baik berpisah dengannya, dia tidak diterima di rumah ini."

"Kalau begitu aku juga pergi!" Aku berteriak, menumpahkan semua kesal yang selama ini tak pernah kulampiaskan. Mendengar teriakan itu ayahku pucat. "Aku pergi, karena aku juga anak yang tak jelas asal usulnya." Aku segera meninggalkan ruangan itu menuju ke arah kamarku, kudengar Farhan berteriak dan suara langkah kakinya mengejar aku. Keluargaku sekarang hancur berantakan, nah, apa yang harus kulakukan saat ini? Bersorak gembira?

Aku merasakan tangan Farhan mencengkram lenganku. "Maafkan abangmu ini, abang tak bermaksud membuat kau berfikir seperti itu."

"Sudahlah, semua bukan salah Bang Farhan. Yang salah adalah keberadaanku." Aku memang egois, ternyata aku anak kecil. Di saat seperti ini seharusnya aku tak perlu terbawa oleh perasaan, aku membuat keadaan Farhan semakin parah.

"Fauzy, abang sadar kita sebagai anak turut menanggung semua dosa orang tua kita. Tapi setiap anak siapapun itu berhak bahagia, jangan pernah kau pikirkan lagi apapun yang sering kau pikirkan mengenai dirimu itu."

TIDAK! Jangan katakan itu padaku. Aku ini orang dan adik yang benar-benar buruk bagimu. Egois, benar kata-kata Vio. Selama ini aku tidak menyadarinya, kata Vio, aku sempurna? Aku orang yang penuh prasangka dan kebencian. Lagi-lagi Farhan yang menguatkan aku, apa aku sedemikian tak bergunanya? Abangku yang selalu kuejek kekanak-kanakkan ini, membuat aku malu berkali-kali. Akulah yang paling kekanak-kanakkan. Tapi, aku benar-benar ingin melihatnya bahagia lebih dari kebahagiaanku. Jadi jangan katakan apapun untuk menguatkan aku. Harusnya saat ini aku yang mendukungmu, aku terbawa perasaanku sendiri. Ternyata sisi gelap dalam diriku tak pernah hilang, aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku bahkan tak berani memandang Farhan.

"Maafkan aku, Bang, aku membuat semuanya jadi lebih buruk." Aku memanggilnya 'abang' kali ini.

"Sudahlah, lagipula masalahku saat ini belum terlalu buruk dibandingkan kalau memikirkan perasaan ibu." Farhan duduk di sebelahku, kami lama terdiam bersandar pada tempat tidur di kamarku, samar terdengar pertengkaran dari bawah. "Kau dengar tadi ibu sampai berteriak mengungkit masalah perceraian, kita harus siap. Aku tak ingin hal itu terjadi, Zy."

"Kalau begitu kejarlah kebahagiaan abang, itu akan membuatku bahagia." Aku mengatakannya dengan lirih, Farhan merangkul aku.

Aku merasa seluruh tubuhku lemah, aku telah lama mengubur sosok lainku yang lemah itu. Tapi sepertinya dia tak tahan untuk sembunyi, dia menunggu saat yang tepat untuk merayap keluar.

"Aku akan ke kamarku, kau tidur saja dan jangan pikirkan yang aneh-aneh." Farhan bergerak meninggalkan aku. Kata-kata itu kata-kata yang sama saat aku pertama datang dulu. Aku lalu menyadari keadaanku saat ini sama dengan waktu itu. Saat bangun aku bahkan tak mengenali wajahku di cermin.

Aku tak ingin menjadi kekasih lelaki yang sempurna.

Kata-kata Vio terngiqng, terimakasih Vio, kata-katamu menghangatkan aku. Aku rasa aku memang membutuhkannya. Aku jadi merindukan kamu. Aku benar-benar merindukan Vio, tapi aku tak membalas pesan bahkan tak menjawab telponnya. Sekalipun Vio berkata demikian, aku yang saat ini mungkin jauh dari sosok yang dia harapkan. Aku tak berharap Vio bisa membantu masalahku, lagipula aku tau aku tak akan pernah duduk di sampingnya sambil tersenyum bahagia, kalau aku belum bisa menghancurkan diriku yang satunya lagi, yang selalu berpikiran buruk dan lemah tak berdaya. Bagaimana aku bisa mendukungnya, kalau untuk mendukung diriku sendiri saja aku tak bisa? Aku tak bisa apa-apa tanpa Farhan, dan di saat Farhan perlu aku, aku bahkan sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.

Aku akan kembali sebentar untuk mengurus cuti, Vio akan kaget tapi itu lebih baik, aku tak akan bisa meninggalkan Ibu dan Farhan saat ini. Aku, sekalipun membenci ayahku tak ingin melihat semua yang telah dibangun dengan susah payah ini jadi hancur berantakan. Aku tak ingin mempertahankan sosok ayahku, tapi aku akan mempertahankan ayah abangku dan suami untuk ibuku. Aku akan melakukan sesuatu untuk Farhan, setelah apa yang dia lakukan selama ini untukku. Karena itu, maafkan aku Vio, saat ini aku belum bisa memikirkan diriku sendiri. Karena saat aku memikirkan kebahagianku itu karena aku bersamamu.

"Fauzy, kau tak harus melakukan ini. Bagaimana dengan Vio?" Farhan berusaha menentang keinginanku untuk cuti kuliah disaat yang tidak tepat.

"Tidak apa bang, lagipula daripada nilaiku hancur. Lebih baik mengurus izin kuliah."

"Kamu nggak akan bertemu Vio selama beberapa bulan."

"Kalau masalah di sini sudah selesai aku akan cepat kembali ke sana, sekalipun tidak saat kuliah, yang pasti aku akan bersamanya saat aku sudah siap." Farhan terdiam, dia tahu tak akan bisa mengubah pendirianku.

"Abang tolong perhatikan ibu sampai aku kembali." Farhan mengangguk mendengar permintaanku

***

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang