24. Bergerilya Dalam Lumpur (1)

476 77 3
                                    

Hari-hari yang penuh kegembiraan tiba-tiba kembali terusik, ia bagai mimpi buruk yang mengintai dan selalu muncul di saat yang tepat. Kamis sore saat aku baru saja mengantar Vio pulang kuliah ke kosnya, hp-ku berdering. Farhan?

"Hai,"

Mendengar suara Farhan dari seberang, wajahku berubah seketika.

"Ada apa?" tanya Vio, jangan kabar buruk please, saat ini.

"Entahlah, Farhan minta dijemput di bandara," jawabku, itu benar aku toh tak tau apa yang terjadi. Kenapa mendadak abangku sudah sampai di sini? Kaget rasanya. Tapi positif thinking saja, bukannya Farhan biasa seperti itu suka sesuatu yang dadakan?

"Bandara?" Vio bertanya dengan paras kaget. "Bandara sini?"

"Iya, aku panggil taxi dulu," Vio buru-buru bersiap. Taxi datang lima menit kemudian.

"Kenapa Bang Farhan mendadak datang?" tanya Vio diperjalanan.

"Entahlah, Farhan biasa ngejut-ngejutin gitu sih. Ingat waktu dia dan Gea ternyata di sini saat liburan semester genap. Mungkin dia cuma pengen liburan saja."

Tapi Vio tau aku bahkan meragukan kata-kataku sendiri. Aneh, Farhan datang sendiri, suaranya terdengar sangat lemah. Saat turun dari taxi aku menemukan sosok abangku itu di ruang kedatangan. Farhan? Vio juga kaget saat melihatnya. Farhan sangat berbeda, saat melihatku Farhan tersenyum sekilas, tumben biasanya dia gatal kalau nggak teriak-teriak saat kami bertemu.

Farhan tampak kacau, ia merangkulku. Aku belum ingin bertanya ada apa. Kemeja abangku itu terlihat kusut keluar setengah dari celana jeansnya, rambut berantakan, matanya sayu, seakan letih luar biasa. Hey kemana perginya Farhan yang cerewet dan berisik serta nggak bisa diam itu?

Vio menyapa, Farhan tersenyum membalas dengan ucapan, "Hai cantik."

Tapi tak bersemangat seperti pertama dulu. Lama kami terdiam di taxi dalam perjalanan ke hotel. Aku putuskan ke hotel ketimbang kosan, soalnya tempat tidurku single bed.

"Pertunanganku dengan Gea batal," kata-kata Farhan memecah kesunyian. Aku tercekat mendengar kabar itu. Vio pun tampak kaget. Aku sudah memposisikan pilihan ini sebagai alasan teratas.

Lalu, yang kedua kabur dari tanggung jawab sebagai direktur perusahaan. Sejak dulu instingku memang kuat. Terakhir aku melihatnya seperti ini, bahkan mungkin lebih parah, saat aku kecelakaan yang waktu itu. Aku dengan nekat membawa lari motornya dan kebut-kebutan saat aku di masa pemberontakan dulu. Farhan menangis bahkan tak makan sesuap pun, dia menyalahkan dirinya saat peristiwa itu. Yang membuat aku yakin kalau dia juga sangat menyayangi aku. Abangku ini sejak dulu lebih peduli pada orang lain dibanding dirinya sendiri.

"Oh." Itu saja yang dapat kukatakan saat ini. Aku tau orang yang sedang kehilangan tak butuh kata-kata penghiburan seperti sabar, ikhlaskan dan sebagainya. Mereka cuma butuh didengar dan mungkin didukung atas kesedihan yang mereka alami.

Aku dan Farhan menunggu di lobi sementara pacarku, Vio check in. Mungkin aku akan nginap di sini juga malam ini.

Kami menuju kamar hotel. Vio menggenggam tanganku, bingung. Sekilas kulirik wajahnya seakan cemas, mungkin dia berpikir untuk segera meninggalkan kami agar aku bisa berbicara berdua dengan Farhan.

"Besok kita ke kosanmu saja," kata Farhan lirih "Mungkin aku akan lama tinggal di sini, aku malas di hotel."

"Terserah saja, abang mandi saja dulu baru kita makan." Farhan segera menyeret kakinya ke kamar mandi. Aku membuka kopernya. Aku segera memesan makanan, Farhan sudah pasti kelaparan.

Ponselku berdering. Ibu.

"Ya, Bu?" Aku mendengar ibu menangis di seberang, tampaknya Farhan kabur diam-diam.

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang