22. Fauziisme (3)

403 75 2
                                    

Pukul 19.30. Lokasi KBM Ilmu Politik.

Wajah cantik Vio malam itu diterangi cahaya lampu neon yang listriknya minta dari masyarakat. Dia sedang menyusun ulang jadwal kegiatan karena persiapan dan pendirian tenda ternyata memakan waktu yang lebih lama dari yang telah dijadwalkan.

"Vio," Dia mendengar Yaya memanggilnya. "Kamu ngapain masih di dalam tenda gini? Yang lain udah pada kumpul tuh."

"Aku nggak ikut keluar dulu deh, soalnya masih ada yang harus dikerjakan."

"Iih jangan-jangan lesu karena nggak bisa ketemu Fauzy lagi nih?" ejek Yaya.

Vio tertawa mendengar celetukan Yaya. "Aku malah belum sempat memikirkan dia."

Yaya duduk di sebelah Vio. "Kapan Fauzy dan Edo ke sini? Sepi juga kalo nggak ada mereka."

"Tadi Fauzy kirim pesan katanya besok saat mahasiswa baru hiking, dia akan kabur dan ke sini."

"Wah asyik dong, duh kapan nih punya pacar juga."

"Yaya, kamu kan tinggal pilih yang mana aja," kata Vio.

"Mana boleh sembarangan, kan bukan baju. Milih baju aja aku lama."

"Ya, aku kan bukan meminta kamu untuk pilih sembarangan, tapi, mengingat antrian sudah semakin panjang, pilihan kamu kan cukup banyak."

Yaya termenung. Sebenarnya Yaya orang yang menarik, dia juga nggak pernah berpura-pura di depan orang lain. Sadar, Vio tau kenapa Yaya belum mau menerima pria-pria yang mendekatinya. Yaya tertarik pada Edo, Yaya memang nggak pernah bilang apa-apa padanya karena semua tau Edo sudah ada yang punya, tapi seandainya Edo single mungkin sudah sejak dulu Yaya bicara perasaannya pada Vio. Sebagai orang yang paling dekat dengan Yaya saat ini tentu Vio tau hal itu.

Vio diam-diam merasa sangat beruntung, sesuatu yang sudah bertahun-tahun tak dirasakannya. Kalau dia memejamkan mata, dia dapat membayangkan dengan jelas Fauzy yang menatap lurus padanya. Setidaknya dia menyukai orang yang juga menyukainya, seandainya bukan dia yang Fauzy sukai entah apa yang akan Vio lakukan. Fauzy, bohong kalau dia belum sempat memikirkannya. Ah, dia tak sabar ingin segera bertemu.

"Hey hey ingat dong masih ada aku di sini." Yaya membuyarkan lamunannya.

"Eh iya, hehe."

"Tuhkan pasti mikirin Fauzy."

"Iyah deh, maaf." Vio tertawa merdu.

Fauzy benar-benar menepati janji. Keesokan harinya Fauzy dan Edo berkunjung ke lokasi KBM Ilmu Politik, sebenarnya Vio harus stay di pos tiga, jalur hiking peserta. Tapi, Yaya berbaik hati dan bilang nggak masalah kalau dia mau jalan-jalan dengan Fauzy, kasihan Fauzy sudah curi kesempatan untuk kabur cuma buat nongkrong di pos tengah hutan.

Sekitar tiga menit dari pos ketiga itu, ada sungai dengan air terjun kecil. Kata Fauzy aliran sungai merupakan aliran yang sama dari lokasi perkemahan anak-anak jurnalistik, hanya saja di sini lebih tenang dibandingkan di sana.

Fauzy menggenggam tangan Vio melangkahi batu-batuan kali yang basah mereka duduk di batu yang cukup besar untuk menampung mereka berdua.

"Bagus sekali tempat ini," kata Vio.

"Ya."

Vio memandang Fauzy sekilas, Jantungnya berdetak kencang, kenapa Fauzy tiba-tiba diam. Padahal mereka sudah sering bersama, tapi Vio masih sering merasa panas saat bersama Fauzy, betapa kuat pesona pria pencuri hatinya itu. Mata Fauzy menatap lurus ke air terjun. Tangannya lurus ditopangkan kekedua kakinya yang ditekuk.

"Ga papa nih kita membiarkan Edo dan Yaya berdua? Kita tinggalin?" Vio bingung dengan sikap Fauzy yang tiba-tiba membisu.

"Mereka kan sudah dewasa, jadi tau apa yang sebaiknya mereka lakukan."

"Iyah, tapi Edo aneh. Apa pacarnya nggak marah? KBM gini dia bukan berkunjung ke sana tapi malah ke tempat teman-temannya, kalau aku pasti marah deh."

Fauzy malah terkikik dengan ucapan itu. "Vio, kenapa kamu malah ngomongin orang terus? Gimana kalau ngomongin tentang kita?" Vio jadi terkejut saat Fauzy berkata seperti itu.

"Kamu genit, " Vio merengut. Fauzy terbahak, kenapa malah genit, reaksi Vio memang sering aneh dan berbeda dari kebiasaan. Itu yang selalu membuat Fauzy penasaran.

Fauzy memandangnya lama, dia. Aduh please ... Fauzy ... jangan pandangi dia seperti itu, jantung Vio berdetak seratus kali lebih cepat. Tiba-tiba Fauzy mendekatkan wajahnya ke wajah Vio, tercium aroma tubuhnya yang bercampur dengan dedaunan basah, segar namun lembut membuat Vio melayang. Wajah Vio memerah saat dengan cepat Fauzy menciumnya lembut, hal yang tak disangka-sangka oleh Vio. Dia bahkan tak mempersiapkan diri untuk ini, walaupun sejak awal dia ingin. Vio bahkan tak sempat menutup matanya. Vio bingung mau diapakan ciuman ini, dibalaskah, akhirnya Vio diam saja.

Rasanya saat itu Vio tak lagi mendengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai, semuanya jadi kelewat tenang. Bahkan suara kicauan burung dan penghuni hutan entah apapun itu juga tidak terdengar. Yang terasa hanya sentuhan hangat dan lembut bibir Fauzy di bibirnya. Fauzy tersenyum. Kenapa Fauzy bisa setenang itu sih? Sementara jantungnya tak terkontrol lagi. Namun, sentuhan sesaat dari Fauzy tadi membuat dada Vio terasa hangat.

"Kenapa nggak dibalas?" tanya Fauzy.

"Kamu itu curang, sembarangan aja, nanti kalau ada yang liat gimana?"

"Oh ya?" jawaban Fauzy bikin Vio tambah sebal dengan sikapnya yang cuek.

"Kalau gitu, nanti dilanjutkan lagi pas udah pulang." Fauzy terkekeh.

"Fauzy, kamu makin lama makin genit, sebel ah."

Fauzy tertawa keras melihat wajah cemberut Vio. Siapa yang survey lokasi ini? pikir Vio. Benar-benar tempat yang sesuai untuk menjadi latar belakang siluet Fauzy, begitukah? Bukannya Fauzy selalu terlihat sesuai di mana pun, di danau dia jadi pangeran, di gunung dia jadi petualang. Di sungai dia jadi ... gawat, stop!!

"Lucu sekali, dulu, aku dan Farhan pernah arung jeram di sungai seperti ini, tapi arusnya lebih deras." Tiba-tiba Fauzy bicara soal kegiatannya dengan Farhan. Vio mendengar Gea berkata pertandingan-pertandingan gila mereka, ia tak bisa membayangkan segila apa itu. Vio tahu Fauzy rindu pada Farhan.

"Itu sebuah pertandingan atau bukan?" Vio bertanya.

Fauzy terkejut, mungkin kaget mendengar kata pertandingan dari dirinya. Fauzy tak pernah membahasnya sedikitpun.

"Bukan," Fauzy kembali biasa,"Cuma menjajal kemampuan saja."

"Lalu siapa yang kemampuannya paling baik?"

"Tentu saja Farhan, heran dia selalu hebat di bidang apapun. Aku dulu mati-matian mengejarnya. Tapi ternyata waktu tak pernah cukup, aku tak sehebat dia, aku sadar kemampuanku terbatas." Fauzy mengerutkan keningnya.

Apa?? Benarkah ini Fauzy yang berbicara? Dia ini merendah atau apa sih? Baru kali ini Vio melihat kilatan gundah di matanya. Sesuatu yang disembunyikan mengenai keterbatasan. Apa Farhan sebegitu hebatnya? Vio tidak tau, baginya Fauzy selalu terlihat jauh lebih hebat dibandingkan siapapun.

"Kalau gitu, kita bertanding siapa yang lebih hebat. Ayo berenang." Sekalipun tau dia akan kalah telak, Vio berkata demikian. Belum terdengar sahutan dari Fauzi, saat lelaki itu seketika menceburkan diri ke sungai dan menyeret Vio. Vio terpekik.

🌠🌠🌠

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang