19.00 wib, Kampus Hijau.
Air dingin menggigit kulitku, aku menenggelamkan diri. Tubuhku bergerak cepat membelah air. Kemudian memperlambat gerakanku, membiarkan air yang dingin membelai-belai kulitku. Dingin sudah menjadi temanku, begitupun sunyi. Kolam renang ini sepi, aku sudah meminta izin petugas jaga untuk menggunakannya saat malam di mana aku merasa bosan.
Aku membalikkan tubuhku hingga bisa menatap langit, benar-benar santai saat ini, takjub melihat betapa banyaknya bintang. Betapa malam ini sangat cerah.
Bintang-bintang, aku tak pernah begitu tertarik pada wanita sejak dulu, mungkin tak berani atau tak percaya diri. Sejak dulu hanya tinggal berdua dengan ibuku, terlalu sibuk untuk memikirkannya hingga aku tak punya kesempatan untuk memikirkan yang lain. Lalu, kejadian itu makin membuatku gila, makin menutup diri, bahkan malas bicara. Aku takut dengan pandangan sinis orang-orang, takut tak disukai, takut penolakan.
Waktu bicara denganmu, entah kenapa tiba-tiba perasaanku hangat, kau bersinar begitu berkilau di antara yang lain. Aku tau ini bukan cinta pandangan pertama, aku tak percaya itu. Tapi aku percaya, kau lah wanita yang telah lama kuharapkan, menerangi hari-hariku yang gelap menceriakan kesunyianku. Rambutmu, matamu, bibirmu, kata-katamu bahkan cara makanmu yang berantakan membuat aku terpesona. Bisa mengimbangi aku, memulihkan rasa sakit ini dengan perlahan.
🌠🌠🌠
Pkl. 06.00, kos-kosan RONDE.
Aku terbangun melirik jam weker. Masih pagi sekali dan ini hari minggu. Berusaha memejamkan mataku lagi, menggeliat-geliat gelisah. Lima menit kemudian, aku terpaksa duduk. Tampaknya sulit untuk tertidur lagi. Malas-malasan aku menyalakan televisi, melihat berita pagi. Masih berita mengenai gempa di wilayah barat, kubiarkan saja TV menyala untuk menemani pagi yang sunyi, aku membuka pintuku dan melihat gulungan Koran Nasional di sana, aku masih tetap berlangganan. Kubuka halaman demi halaman, menghidupkan dispenser untuk membuat secangkir kopi instant.
Tiada yang lebih mengasyikan selain menikmati kopi sambil membaca koran di pagi hari. Aku pun segera memikirkan plan untuk hari ini. Kalau dipikir-pikir sudah empat bulan aku menjalani kehidupan menjadi seorang mahasiswa, tapi belum ada hal menarik yang telah aku lakukan.
Yang paling mengerikan adalah aku bahkan belum pernah menelpon, mengirim pesan bahkan mengunjungi Vio. Aku benar-benar aneh. Tak terasa sudah dua jam berlalu, perutku mulai keroncongan, aku telah terbiasa sarapan pagi meskipun itu hanya segigit roti tawar beroles selai kacang.
Setelah mandi, aku mulai berputar-putar di sekitar komplek kosku untuk mencari sarapan. Sengaja tidak membangunkan Boy, entah kenapa hari ini aku ingin sendirian, mungkin karena belakangan, aku sering terbayang masa lalu. Apa itu karena kehadiran Vio, ketakutan akan penolakan dirinya akan diriku?
Pesanan gado-gadoku datang, aku buru-buru menghabiskannya. Tiba-tiba aku sangat ingin bertemu Vio. Hei, bagaimana kalau aku mengejutkannya hari ini? Jam sepuluh pagi, mungkin saat ini dia tak ada kegiatan.
Seketika aku jadi bersemangat, aku menambah laju motorku menuju gang yang kemarin disebutkannya. Tak sulit mencari kosan Vio, aku langsung menemukannya begitu memasuki gang itu. Aku bertanya pada seseorang di mana kamar Vio, aku mengucapkan terima kasih dan menuju kamar yang dimaksud. Aku mengetuk pintu sambil mengucapkan salam, Vio terperangah melihatku.
"Fauzy, ada apa?" tanyanya. Rambutnya yang ikal dikuncir kuda, dia menggunakan kaos oblong dan celana pendek.
"Main, boleh?"
"Iya, cuma tumben, nggak biasanya," Vio mempersilahkanku masuk.
"Mau minum apa?"
"Air putih aja." Aku memperhatikan kamarnya, khas cewek nggak terlalu rapi, tapi bersih. Tempat tidur single dengan seprai bermotif kartun, lemari berukuran sedang, meja belajar. Aku duduk bersila di karpet yang cukup tebal. Melihat-melihat koleksi buku-bukunya. Banyak berderet novel-novel populer di sana, buku-buku politik, lalu komik. Aku tersenyum.
"Apakah aku mengganggu?" tanyaku.
"Pertanyaan itu haruskah aku jawab?" Dia balas bertanya.
