14. Ceritakan Tentang Dirimu (2)

423 89 1
                                    

Hampir seminggu aku berada di kota asal Vio, benar-benar bersantai dan tak memikirkan apapun selain hal-hal yang menyenangkan. Ya Tuhan ... aku sangat menikmatinya. Anak-anak di panti pun mulai akrab denganku, tapi Andi, si bocah ingusan, tetap saja ketus. Aku mendapati Vio sibuk menulis. Aku mengintip, Vio segera menutup tulisannya dengan tangan.

"Novel," jelas Vio. "Udah sepuluh chapter dan ini kemajuan besar loh, aku coba lanjutkan lagi setelah ada yang bilang manusia bisa merubah takdir Tuhan." Vio menjulurkan lidahnya, kebiasaan yang unik.

Aku pikir pernah mendengar kata-kata itu disuatu tempat. Film? Buku? Atau memang tersirat begitu saja.

"Mana? Baca dong?"

Vio buru-buru menutupnya lagi, "nggak boleh, kalau dibaca sebelum selesai, nanti nggak bakalan selesai."

"Ah ... mitos itu."

Bicara mengenai mitos aku selalu terbayang jalur cicak. Merasa hal itu sangat lucu, tapi ternyata terbukti juga.

"Pokoknya nggak boleh, nanti kalau udah jadi kamu deh yang baca pertama."

"Bener, nih? Janji?"

"Janji."

Akhirnya aku hanya duduk di samping Vio, mengamati dia saja tak mungkin bosan. Semilir angin masuk dari jendela dekat kami duduk, aku bersenandung, tangan Vio bergerak cepat, aku meliriknya, ia juga begitu saat sedang menulis, seakan di otaknya telah begitu banyak kata dan harus segera ditulis sebelum kemudian lenyap tak bersisa. Aku memutar lagu Iwan Fals dari handphone, Vio tertawa lagu itu 'entah'. Tertawa lagi saat aku mengikuti liriknya 'seperti biasa aku diam tak bicara, hanya mampu pandangi bibir tipismu yang menarik ... seperti biasa ....

Vio tertawa keras, "kamu serius nggak sih mengizinkan aku menyelesaikan novelku? Aku nggak bisa konsentrasi, nih."

Tiba-tiba Bu Samida memanggil Vio. "Diva ada Pak Herlambang." Mimik wajah Vio berubah dengan cepat. Ia tampak kaget cepat menoleh ke arahku.

Hal ini lagi-lagi memancing pertanyaan dalam hatiku. Vio cepat-cepat menuju ruang tamu, aku mengikutinya.

"Pak." Terlihat sosok pria berusia sekitar empat puluh tahunan duduk di ruang tamu panti.

"Lho, Diva, kamu pulang nggak bilang-bilang?" tegur pria itu saat Diva duduk.

"Ada perlu apa, Pak?"

"Saya disuruh bapak kemari, bapak minta Diva nginap di rumah," jelas pria yang bernama Herlambang itu.

Aku berpikir keras mencari arah pembicaraan ini.

"Tidak mau," sergah Vio. "Saya di sini saja, Pak."

"Tapi Diva, bapak ingin sekali bertemu Diva, sudah setahun tidak ketemu bukan? Pulanglah Va."

Pulang? aku lagi-lagi dibuat kaget. Apalagi ini?

Bu Samida tiba-tiba berkata, "Pulang sebentar saja, Va. Nggak usah nginap di sana juga tidak apa-apa. Kalau kamu males sendiri ajak saja Fauzy."

Gadis ini selalu menyimpan kejutan, atau memang aku yang tidak tau apa-apa mengenai dirinya? pikirku. Ia melihat aku, entah dorongan darimana aku pun mengangguk mengiakan.

"Baiklah, bapak tunggu sepulu menit ya," kata Vio akhirnya.

"Apa tidak sebaiknya aku tinggal?" tanyaku.

"Jangan." Vio berkata panik. "Aku nggak mau sendirian."

***

Pak Herlambang menyupiri kami menuju pusat kota. Tadi kami telah melewati tempat wilayah ini. Kami memasuki komplek perumahan.

"Sampai," kata Pak Herlambang.

"Aku membuka pintu belakang mobil dan mengangkut Travel Bag Vio. Sedangkan aku seperti biasa hanya membawa satu tas ransel.

Sosok pria seumuran Ayahku keluar dan dia tersenyum lebar. Aku melirik ke arah Vio, tak ada senyum di wajahnya. Hanya muram. Pria itu melihat ke arahku mungkin shock anak gadisnya membawa pulang laki-laki ke rumah. Tapi dia mempersilakan kami masuk.

"Siapa ini, Va?" tanyanya dengan sangat lembut.

"Pacarku, Fauzy," kata Vio tegas. Jantungku sampai copot mendengarnya.

"Diva." Sekalipun bertutur kata lembut, pria itu tampaknya sedikit marah mendengar jawaban lugas Vio.

"Maaf, Om, saya cuma mengantar aja." Aku buru-buru menetralisir keadaan.

Mendengar kata-kataku pria itu justru menepuk-nepuk pundakku dengan tangannya.

"Tidak apa ... tinggal lah. Kan lelah juga perjalanan jauh. Om juga muda." Dia tertawa. Pembawaannya sangat berbeda dengan Ayahku. Dia tampak terbuka. Aku rasanya ingin bertanya, 'Siapa anda?' tapi langsung mengurungkan niatku.

"Nanti tidur di kamar tamu saja, Fauzy. Om senang Diva mengajak teman kuliahnya. Jadi, om bisa tau bagaimana keadaan dia di sana."

Aku mengangguk. Vio menyeret kopernya ke dalam kamar. Dia mengajakku ke kamar tamu.

"Kenapa jadi pendiem?" celetukku.

"Nggak ada bahan aja," jawab Vio cepat. "Orang itu papaku."

Aku manggut-manggut dan belum ingin bertanya lebih jauh. Mendadak Papa Vio muncul dan berkata. "Kalian sudah makan? Kita makan di luar, ada restoran baru yang enak," ujarnya.

Vio jadi pendiam sekali, lagi-lagi aku menemukan persamaan kami. Di rumah jadi begitu pendiam. Tapi Vio yang biasanya ceria dan periang berubah drastis seperti itu terlihat menyedihkan. Aku sendiri memang bukan orang yang suka bicara, jadi walaupun ketika pulang ke rumah aku diam, tidak terlihat ada perubahan yang sangat drastis.

Aku mengetahui kalau nama Papa Vio adalah Yadi Hasandi, anggota DPR di kota ini selama dua periode dan bahkan sebelumnya menjabat jadi walikota termuda. Foto-fotonya dengan seragam dinas tampak di ruangan itu. Juga foto bersama Vio. Hanya berdua tidak ada yang lain. Kepalaku mulai pecah mencari jawaban, Vio sendiri tak ada tanda-tanda ingin menjelaskan.

Om Yadi mengajak kami makan di Restoran dengan menu khas bebek. Restoran itu memang terlihat baru. Menunya enak. Dia memesan begitu banyak makanan yang rasanya tak mungkin bisa kami habiskan bertiga. Om Yadi terus-terusan menyodorkan makanan ke aku dan Vio.

Vio jarang sekali berbicara, bahkan, dia marah saat aku menjawab pertanyaan Om Yadi kepadaku tentang kehidupan di kampus. Dari sana aku tahu kalau Om Yadi dan istrinya sedang dalam proses cerai, tapi istrinya itu bukanlah ibu Vio. Aku sering sekali melirik wajah Vio, tapi ekspresinya datar. Tampaknya kehidupan Vio juga rumit.

Kami kembali ke rumah pukul delapan malam. Aku mandi dan mengenakan pakai yang nyaman. Berbaring di tempat tidur. Ada perasaan sama yang kurasakan seperti dulu saat semalam menginap di panti dengan kamar dan tempat tidur kecil walaupun tidak senyaman ini tetapi aku tidur dengan lelap. Dulu juga begitu kamar tidur yang baru kamar yang besar dan bagus aku bahkan tak bisa tertidur lelap.

Vio menelponku.

"Hmm ...." Aku bergumam.

"Sudah ngantuk?" jawab suara di seberang. Padahal kamar kami berdekatan dan saat ini juga satu atap. Namun, Vio lebih memilih menelpon ketimbang bicara langsung denganku.

"Kamu bosan?" tanyanya pelan.

"Bosan? Kenapa?" Aku balik bertanya.

"Siapa tau," jawabnya lagi. "Kamu lapar lagi nggak? Bilang ya, kalau butuh sesuatu." Nada suaranya berganti cemas. Aku menutup telpon lalu tertidur.

***

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang