Vio,
Terlalu lama Vio memandangi langit malam ini, besok ia akan berangkat meninggalkan kota di mana ia menghabiskan masa kecil dengan bahagia tapi berakhir tak sesuai dengan keinginannya. Usaha keras membuatnya lulus di salah satu PTN di negara ini.
Ada hasrat yang gamang, mengapung di batas keinginan ataukah pelarian. Kesedihan menyeruak muncul perlahan di hatinya. Naifkah ia dengan semua ratapan tentang kehidupan?
Vio mengangkat tangan membentuk kotak dengan jarinya, membingkai bintang-bintang yang kala itu bersinar dan berkelip dengan indah seakan menyemangati dirinya.
Vio percaya takdir dan ia begitu kecil, ia terbawa arus, bulir air mata berjatuhan, hatinya perih dan terluka parah, seakan tak akan pernah sembuh. Dia merasa begitu menderita.
Dalam perjalanan menuju kota tempat lembar baru akan di mulai, Vio terngiang pembicaraan semalam.
"Benar kamu tidak apa-apa sendiri?" tanya papanya.
"Aku sudah terbiasa," jawabnya.
"Diva, kamu jangan berkata seperti itu, sayang."
"Sudahlah, umurku 18 tahun dan aku tak perlu orang lain."
Pria itu hanya terdiam, terpaksa membiarkan pilihan tersebut.
Dan sekarang, dia sendirian. Dipandangnya secarik alamat yang tertulis rapi di organizer-nya. Pondokan Melati. Yah walaupun dia berkeras bisa sendiri, dia tak mungkin menolak saat ayahnya telah menghubungi kenalannya dan mencari kos-kosan yang bagus untuk Vio. Vio tahu di awal penerimaan mahasiswa baru seperti ini sangat sulit mencari kos-kosan, bisa-bisa dapat kosan yang tidak layak.
Taxi yang membawanya dari bandara tak kesulitan mencari lokasi tersebut. Vio segera menemui pemilik kos. Seorang ibu muda berusia awal 30. Dia menyambut Vio dengan senyum lebar.
"Wah ini yang namanya Diva, mari ibu tunjukkan kamar kamu, selain Diva ada 5 penghuni yang baru, nanti pasti bisa cepat akrab." Ibu kos memberikan kunci kamar A4 kepada Vio dan segera mempersilahkan Vio beristirahat.
Vio melihat kamar itu cukup luas, kamar mandi di dalam lengkap dengan perabot standar. Vio membuka travel bag-nya, ia tidak membawa banyak barang. Buku tabungan yang menyimpan dana cukup besar, walau kesal Vio terpaksa menerima uang itu dari ayahnya, kalau tidak dia tak akan bisa mengecap bangku kuliah.
Tiba-tiba hujan turun sangat deras, Vio tertawa sinis. Hujan ini pertanda apa? Menangisi aku atau membersihkan aku? Malang ...
"Halo tetangga baru," mendadak seseorang muncul di pintu kamarnya.
"Oh haii, aduh kaget deh." Vio mempersilahkannya masuk.
"Kata ibu kos, kamu anak Ilmu Politik. Aku buru-buru ke sini, soalnya kita satu jurusan."
"Oh ya? Waw kayaknya kita jodoh nih."
Perempuan itu tertawa, kemudian memperkenalkan diri. "Oh iya, aku Yaya, kamarku A8."
"Aku Diva Violina, panggil aja Vio." Dia tidak ingin dipanggil Diva, karena itu mengingatkannya pada orang itu.
"Oh oke." Yaya segera duduk di sampingnya.
"Aduh maaf ya, aku belum punya apa-apa buat disuguhkan."
"Nggak pa-pa, kuambil dari kamarku aja deh, sekalian cemilan juga kalo kamu nggak keberatan kamarmu jadi berantakan."
"Tentu aja nggak. Mphh ... aku malah jadi ngerepotin." Vio tertawa gembira.
Itulah awal perkenalan Vio dan Yaya, dia sangat terbantu, membuat mereka langsung akrab karena Yaya sangat ceria juga ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah (END)
RomanceFauzy Adam ingin melarikan diri dari kehidupan lamanya dan menjalani kehidupan normal. Meninggalkan kebencian yang mendalam pada sosok yang tiba-tiba merubah dirinya. Dia tak ingin lagi menjadi seseorang yang dulu hanya hidup untuk mencari membuktia...