"Ada rencana hari ini?" Aku tertawa.
"Belum "
"Gimana kalau siang ini, kita ke toko buku?"
"Oh, ada buku yang ingin dibeli?"
Aku menggangguk, dia menopangkan tangannya menatapku dan tersipu, pipinya memerah. Aku tak berkedip sampai ia mengalihkan pandangannya.
"Zi, sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu," tiba-tiba ia berkata. Wajahnya terlihat cemas.
"Ya?"
"Mengenai pembicaraan kita di Teras Cafe waktu itu. Mungkin kedengarannya aneh, tapi aku merasa ada yang kamu sembunyikan dari aku?" Tajam sekali pertanyaan itu.
"Hei, apa itu vonis?"
"Zi, kamu punya banyak sekali kemampuan, sampai terkadang aku takut, aku takut, orang-orang membicarakanmu terus. Kamu menguasai banyak sekali bidang, tapi kamu sepertinya malah menyia-nyiakannya." Vio terlalu blak-blakan, kuharap hanya padaku saja.
"Vio, kamu tuh berlebihan bisa dan menguasai itu beda." Sepertinya Vio ingin membantah tapi aku berkata "Giliran aku yang bertanya, sejak pembicaraan di Teras Cafe. Hmm ... kira-kira dua minggu yang lalu, rasanya kamu menghindari aku?"
Vio diam sejenak wajahnya tertunduk, "iya." Jawaban jujur Vio membuatku kaget.
"Boleh aku tau kenapa?"
"Aku takut berdekatan dengan orang yang tak mau terikat." Matanya menatapku lagi.
"Kamu takut tertarik padaku? Apa itu maksudnya?" Aku bertanya dengan gamblang membuat ekspresi panik di wajahnya.
"Kamu ...." Aku rasa, Vio mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku yang lugas itu.
"Vio, kamu sepertinya nggak paham kata-kata sebelumnya?" Tiba-tiba aku geli mendapati Vio sampai terdiam.
"Mengenai keputusan dan pilihan? Oya, kamu toh belum memutuskan apa-apa mengenai aku," jawabnya.
"Kamu ingin aku memutuskan apa?"
Vio memalingkan wajah mendengar pertanyaanku dan tangannya mencari kesibukan dengan menggerak-gerakkan boneka penguinnya. Aku hitung ada lima boneka di sana, semuanya berbentuk hewan.
"Dengar, aku tak mau kamu memutuskan apa-apa. Aku hanya bertanya apa yang kamu rahasiakan, kalau menurutmu itu salah nggak masalah. Tapi kalau memang seperti itu, untuk saat ini lebih baik kita jaga jarak dulu." Ketus perkataan si perempuan, tapi aku malah merasa geli.
Ini seperti kata-kata yang diucapkan oleh dua orang yang sudah pacaran selama enam tahun, kemudian merasa bosan yang teramat sangat.
"Ok, tanyalah yang ingin kau ketahui?" Aku memasang wajah menyerah yang dibuat-buat. Vio kembali tertegun.
"Benar? Boleh?" Dia langsung bersemangat. Wajahnya terlihat sangat lucu sekali. Dia mulai mempertanyakan berbagai hal dari tanggal lahir hingga minuman favorit.
"Sudah puas?" Godaku, "sekarang giliranku bertanya?"
"Eits, kitakan nggak membuat kesepakatan tentang itu lho," Dia menjulurkan lidahnya, untung saja aku nggak refleks menggigit.
"Okey, lagipula itu nggak perlu. Aku sudah tau lumayan banyak hal mengenai kamu."
"Oya?" Dia terlihat kaget.
Vio lalu menantangku menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya yang bisa kujawab dengan tepat. Dia terheran-heran dan terus bertanya, tentu saja aku nggak akan memberitahunya kalau aku mengintip biodatanya sewaktu mendaftar UKM. Tiba-tiba Vio melempar bantal ke arahku sembari berteriak
"Psychopat!"
Bersama Vio waktu terasa sangat cepat berlalu
"Eh, mau tau sesuatu yang menarik nggak? Aku belum pernah berkunjung ke tempat seorang wanita sebelumnya, lho." Tiba-tiba kalimat itu meluncur. Vio sedikit tertegun dan mengernyitkan keningnya.
"Oya?"
"Aku bahkan jarang bicara secara terbuka dengan makhluk yang namanya wanita."
"Yaaaa ... itu yang sering dikatakan oleh bandit kelas kakap," gerutunya. "Dasar playboy kamu!"
Aku tertawa keras. Memandangnya lekat. Lalu dia berkata," jadi ke toko buku?"
🌠🌠🌠
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah (END)
RomanceFauzy Adam ingin melarikan diri dari kehidupan lamanya dan menjalani kehidupan normal. Meninggalkan kebencian yang mendalam pada sosok yang tiba-tiba merubah dirinya. Dia tak ingin lagi menjadi seseorang yang dulu hanya hidup untuk mencari membuktia...