29. Yang Terakhir (End)

2.4K 124 27
                                    

Tujuh tahun kemudian,

Senyum membuncah di wajah Vio, ia tetap mempesona seperti pertama aku melihatnya dulu. Novel ketujuh Vio yang berjudul 'lirih', terjual lebih dari 70 ribu eksemplar. Pencapaian yang luar biasa, Vio bahkan menyabet penghargaan dari dewan kesenian, dia menjadi penerima penghargaan termuda. Yang lebih menyenangkan 'lirih' merupakan debut perdana FauvoBooks, langkah awal yang sangat menentukan citra penerbit itu selanjutnya. Saat ia memutuskan untuk merilis novel ketujuhnya di bawah penerbit itu, banyak protes keras berdatangan, editornya, managernya bahkan para fans fanatik. Terlalu berisiko, menurunkan citranya sebagai novelis yang mumpuni.

Tapi protes itu segera hilang, siapa yang peduli dengan penerbit apa kalau tau siapa penulisnya? Tulisan Vio selalu memberi warna, ia tak pernah sembarangan menulis selalu melakukan riset mendalam. Saat ini Vio masih bekerja di sebuah Non Government Organization (NGO) yang bergerak di bidang perempuan, sangat khas Vio. Vio melihat jam di ponselnya, bergegas keluar dari rumah mungil yang berhasil dibelinya dari hasil penjualan novel. Aku tersenyum saat memandangnya.

Senyumnya masih seperti dulu.

Vio pun tak pernah menyangka bahwa impian masa depan yang kami bicarakan saat kuliah dulu segera jadi kenyataan. Fauvobooks, direkturnya adalah aku sendiri, tentu dengan dukungan luar biasa dari Farhan. Pasti tak banyak yang tahu siapa yang ada dibalik keputusannya itu. Tentu saja lebih mudah bagiku menjalankan usaha penerbitan, aku sudah lama bercokol di bidang itu. Vio berkata saat ini dia merasa sangat bahagia lebih dari sebelumnya. Semua masa-masa sulit telah terlewati. Bahkan dia pun telah bisa menerima kehadiran ayah yang selama ini dicintai tapi juga sangat dibencinya itu.

Aku katakan padanya kami akan dinner di restaurant untuk merayakan kesuksesan ini. Aku mengecup keningnya mesra dan hangat. Lima belas menit mobil itu berjalan, Vio baru menyadari kalau mobil yang aku kendarai tidak sampai-sampai.

"Kita mau ke restoran mana?," tanya Vio bingung. Aku hanya tersenyum. 30 menit. 40 menit kemudian Vio tersentak. Bandara? Aku mengambil ransel dari bagasi mobil, membuat Vio semakin melongo. Vio semakin kaget saat aku menuju counter check in.

"Kita mau ke mana?" desak Vio. Aku kemudian menutup mulutnya dengan jari telunjuk, menyuruhnya diam.

Haha? Tiba-tiba Vio terpekik kaget saat mengetahui bahwa aku berniat mengajaknya ke kotaku.

"Fauzy, aku kan nggak ada persiapan. Kenapa kamu nggak bilang apa-apa?"

"Aku ingin membawamu ke tempat kenangan." Aku tersenyum penuh arti.

Vio tahu dari dulu, aku sering memberinya kejutan-kejutan, begitu pula dia, makanya hubungan kami yang sekian lama tak pernah terasa membosankan. Syukurlah Vio tidak memiliki riwayat jantungan.

Satu jam di pesawat, kami sampai ke kota asalku. Berbeda dengan dulu, Farhan tak menjemput kami. Aku memang bermaksud diam-diam. Aku menarik tangan Vio. Hari sudah mulai gelap saat kami masuk dalam taxi.

Akhirnya Vio tahu ke mana aku  membawanya, 'Bukit Lembayung', rumah di sana terlihat berbeda, tapi suasananya tetap sama.

"Fauzy ini kan?" Vio hampir tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Aku membuka pintu rumah itu. Mencari saklar lampu. Melempar sekenanya ransel yang isinya mungkin hanya laptop ke sofa. Lalu mengajak Vio ke halaman belakang. Tak ada yang berubah dari tempat itu, bagai lukisan maestro, kegelapan menjadikannya lebih indah. Semuanya terpadu begitu kontras. Dua buah kano tertambat di pelantar, samar-samar Vio dapat melihatnya. Aku menyalakan lampu badai dan menggulung celana jeans yang kupakai hingga sebatas lutut. Aku mengulurkan tanganku yang bebas ke arah Vio.

Semilir angin membawa aroma tubuh Vio ke arahku, cukup membuatku panas dan, walaupun udara sungguh sangat sejuk, aku merasa terbakar saat menghirupnya.

Aku naik ke atas kano, Vio menggenggam erat tanganku berhati-hati agar tidak limbung, beruntung tadi dia mengenakan celana jeans dengan blus baby doll berkerah V. Kalau memakai dress jelas ia akan salah kostum.

Sehelai daun jatuh ke lenganku, aku membiarkannya. Vio ingin mengucapkan sesuatu tapi entah kenapa dia ragu. Cantik sekali malam ini, langit sangat cerah dengan bulan sabit dan bintang-bintang yang berkelipan. Dulu Vio berkata kalau dia selalu merana saat melihat langit seperti ini. Tapi sekarang ia merasa hatinya hangat.

"Apa yang menyebabkan kamu terpikir akan tempat ini?" kata Vio akhirnya.

"Apa ya? Merindukan masa lalu," jawabku sekenanya.

Vio beringsut mendekat, "Memangnya ada apa dengan masa sekarang?"

Aku meletakkan kayuh di dalam kano, kano itu berhenti di tengah. Aku merangkul Vio dan dengan cepat Vio berbalik menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku mengeluarkan sesuatu dari saku. Vio menyadari dan tercekat.

"Oh." Vio mendesah lirih. Wajahku mungkin saat ini terlihat sangat serius dan tegang.

"Mau menikah denganku?" Entah kenapa suaraku yang selalu tenang terlihat grogi, sulit sekali mengucapkan kata-kata itu lebih kelu dari 8 tahun yang lalu saat pertama kali kukatakan ingin bersama dia, perempuanku, cinta dalam hidupku. Mata Vio terlihat berkaca padahal malam itu hanya diterangi cahaya temaram.

"Kalau tidak dijawab aku akan menceburkan diri ke kolam." Aku berkata cepat.

Via tertawa, tawanya sangat merdu. Aku ingin tawa itu selalu aku dengar selamanya. Dia berhenti tertawa, selang beberapa saat dia tertawa lagi. Dia benar-benar ingin menghukum aku.

Vio menarik nafas. "Ya, pasti."

Vio segera menghambur ke pelukanku, sedetik kemudian aku segera memasang cincin itu di jarinya. Di bawah cahaya bulan aku melamarnya, suasana yang sama saat awal kami bersama semasa kuliah dulu.

"Apa kita akan terus di sini sampai besok?" tanya Vio.

"Kemungkinan besar begitu," jawabku. "Lagipula kita harus mampir ke rumah untuk memberitahukan kabar ini."

"Kalau begitu temani aku ke supermarket 24 jam untuk membeli keperluan karena kondisi penculikan ini," rungut Vio.

"Pasti, ehm masa korban penculikan nempel gini sih sama penculiknya?" Vio segera mendorongku dengan kesal saat mendengar kata-kata itu.

Aku tertawa, lalu tersenyum ke arah Vio. Vio membalas senyumanku, aku merasa larut dalam kebahagiaan.

Aku menyadari sejak bertemu dengannya, kehidupan memang tak pernah berjalan seperti yang aku inginkan, tapi aku bisa berjuang untuk mendapatkan apa yang aku butuhkan. Vio telah menjadi bagian dari hidupku, memang benar saat bertemu dengan wanita yang kita cintai, kita lupa bagaimana masa-masa dulu saat belum bertemu mereka. Aku menarik tubuh Vio lebih erat ke dekapanku, menciumnya tak pernah bosan. Kano itu mengapung di atas danau tanpa ada yang mendayung.

Malam masih berbintang.

-end-

Terima kasih yang sudah membaca, cerita ini pertama kali aku tulis sepertinya sudah lama sekali. Semoga menghibur dan menginspirasi 💚

Love, Lya.

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang