5. Pengalaman (2)

703 98 4
                                    

Pukul 10 pagi. Kampus, Ruang Kuliah 3.

Pada saat ospek seperti kuda, saat ini tampaknya seperti sapi. Kami dibagi kedalam 6 kelompok dengan dalih persiapan KBS. Dari 7 orang dalam kelompok dipilih satu ekor sapi terbaik untuk memimpin kelompok. Ternyata sapi-sapi yang dinyatakan terbaik semua jantan. Dan sialnya aku pun menjadi sapi terbaik di kelompokku, kelompok 3. Aku sebenarnya ingin protes, aku tak cocok memimpin. Tapi wajah-wajah di kelompokku menyiratkan harapan dan mengiba-ngiba. Wajah-wajah yang membuatku tak bisa berkutik.

Jenifer, salah seorang anggotaku kelompokku berkata, "Aku heran."

"Kenapa?"

"Aku berani bilang kalau kamu itu seseorang yang sangat kompeten. Tapi kamu menutupinya dengan sikap yang cuek dan terkesan tak peduli."

"Oya? Boleh tau kenapa berpikiran seperti itu?"

"Dalam diam kamu membuat banyak orang mengagumimu."

Aku tertawa keras, "termasuk kamu, Jen? termasuk juga ...?" Lalu aku melihat ke arah seorang pria paling narsis di ruangan itu yang sedang asyik berfoto-foto, sambil mengernyitkan kening.

"Zi, aku sudah mengagumimu semenjak kamu menyelamatkanku waktu itu. Kamu lupa, ya?" dia menatapku tajam. Aku kebingungan, Jen meringis.

"Kamu mungkin nggak memperhatikan atau bahkan nggak peduli, tapi aku sangat peduli akan hal itu."

Aku tambah bengong, apa maksudnya? Jen menggelengkan kepala, kemudian meninggalkan aku. Kenapa para wanita sikapnya terkadang sangat membingungkan? Pikiranku itu terhenti diusik oleh seseorang.

"Zi, lo dicari Edo," kata orang tersebut.

"Ok thanks." Aku bergegas ke luar dari ruangan dan melihat Edo telah menungguku di pintu masuk ruang kuliah tiga. Edo mengajakku makan siang, kami menuju kantin. Hampir tak menemukan tempat kosong.

"Bagaimana kalau cari kantin lain?" tanyaku, "aku ambil motorku dulu di parkiran."

"Nggak usah, Zi, tuh ada yang udah keluar." Edo buru-buru menempati bangku yang baru saja ditinggalkan itu. Pembicaraan di kantin ini riuh mengenai KBS. Tiba-tiba Vio dan Yaya melintasi kantin itu, kesal sekali rasanya mendengar kumbang-kumbang dari kantin memanggil-manggil namanya. Vio tersenyum sekilas dan berlalu.

"Hoy," tegur Edo melihatku terpaku, "Diva?"

"Kenapa?" jawabku.

"Kalian lebih cocok, tenang aja." Edo nyengir membuat aku tertawa dan menggeleng. Tak lama kemudian dua orang mahasiswa menawari kami buletin fakultas.

Edo membelinya dan bertanya padaku, aku menggeleng lagi.

"Sebenarnya fakultas kita sangat aktif dengan kegiatan kemahasiswaannya," runut Edo. "Kemarin mereka meminta perwakilan mahasiswa baru untuk membuat artikel."

"Trus?"

"Hoopla, artikel oleh Diva Violina." Edo lagi-lagi nyengir memamerkan laman buletin artikel tulisan Vio itu. Spontan aku langsung merebut buletin itu.

"Sepertinya malam akan sulit untuk melindungi Bintang," kataku dan membuat cengiran Edo semakin besar.

"Tapi menurutku, kau orang yang paling pantas buat cewek kayak Diva." Edo mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Makanan hari ini, aku yang traktir," kataku.

Edo terkikik geli. "Sebenarnya sangat menyenangkan kegiatan naksir-naksiran saat jadi Maba. Sayangnya aku memilih untuk setia," celetuk Edo memasang tampang sok serius, tawaku pecah dibuatnya. Mendadak Edo terdiam dan menyikutku.

Diva dan Yaya memasuki kantin, sepertinya mereka ke sini. Aku memandang mereka saat mendatangi kami.

"Boleh gabung?" tanya Yaya, Edo mengiyakan dengan cepat.

"Kalian sedang apa?" Vio bertanya saat melihat buletin fakultas itu terbentang dihadapanku.

"Ini si Fauzy lagi terkagum-kagum melihat catatanmu, Va," ejek Edo. Aku tersenyum. Vio dan Yaya duduk di depan kami.

"Oya," Vio meringis, "tulisan di buletin fakultas sangat tidak seimbang dengan artikel di surat kabar nasional. Ya, kan?" Edo dan Yaya tertegun bingung, aku menatap wajahnya.

"Fauzy Adam?" Vio terlihat kesal melihatku tak merespon. Wajahnya yang merah sungguh menggemaskan mana mungkin aku bisa merespon kata-katanya, sementara aku sedang terkagum-kagum padanya seperti ini.

"Ya, Vio?"

"Ternyata kamu Fauzy Adam yang itu, aku banyak membaca artikelmu di surat kabar nasional, kau penulis lepas yang banyak dibicarakan di forum. Bagaimana bisa? kau bahkan seumuran denganku."

"Tunggu? sebenarnya kita sedang membicarakan apa sekarang?" tuntut Edo.

"Tanya padanya?" Vio keliatan sebal. Aku mengangkat alisku.

"Aku heran deh, bagaimana seseorang bisa begitu mudahnya melakukan sesuatu yang orang lain melakukannya dengan susah payah." kata Vio..

"Hey ... hey ... hey ... nona, kebetulan aku kenal dengan salah seorang jurnalis senior di sana, kemudian aku mulai mencoba memperlihatkan tulisanku, dengan bantuannya edit sana sini maka tulisanku dipublikasikan. Di mana letak kesalahannya?" jelasku. "Lagipula, langsung menuduhku seperti ini bagaimana kalau salah orang. Hanya namanya saja yang sama mungkin?"

"Oh ... mau tau di mana salahnya? Pertama muncul sebagai lelaki biasa, kemudian memperkenalkan diri sebagai seorang atlit, menjadi musisi dan sekarang penulis? Yang mana dirimu sebenarnya?" cecar Vio.

Aku sungguh tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu, tapi Vio benar-benar tahu kata-kata yang melumpuhkan aku, siapa diriku sebenarnya?'

"Berat nih bahasannya." celetuk Yaya. Lalu sambil menghembuskan nafas aku menjawab

"Aku kan malam." Aku berkata dengan wajah serius. Vio terdiam seketika mendengar ucapanku, wajahnya langsung memerah. Well dia memang nggak bisa menyembunyikan perasaannya. Edo dan Yaya tertawa.

"Bagaimana Bintang bisa bertanya siapa malam?" kataku lagi, Vio masih terdiam, tak terlihat wajah kesalnya. Aku pun heran, gila makin lama aku makin puitis aja, aku jadi ingin terkikik geli dengan kata-kataku sendiri. Aku membiarkan Vio mempengaruhiku dengan sangat kuat. Menarikku ke dalam pesonanya bahkan tanpa dia sadari.

"Sudahlah." Vio akhirnya menjawab, sepertinya berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Tersipu atau malah kesal dengan lelaki seperti aku ini?

🌠🌠🌠

Kos-kosan RONDE

Hari yang menyenangkan, hari ini berhasil mendapatkan nomor Vio, dia dan Yaya bahkan mengizinkan aku dan Edo berkunjung ke kosannya. Katanya ingin berdiskusi tentang tulis menulis. Malam ini aku makan di kamar, mau mempersiapkan keberangkatan kbs besok ke desa. Boy dan Eric masuk tiba-tiba ke kamarku.

"Bakalan sepi kos-kosan ditinggal seminggu," kata Boy sambil meraih gitar dari atas lemari.

"Seminggu doank," seminggu, waktu yang cukup lama tanpa melihat Vio.

HP-ku berdering, itu dari salah seorang anggota kelompokku. Cewek itu menangis sembari menginformasikan bahwa dia tidak diizinkan berangkat. Aku berusaha membuat dia tenang, dia meminta aku berbicara dengan ayahnya. Ya ampun. Setelah percakapan panjang lebar dan yakin anaknya akan baik-baik saja. Sang ayah akhirnya bersedia melepas anaknya itu.

"Susah tinggal dengan orang tua," gerutu Eric.

"Masih mendingan nih diizinkan berangkat," kataku.

"Belum-belum udah dapat titipan ... huahuahua ...." Boy tertawa mengejek sambil memainkan lagu perpisahan yang seharusnya menyedihkan jadi tampak seperti lawak. Dasar bocah edan.

Satu jam kemudian aku mendapat pesan dari Jenifer

Sudah kubilangkan kalau suaramu mengandung obat penenang, thanks, atas usaha membuat kelompok kita tetap utuh. J.

Aku tersenyum membacanya. Sepertinya aku nggak melakukan usaha apa-apa. Malam ini aku tertidur tanpa mimpi.

🌠🌠🌠

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang