Kos Ronde, Pukul 13.00.
Kembali, suasana kamar kos yang kurindukan. Boy segera datang memburuku berharap menemukan oleh-oleh, dia segera menemukannya. Ibu memaksaku membawa beberapa kotak makanan khas yang membuat ranselku penuh.
"Segera habiskan sebelum makanan itu berjamur," ledekku.
"Tenang, segini sih gampang," katanya dengan mulut penuh.
Aku menanyakan kondisi kosan yang kutinggalkan selama seminggu tapi sepertinya tidak ada perubahan. Dengan segera aku menghubungi kawan satu kelas di perkuliahan untuk menanyakan apakah ada tugas atau kuis yang terlewatkan, kelihatan kondisi aman-aman saja. Kening Boy berkerut, ia mengatakan agar aku tak perlu terlalu mengkhawatirkan kuliahku. Kuliah rajin dan IP tinggi hanya untuk anak perempuan saja, untuk Boy kuliah sama dengan main.
Aku heran bagaimana dia bisa lolos di perguruan tinggi yang masuk lima besar nasional dengan pemikiran seperti itu. Aku bukannya sok perfeksionis, tapi sungguh menyebalkan mendapat nilai jelek kalau tau kemampuan kita bisa lebih dari itu. Kulihat Boy mulai melahap potongan cake kelima, aku menggeleng mungkin dia punya kantung untuk menyimpan cadangan makanan di leher atau di perutnya . Dia berkata untuk ukuran lelaki, aku sedikit aneh dalam hal nilai kuliah. Aku terkekeh geli mendengar statement-nya itu.
"Eh, Zi, kemarin ada cewek yang nyari ke sini," tiba-tiba Boy berkata.
"Siapa?"
"Aduh ... dia nggak sebutin namanya, pokoknya anaknya manis."
"Yah jangan pakai kata sifat begitu dong."
"Rambut ikal sebahu, mata bulet plus lesung pipi," jelasnya lagi.
Vio? batinku, ngapain dia ke sini? Aku jadi penasaran, apa sebaiknya aku hubungi dia. Tapi, lebih baik aku tanyakan besok saja hitung-hitung kesempatan untuk bertemu. Aku mulai melempar-lempar pakaian kotorku ke ember cucian.
***
Kampus Hijau,
Mata kuliah pertama telah usai dan mata kuliah kedua sekitar tiga jam lagi. Aku bergegas ke ruang belajar jurusan ilmu politik mencari Vio. Tapi sepertinya dia tidak ada, aku berinisiatif mencarinya ke sekretariat buletin fakultas. Sulit dibayangkan pada saat kita tertarik pada seseorang, ada saja hal-hal yang membuat kita selalu ingin melihatnya. Sejujurnya rasa ini cukup menyenangkan.
Aku menyampaikan pesan pada seseorang di depan pintu sekretariat Buletin Fakultas.
"Vio, ada yang mencarimu!" Orang itu berteriak. Lalu aku terdiam saat Vio keluar dan menghampiriku.
"Fauzy!" Dia terlihat kaget.
"Hai, tampaknya sibuk?" basa basi.
"Biasa menjelang terbit, masuk aja, yuk," ajaknya.
"Nggak papa nih ada orang luar? trus gak ganggu kan?"
"Nggak koq," Vio menarik sebuah kursi yang agak jauh dari meja tempat kami berdiri, aku refleks menggantikannya menarik kursi itu.
"Makasih," ujar Vio lalu mempersilahkan aku duduk. "Sepertinya lama nggak kelihatan?." dia melanjutkan.
"Oh, aku pulang"
"Pulang?" selidiknya.
"Pulang ke rumah orang tua," jelasku. Vio mengangguk paham.
"Di saat-saat seperti ini? Tampaknya untuk urusan yang cukup penting." dia berkata.
"Ya, begitulah," sahutku cepat. lalu Vio diam, satu hal yang aku sukai darinya, dia nggak suka mencari tau mengenai hal-hal yang tidak ingin dibicarakan oleh orang lain. Aku dan dia sama-sama punya kebiasaan untuk diam ketika tau pertanyaan kami tidak ingin dijawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah (END)
RomanceFauzy Adam ingin melarikan diri dari kehidupan lamanya dan menjalani kehidupan normal. Meninggalkan kebencian yang mendalam pada sosok yang tiba-tiba merubah dirinya. Dia tak ingin lagi menjadi seseorang yang dulu hanya hidup untuk mencari membuktia...