25. Bergerilya Dalam Lumpur (2)

475 81 1
                                    

Aku mengatupkan bibir mendengar keseluruhan cerita Farhan. Kemarahan segera mengambil alih pikiranku. Siapa yang salah? Ayah? Itu pasti. Ibu Gea? Tapi Gea lah yang paling bersalah, apa dia tak tahu betapa Farhan sungguh-sungguh padanya?

Bagaimana bisa dia mengelabui semua orang dengan tipu daya? Pandangan matanya saat menatap Farhan, gelayut manjanya pada Farhan seakan ia bagian dari dirinya. Pasangan yang selalu membuat aku iri dengan kemesraannya. Brengsek!

Aku mengantar Vio pulang, merasakan tangannya memeluk pinggangku erat saat aku memboncengnya. Aku menarik tangannya agar memeluk pinggangku dengan lebih erat. Seakan takut tangan itu akan dengan mudah terlepas. Masih pukul 9 malam, baru 4 jam sejak kedatangan Farhan tapi pikiranku terasa penuh.

Aku memandangi wajah wanita cantik di hadapanku ini, "Apa suatu saat kamu juga akan berkhianat?" Tiba-tiba kata itu meluncur cepat tanpa sempat aku sadari.

"Itu ucapan paling bodoh yang pernah aku dengar, masuk dulu," perintahnya. Kata-katanya tegas seperti matanya yang menatapku, membuat kakiku melangkah memasuki kamar kos-nya. Padahal tadinya aku ingin segera kembali ke hotel.

"Fauzy, aku cuma mendengar sedikit pembicaraan kalian mengenai apa yang terjadi, aku tak bisa berkomentar banyak. Saat ini emosi Farhan sedang tak stabil, masa kamu juga jadi begitu."

"Maafkan aku, aku hanya mendadak mengetahui sesuatu yang sangat memuakkan. Bagaimana orang bisa begitu kejamnya bermain dengan perasaan. Vio aku pernah dikhianati dua kali, mungkin saja selalu ada yang ketiga."

"Kamu membuatku tersinggung Fauzy. Lagipula coba pikirkan baik-baik, apa kamu yakin Kak  Gea tak punya perasaan pada Bang Farhan?" Aku terdiam akan kata-katanya. "Pahamilah kondisi Kak Gea, saat ini dia mungkin sedang tertekan. Apa kamu yakin dia tak mencintai Bang Farhan?"

"Entahlah, aku tak bisa berfikir." Aku mengatakannya dengan cepat. Ya tak mungkin, ada yang salah dari semua ini.

"Suruh Bang Farhan bertanya lagi, menurutku orang seperti kak Gea pantas untuk diperjuangkan." Vio membelai wajahku lembut.

Aku memandang wajahnya, dekat sekali. "Pikiranku jelek?"

Vio mengangguk, "Tapi nggak apa, aku suka."

Aku mengerutkan kening, "Kamu suka melihatku seperti ini? Mengatakan hal-hal yang menyakitkan?"

"Ya. Aku jadi sadar kamu nggak sempurna. "

"Kamu membuatku bingung."

"Karena selama ini aku takut, bagiku kamu terlalu sempurna. Aku takut menjadi kekasih orang yang sempurna."

"Bodoh." Aku berbisik. "Vio, aku pun akan selalu memperjuangkanmu," kataku pelan mengecup keningnya. "Selamat malam, jangan lupa kunci pintu." Aku meninggalkan Vio dengan perasaan yang jauh berbeda dengan ketika saat aku mengantarnya tadi.

Pulang dari kampus aku tak melakukan kebiasaanku seperti nongkrong di kosan Vio, menjajal wall climbing atau melakukan kegiatan-kegiatan yang biasa membuat aku enjoy dan tak perlu memikirkan apa-apa. Aku segera kembali kekosanku, mampir membeli makan siang dua bungkus. Sampai di kosan mendapati Farhan sedang termenung.

"Aku mencoba menelpon Gea, tapi hp-nya nggak aktif, semua teman-temannya nggak ada yang tau. Dia bahkan ambil cuti dari kantor." Gea bekerja sebagai HRD di perusahaan shipyard. Begitu katanya, Farhan mungkin orang yang paling tak percaya dengan kata-kata Gea.

"Apa dia pulang ke tempat ibunya?" Aku bertanya.

"Selama ini, aku terlalu menyayanginya untuk sekedar peduli pada apapun kehidupannya sebelum bertemu aku. Mungkin ini salahku." Lagi-lagi kebiasaan abangku yang terlalu baik hati untuk menyalahkan orang lain.

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang