16. Aku yang Benar-benar Aku

428 93 1
                                    

Tidak terasa sudah memasuki minggu ketiga di Kota Asal Vio. Handphone-ku berdering.

Farhan, pikirku seraya mengerutkan kening.

"Halo." Aku langsung menjauhkan speaker ponsel dari telinga saat mendengar Farhan berteriak-teriak marah di sana.

"Hah? Salah sendiri, ya ... aku lagi liburan nih, Agustus akhir," lalu aku terdiam. "Tidak bisa (diam lagi), jangan begitu. Baiklah ... baiklah ... nanti akan aku pikirkan. Iya, berisik ah." Akhirnya HP itu aku matikan.

Gawat, Farhan mengamuk. Karena aku tidak pulang, Farhan dan Gea datang dan mencari ke kosan, ingin memberi kejutan. Siapa sangka mereka lebih terkejut. Aku terpaksa menceritakan kalau saat ini sedang liburan bersama Vio, aku sudah bisa membayangkan bagaimana Farhan akan mem-bully dan mengejekku habis-habisan. Aku berpikir keras, sebenarnya masih ingin bersama Vio. Tapi Farhan ngotot menyuruhku pulang dan mengancam akan memberitahu ayah dan ibu bahwa aku ternyata menghilang dari kosan. Vio keluar dari kamarnya dan memandangku yang sedang tegang.

"Ada apa?" tanyanya.

"Mau liburan ke rumahku?" Tiba-tiba kata itu yang meluncur dari mulutku.

"Hah?" giliran Vio yang jadi tegang.

Aku yang benar-benar aku.

Sering aku bertanya mengenai hal itu. Seperti kebanyakan orang, aku membaca kisah-kisah mengenai pencarian jati diri. Kalau dipikir lagi, aku ini tak punya keinginan apapun. Dulu hidupku menyedihkan, sekarang sedikit membaik. Apa aku kurang bersyukur?

Dengan sedikit paksaan Vio mengikutiku, siapa yang sangka bakal ada kejadian seperti ini. Vio terlihat nervous. Aku bilang kalau dia tidak ingin datang ke rumah tidak apa-apa nanti aku akan minta tolong Gea untuk menampungnya. Tapi aku cukup senang memikirkan masih akan bersama Vio dalam beberapa minggu ke depan.

Aku membeli kopi dan mocca untuk via. Kami tampaknya harus menunggu satu jam lagi karena pesawat delay.

"Abangku akan menjemput nanti, jangan heran melihatnya. Walaupun umurnya sudah tiga puluh tingkahnya masih seperti anak-anak." aku memperingatkan.

"Tiga puluh tahun? Jauh sekali jarak kalian?" Vio bertanya kaget.

"Ceritanya panjang."

"Aku rasanya punya banyak waktu untuk mendengarkan cerita sepanjang apapun, kalau hidup kamu menarik aku bersedia kok membuat biografinya, asal kamu mau aja ditulisi kisah hidupnya oleh penulis amatiran yang bahkan belum menamatkan sebuah kisah pun," tutur Vio seraya melebarkan matanya.

Aku mengucek-ngucek rambutnya. Vio berkelit, dia nggak suka, katanya dia bukan kucing.

"Lagian, kamu nggak boleh bicara seperti itu tentang abang kamu. Semua orang punya sisi kekanakan dalam dirinya loh," kata Vio lagi.

"Persis seperti yang ia katakan," gerutuku.

Kali ini di pesawat Vio yang tertidur. Aku tersenyum, Vio sudah membagi hampir seluruh cerita hidupnya. Apa sekarang giliranku, tapi semua itu tidak mungkin. Pesawat tiba di kotaku pukul enam petang hampir menjelang magrib. Aku menguap saat menunggu bagasi

Farhan dan Gea telah menunggu di pintu kedatangan. Aku langsung melihat sosok Farhan yang melambai-lambaikan tangan penuh semangat. Vio tertegun. Beda sekali. Farhan dan aku, mungkin begitulah yang ada di pikirannya. Farhan terlihat bersemangat, riang, memancarkan cahaya hangat yang membuat orang berani mendekat. Lalu wanita cantik di sebelahnya, yang terlihat begitu feminim.

"Itu pasti Gea tunangan Bang Farhan." Vio berbisik.

"Liat deh gayanya." Aku balas berbisik, membuat Vio tersenyum. Begitu melihat kami, Farhan langsung menyadari kehadiran gadis manis di sebelahku. Farhan mendekati Vio tanpa menghiraukan aku lagi.

"Halo cantik, gimana perjalanannya?" katanya tanpa basa basi terlebih dahulu. Gea tertawa senang, aku menggeleng-geleng melihat tingkah Farhan walaupun aku sudah tau hal itu akan terjadi, buat malu saja. Kami berempat menunggu sementara Farhan mengambil mobil dari parkiran.

"Tujuan kita ke mana?" tanyaku pada Farhan.

"Kita ke apartemen Gea aja, nanti Vio nginap di sana," jelas Farhan. Vio diam saja, dia terlihat sangat deg-degan ... mungkin ... begitu mengetahui akan segera masuk dalam kehidupanku atau hanya aku yang menganggapnya demikian?

"Apa Vio mau nginap di rumah?" tanya Farhan menggoda.

"Eh, jangan." Vio menjawab dengan kekagetan yang sangat kentara.

Farhan tertawa. "Kenalan donk sama calon mertua," godanya lagi.

"Jangan hiraukan dia." Aku berkata pada Vio.

Hujan turun mengguyur kota ini, berbeda dengan kota asal Vio yang terkesan lengang. Kotaku ini super padat, gedung-gedung tinggi menjulang dan banyak terlihat kawasan industri. Kalau hujan tidak turun kota ini sangat panas dan berdebu, menghitamkan kulit yang menantangnya.

"Kota ini terkenal karena batu baranya," jelasku melihat wajah Vio yang penasaran.

"Ooh, super padat, ya," kata Vio.

"Nanti kita jalan-jalan ke Bukit Lembayung aja, pasti kamu suka. Disana sejuk," kataku lagi. "Kalau di sini ngga ada yang bisa diliat, tapi pastinya kamu bakal tambah bulet."

"Oya? berarti banyak makanan enak dong," Vio melirik Gea, tak percaya. Kalau iya kenapa Gea masih selangsing itu ya.

"Eh honey," tiba-tiba Farhan bicara pada Gea di kursi depan.

"Ya?" sahut Gea.

"Minggu depan kita jalan-jalan ke Bukit Lembayung yuk, kan udah lama kita nggak di sana," katanya lagi. Aku merengut dan Vio tertawa. Dasar Farhan!

"Jangan nguping pembicaraan orang lain, sana konsen liat jalan." Aku jadi benar-benar berbeda saat bertemu Farhan, jadi tak sabaran. Mungkin Vio menyadari hal itu, jelas saja semuanya akan sadar akan hal itu. Hanya didepannya aku bisa berbeda.

"Eh, apa, sih." Farhan menjawab seakan tak peduli. "Nanti kamu ajak Fauzy ama Vio ya yank, kan enak kalo rame-rame." Farhan benar-benar punya sense of humor yang tinggi.

Apartemen Gea di lantai 20, saat memasuki tempat itu seketika orang akan mengenal Gea. Wangi chamomile tercium dari ruangan bernuansa jingga, barang-barangnya berdesain minimalis modern.

"Gea tunjukkan kamar Vio dulu." Aku berkata padanya. Vio mengikuti langkah Gea.

Di ruang TV Farhan melirikku. "Top abis," ejek Farhan sambil terkekeh.

"Apa, sih?" aku meraih kue kering dari toples di atas meja.

"Kalian udah pacaran? Gimana kejadiannya?" serang Farhan lagi membuatku mendelik.

"Bisa diam nggak? Aku mau nonton."

"Apa? Bagus sekali, bisa-bisanya pria yang mengejar-ngejar cewek dan mengikutinya sampai ke kota asalnya ngomong begitu santai saat diinterogasi abangnya."

"Bukan mengejar-ngejar, tapi cuma liburan, sudahlah."

"Pelit banget, kalau nggak mau cerita. Nanti aku interogasi Vio aja."

"Silahkan, mungkin abang bisa dapat banyak cerita," sahutku santai. Farhan kehabisan akal memancing cerita.

***

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang