Enam Tahun yang Lalu,
Aku duduk di sebuah ruang tamu, rumah yang sangat besar, tampak sangat jauh berbeda dengan rumahku. Lampu kristal bergelantung di langit-langitnya, lukisan-lukisan indah dengan pigura terukir rumit menempel di dindingnya. Aku berdiri melihat ke arah jendela saat pintu terbuka dan seorang laki-laki muncul sambil nyengir lebar. Rambutnya cepak dengan tinggi kira-kira 176 cm, usianya kutaksir 10 tahun lebih tua dari aku.
"Kau," katanya sambil tertawa keras," ngapain sendirian di sini?"
"Aku menunggu ibuku?"
"Oh gitu, Tante Reva, ya? Baiklah sekarang ikuti aku, aku akan memperlihatkan ruangan-ruangan di rumah ini." Aku menurut saja dan mengikutinya.
"Berapa umurmu?" tanyanya lagi.
"Dua belas."
"Well, terpaut jauh kalau begitu. Aku 23." Dia menunjukkan seluruh ruangan rumahnya. Aku bergumam dalam hati kenapa begitu banyak ruangan-ruangan di rumah ini?
"Sepertinya aku mengenalimu?" tanyaku akhirnya. Wajahnya memang tampak tidak asing.
"Oh, ya?" Dia nyengir semakin lebar. "Mari kutunjukkan ruang bacaku, kau suka baca?"
Aku mengangguk. Lalu ia membuka pintu salah satu ruangan, aku tertegun bukan karena koleksi buku yang sangat banyak. Tapi karena separuh ruangan itu dipenuhi oleh piala, thropi, piagam dan jumlahnya sangat banyak sampai aku pusing melihatnya.
Dia sepertinya mengerti, "hei kenapa wajahmu?"
Aku menggeleng, "apa ini semua milikmu?"
"Oh, buku-buku sudah diwariskan dari zaman dulu. Tapi, kalau piala-piala ya. Piala pertamaku waktu umur tiga tahun." Dia menunjuk salah satu piala di ruangan itu.
Aaaargggggh!!! Umurku dua belas tahun dan belum pernah sekalipun aku mendapatkan penghargaan. Seketika aku merasa kecil di hadapannya.
"Oya," katanya lagi dengan mata bersinar-sinar, "ayo kutunjukkan kamarmu, kau pasti capek. Lagipula jam delapan nanti akan ada pesta besar di rumah ini".
HAH? Dua jam aku duduk di ruang tamu, lalu aku telah mendapat kamar, sebenarnya ada apa ini.
Pria itu membuka salah satu ruangan di lantai dua.
"Hopla, ini kamarmu semuanya telah disiapkan. Kalau ada apa-apa panggil aja Bibi Tia, ia yang mengurus segala keperluanmu nanti."
Seseorang wanita paruh baya yang sedari tadi ada di kamar itu tersenyum padaku.
"Kami sudah menyiapkan makanan, mau diantar atau disiapkan di ruang makan Fauzy?" tanya Bibi Tia.
"Eh ... aku makan dengan ibuku saja". Aku jelas kaget, belum pernah seumur hidupku ada yang menyiapkan makan selain ibu.
"Baiklah kalau begitu," kata Bibi Tia lagi.
"Oke, kalau kau ingin tidur atau ganti pakaian aku ada di ruang keluarga, jika nanti kau ingin turun," jelas laki-laki tadi.
"Di mana ibuku?"
"Tante sepertinya sedang mempersiapkan pesta nanti malam," pria itu menyebut ibunya Tante. Dia pun berlalu.
Aku terduduk di tempat tidur yang besar itu, kamarnya 3 x lipat ukuran kamarku yang sebelumnya. Buat apa kamar sebesar ini? Bagiku kamar hanya diperlukan untuk tidur, buat PR dan bermain Game. Sebenarnya ada apa ini? Datang ke kota ini dua jam yang lalu dan aku kemudian dibawa ke rumah yang sangat besar dengan segala fasilitas mewah dan kekakuan yang janggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah (END)
Любовные романыFauzy Adam ingin melarikan diri dari kehidupan lamanya dan menjalani kehidupan normal. Meninggalkan kebencian yang mendalam pada sosok yang tiba-tiba merubah dirinya. Dia tak ingin lagi menjadi seseorang yang dulu hanya hidup untuk mencari membuktia...