23. Embun (2)

403 83 0
                                    

Pukul 19.30.

Aku mampir di toko kue membelikan coklat untuk Vio. Sepertinya suasana hatinya sedang buruk. Aku pikir karena novelnya gagal kemarin. Sesampai di kos Vio, kamarnya tampak sepi dan lampunya mati begitu juga kamar Yaya. Kemana mereka? Aku mencoba menelepon Vio lagi, namun tak diangkat lalu aku menelepon Yaya.

"Iya Fauzy." Yaya setengah berteriak sepertinya agak ribut di sana.

Yaya memberitahukan kalau mereka sedang nongkrong di tempat makan bersama teman-teman satu jurusan. Aku berkata akan menyusul ke sana dan berpesan agar jangan memberi tahu Vio. Farhan selalu mengantar jemput Gea ke mana pun, jadi aku pikir, nggak ada salahnya aku ingin menjemput Vio bukan?

Tempat makan yang disebutkan Yaya sekitar sepuluh menit dari kawasan kampus. Aku segera menemukan rombongan itu dan melihat Vio sedang asyik tertawa dengan seorang pria. Seketika aku marah, dia tak mengangkat teleponku karena sedang bersenang-senang.

"Vio jemputan datang." Yaya berteriak. Vio terkejut melihatku. Teman-temannya berdehem dan menggodanya. Vio meninggalkan mejanya dan menuju ke arahku.

"Ada apa?" tanyanya datar.

"Apa?" Aku balik bertanya dengan kening berkerut. Sepertinya raut wajahku yang menegang cukup menganggu Vio, ia langsung berpamitan dan meminta salah seorang mengantar Yaya pulang.

"Tenang aja," kata Yaya. Vio mengikutiku.

"Kenapa pamitan? Kalau kamu masih mau di sana aku nggak masalah menunggu." kataku, tapi nada suaraku yang berbeda tentu dapat dirasakan oleh Vio. Aku sendiri kaget mendengar nada suaraku itu.

"Sudahlah," katanya.

Aku mencari cafe yang tenang dan lebih privacy. Kami naik ke lantai atas di roof top, beruntung ini bukan hari libur jadi tempat itu sepi. Hanya ada dua meja yang terisi. Aku memesan Espresso dan latte untuk Vio. Pemandangan di rooftop cafe ini cukup bagus, lampu-lampu jalan terlihat berkerlipan, musiknya pun easy listening. Aku diam saja tak mau memulai pembicaraan, Vio beberapa kali menarik nafasnya. Tampaknya dia jengah sendiri dengan kesunyian kami. Dia menghirup latte hangat, ada gambar angsa di atasnya.

"Kamu nggak takut menjemput aku?" dia tiba-tiba bertanya.

Aku mengerutkan kening tak langsung menjawab apa maksud dari pertanyaanya ini.

"Kamu bisa kehilangan fans." Vio melanjutkan dengan jutek. Aku mulai mencerna arah pembicaraan ini.

"Apa maksud kamu?" Aku jadi tak sabaran.

"Kamu nggak ngerti. Udahlah aku mau pulang."

"Kalau gitu jelaskan, apa yang ngga aku mengerti? Bukannya seharusnya aku yang marah. "

"Kamu egois." Kalimat itu meluncur dari bibir mungil Vio. Seumur hidupku belum ada yang menyebutku egois.

"Sebentar, kamu seharian mendiamkan aku, ternyata kamu keluar bersenang-senang dan sekarang kamu bilang aku egois?"

"Aku mau pulang," kata Vio lirih.

"Kalau kamu seperti ini, nggak akan ada penyelesaian." Ya sudahlah, sekalipun aku kesal karena tak mengerti apa yang diinginkannya. Aku tak tahan melihat wajahnya yang murung. Aku meminta bill pada waitress dan mengantar Vio ke kosan. Dia bahkan tidak menyuruhku masuk seperti biasa, tapi aku tak peduli. Aku mengeluarkan coklat yang tadi aku beli dari tasku. Vio berganti pakaian dan berbaring di tempat tidurnya, memejamkan mata.

"Aku pulang," kataku. Tapi dia tak menjawab. Aku menutup pintu kamarnya.

Vio bergegas bangun dan tercekat, "Fauzy."

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang