3. Awal (3)

1K 126 5
                                    

Kampus, ospek hari ketiga.

Sehabis 'pembantaian' dan apel di depan fakultas kami pun menjadi kuda. Mendadak aku teringat misiku menjauhkan nona manis dari para kumbang. Secara tersirat, aku mengajak Edo untuk pura-pura mencari tempat yang strategis. Kutemukan dia, kali ini belum ada kumbang di sekitarnya. Melihat peluang bangku kosong di belakangnya, aku bergegas menuju ke sana. Kulihat Edo hendak komplain, karena terlalu dekat podium. Biasa, sifat cewek berusaha terlihat rajin, dan para cowok menjadi kaum terbelakang, suka duduk di belakang maksudnya.

Setelah duduk dengan posisi mantap, nona manis melihat ke arahku sambil tersenyum. Aku terpana (sedikit) wow ... dia punya lesung di kedua pipinya. Hati runtuh melihat senyumnya, nona manis siapa yang punya? Aku mulai norak tapi cukup dalam hati, soalnya terlalu gengsi untuk dimunculkan. Pertemuan ketiga yang mempesona.

Aku berpura-pura serius, biasanya wanita takluk dengan sikap misterius. Tapi aku tak pernah pura-pura menjadi orang lain, aku toh memang misterius. Sambil melirik buku panduan, aku menyimak ocehan Edo.

Materi hari ini pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), aku mencari pembicaraan yang baik untuk awal yang menyenangkan. Well, sebenarnya aku tak begitu pintar mendekati makhluk yang bernama wanita. Huff.

"Sudah memilih UKM?" kataku akhirnya sembari mencondongkan tubuhku ke depan.

"Aku sedang melihat-lihat, kamu?" Hah! Kamu ... kamu ... kamu? Wanita benar-benar makhluk yang hebat, suaramu lembut bagaimana bisa begitu kontras dengan matamu yang bulat dan tajam itu? Aku cepat-cepat menyadarkan pikiranku.

"Yah, aku mungkin sepak bola atau renang," lumayan keren, waktu SMA aku cukup layak menjadi seorag atlet. "Aku Fauzy, Jurnalistik."

"Mmm ... aku Diva Violina, Ilmu Politik."

"Panggilnya Diva kah atau Vio?"

"Orang-orang memanggil Diva, tapi aku lebih suka dipanggil Vio."

"Kenapa?"

"Diva sepertinya terlalu berat," jelasnya.

"Tidak juga, sih, biasa saja," balasku.

"Ibarat matahari dan bintang? Aku lebih suka pada bintang," Dia mulai tertawa kecil. Jadi dia mulai berfilsafat?

"Kenapa? indah dilihat tapi tidak untuk didekati?" tanyaku lagi dengan blak-blakkan, penasaran. Kalau memang begitu, betapa sombong kamu nona. Tapi sang nona manis tersenyum.

"Aneh, kalau kamu berfikir seperti itu," raut wajahnya berubah.

Apa dia sedikit kesal dengan perkataanku?

"Bintang itu kecil, tapi berarti." jelasnya. Seketika pikiran burukku sirna mendengar jawabannya. Tapi dasar, aku bukan lelaki melankolis.

"Bukannya bintang itu besar, ya?" Aku berpura-pura mikir.

"Kamu menyebalkan," raut wajahnya makin kesal. Aku geli melihatnya.

"Tapi, dia bercahaya juga," lanjutku. Tak ingin wajahnya semakin kesal walaupun dia tetap terlihat manis. "Kalau begitu, ibarat siang dan malam akupun lebih suka pada malam." Aku melanjutkan.

"Kenapa?" dia balas bertanya.

"Aku mau melindungi sesuatu yang berarti," sahutku yakin.

Wajahmu kaget mendengar kata-kataku. Pelan, aku mendengar kekehan Edo. Aku sendiri langsung diserang perasaan aneh. Aku salah bicara kah? Atau terlalu puitis?

Keributan di ruangan itu kurasakan hening seketika. Ternyata kata-kata itu juga membungkam aku sendiri.

"Kalau begitu kita ada di saat yang sama," tawanya pecah. Akhirnya dia tertawa lagi. "Kamu, tuh, memang menyebalkan."

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang