Panti Asuhan Samida.
Tadi siang kami telah kembali ke panti, Vio tak betah berlama-lama di sana dan Om Yadi dengan berat hati mengizinkan kami pergi. Dia meminta contact-ku berharap bisa memantau perkembangan anaknya. Sehari semalam di sana membungkam Vio, bahkan aku bisa hitung dengan jari berapa jumlah kata-kata yang diucapkan. Kami sedang di ruang baca. Vio masih memasang aksi diamnya.
"Sampai kapan kamu mau seperti ini?" Aku berkata akhirnya. Kami hanya berdua di ruang baca itu.
"Apa maksudnya?" Vio berkata lirih.
"Menjadi seseorang yang bukan dirimu."
"Ya ... inilah aku yang sebenarnya." Intonasi Vio berubah keras, "kenapa kamu nggak suka?"
"Aku tau kamu. Gimana kamu di kampus bahkan di tempat ini, hanya di rumah itu kamu berubah. Kamu ingin aku percaya itu kepribadianmu yang sesungguhnya."
"Jangan merasa paham tentang hidupku," kata-kata Vio sedikit mengagetkanku? Apa aku melewati batas?
Melihat raut wajahku yang diam. Vio langsung menyesal dan menutup kedua mulutnya dengan tangan. Matanya berkaca.
"A-Fauzy-aku." Vio berlari ke kamarnya meninggalkan aku.
Aku pikir dia menangis. Aku pun kembali ke kamarku sambil melihat sekeliling semoga tidak ada yang mendengar keributan itu.
Hp-ku bunyi. Maaf, pesan singkat dari Vio. Aku mendesah.
Pukul 19.00.
Lama aku terdiam, kami berdua berdiam diri. Vio mengajakku ke taman di dekat danau tak jauh dari panti. Tempat ini favorit Vio dari dulu katanya. Lampu-lampu di sekelilingnya sedikit redup, bunga bougenville yang ditata rapi di pinggir, danau yang memantulkan cahaya bulan dengan teratai-teratai terapung di tepinya. Jauh dari jalan raya sehingga tak terusik akan suara berisik kendaraan.
"Tampaknya aku belum jadi orang yang tepat untuk kau biarkan memahamimu," kataku, harusnya aku tak perlu berkata seperti itu. Tapi kejadian kemarin dan tadi siang membuatku cukup shock, harusnya aku tak perlu kaget mengetahui apapun tentang Vio, tapi tetap saja aku kaget, kecewa, mungkin. Vio tak pernah berkata apa-apa, tapi bukankah aku juga begitu?
"Ingin mengetahui apa?" Vio berkata lirih dan tiba-tiba dia menangis.
Aku terperanjat melihat Vio tiba-tiba menangis, kalau ini malam libur taman ini pasti tak sesepi sekarang.
"Vio, kenapa tak kau biarkan saja aku jadi orang yang paling mengenal siapa dirimu?" Bukankah aku sudah menjanjikan hal itu. Aku ingin itu dan aku siap.
"Tapi aku ... aku malu," isak Vio. Kontan aku mendekapnya. Vio menangis lagi.
"Usiaku memang baru sembilan belas tahun dan terlalu muluk jika aku berbicara yang jauh-jauh," kataku. "Tapi aku ini pria dan saat aku membiarkan jatuh cinta padamu, aku juga siap menerima semuanya tentang kamu, kamu ngerti kan kenapa aku marah?"
Tangis Vio semakin kencang. Lalu meluncurlah cerita itu dari bibir mungilnya. Om Yadi adalah ayahnya, aku sudah tahu itu. Ibu dan ayahnya tak pernah menikah, ibunya ditinggalkan oleh pria itu karena menikah dengan wanita pilihan keluarga, dia terlalu lemah untuk menentang keluarganya. Kakek dan neneknya mengusir ibu karena hamil di luar nikah. Setelah melahirkan Vio, ibunya bekerja seadanya. Saat usianya lima tahun ibunya meninggal dan menitipkan Vio ke panti asuhan Samida.
Di sana hari-hari Vio bahagia, dia hanya menangis sebentar saat tau dia tak punya ayah dan ibu lagi seperti teman-teman sekolahnya. Tapi, di panti itu semua anak-anak lain mempunyai nasib yang sama dengan dirinya. Lalu sewaktu usianya 14 tahun, Vio ingat saat itu dia masih kelas 3 SMP, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatang seorang pria yang mengaku ayahnya. Pria itu menangis meminta Bu Samida menyerahkan Vio padanya. Vio saat itu sudah cukup dewasa dan sadar, dia membenci pria itu karena mencampakkannya. Kenapa dia harus datang di saat Vio telah menerima kenyataan? Kebenciannya semakin kuat saat dia tahu, pria itu tak berhasil memiliki anak dari pernikahannya yang sekarang. Pria itu tak mau mencemari namanya sebagai orang yang cukup terpandang di kota itu, Vio dikatakan adalah anak adopsi dari sahabatnya yang meninggal karena kecelakaan.
Media beberapa kali pernah memuat gosip itu, tapi dia selalu berhasil membungkam media-media tersebut. Karena itulah sampai saat ini Vio membencinya, dia tak pernah mengakui Vio anaknya, percuma perhatian dan limpahan kasih sayang yang diberikan pada Vio beberapa tahun ini, itu tak akan merubah segalanya, Vio tetap menderita, sampai ia bertemu denganku dan merasakan cinta.
Kepalaku seakan berputar saat mendengar cerita itu, kisah yang menurutnya klise tapi sering terjadi. Vio, di mana sebenarnya kau simpan kesedihanmu? Kau menyembunyikannya dalam tawa dan sikapmu yang ceria. Ternyata kau dan aku sama, kita sama-sama ditelantarkan oleh ayah kita. Tapi aku lebih beruntung dibandingkan Vio, setidaknya saat ini ia masih memiliki ibunya dan juga, Farhan.
"Aku orang yang tak diinginkan," kata Vio bergetar dan lirih, dia bahkan mungkin tak yakin mengucapkan kata-kata mengerikan itu.
"Aku menginginkanmu," bisikku seraya membelai rambut Vio perlahan dan mempererat pelukannya, semakin tak ingin melepasnya.
"Ehm," lanjutku. "Juga sainganku si Andi, jangan lupakan dia."
Vio langsung tertawa dan memukuliku seketika, suasana tegang itu seketika mencair.
"Iih kamu merusak suasana," Vio merengut marah, tapi air matanya tak terlihat lagi.
"Bisa gawat kalau lama-lama kamu kayak gitu. Nanti aku bisa ngapa-ngapain kamu lagi, tempat ini sepi loh." Aku memasang seringai yang dibuatnya selicik-liciknya. Vio memukul lagi, kali ini lebih kuat.
Aduh, aku tertawa, lalu berkata nyaris berbisik. "Aku serius. Ayo pulang, sudah malam nanti Bu Samida khawatir lagi."
Aku mengulurkan tangan dan Vio meraihnya. Vio harusnya tau kalau saat itu dia bukan hanya sekedar meraih tangan ini.
Coba katakan padaku padaku bagaimana kalau bintang mulai kehilangan cahayanya?
Malam akan semakin gelap dan pekat, sehingga sinar bintang masih terlihat cemerlang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah (END)
RomanceFauzy Adam ingin melarikan diri dari kehidupan lamanya dan menjalani kehidupan normal. Meninggalkan kebencian yang mendalam pada sosok yang tiba-tiba merubah dirinya. Dia tak ingin lagi menjadi seseorang yang dulu hanya hidup untuk mencari membuktia...