21. Mantra

444 85 1
                                    

Kemah bakti kali ini sangat menyenangkan bagi Vio, walaupun dia dan Fauzy hanya bisa bertemu sesekali, jauh lebih berkesan dibandingkan saat dia mahasiswa baru dulu.

"Wah, kayaknya ada kejadian menyenangkan, yah," begitu tegur Pimred buletin fakultas yang satu tingkat di atasnya saat mendapati Vio senyam senyum sendiri.

"Ah kakak, maafin Vio, ya."

"Kamu lagi jatuh cinta?" selidiknya. "Siapa? Apa Fauzy?"

Vio menoleh kearahnya, "Kakak kenal Fauzy?"

Pimred Buletin mengangguk, "Siapa sih yang nggak kenal dia?" senyumnya seperti menggoda Vio. "Apalagi kejadian waktu kemah bakti kemarin."

"Kejadian apa?"

"Lho kamu malah belum tau?" Pimred pun menceritakan peristiwa yang saat ini santer dibicarakan.

Tipikal Fauzy nggak akan menceritakan hal-hal yang terjadi kalau Vio tidak tau atau tidak memancingnya.

"Gimana kalau kita buat kolom infotainment yang berisi gosip-gosip seputar orang-orang atraktif di fakultas?"

"Hah? Kakak bercanda kan? Perasaan yang selalu bilang buletin kita jauh dari gosip siapa?" Vio menolak.

"Haha ... yah sapa tau bisa meningkatkan oplah, korban pertama bisa Fauzy lalu kamu?"

Vio tertawa mendengar istilah korban, "Kakak tuh menggunakan istilah korban, aku udah bisa bayangkan seperti apa beritanya nanti." Vio melanjutkan, "Kalau begitu berita infotainment yang pertama mengenai kehidupan masa kecil kakak saja gimana?"

"Nggak ada yang menarik, eh Vio kamu tau nggak kalau penerbit mayor lagi mengadakan perlombaan penulisan novel?"

"Oh ya? Tapi kak itu-kan standarnya tinggi?"

"Iya sih, makanya buku-buku terbitan mereka selalu berkualitas, coba kamu pikirkan, nggak ada salahnya mencoba. Bukankah katanya kamu mau jadi penulis novel."

"Thanks atas infonya, Kak."

Novel pertamanya yang kandas bertahun-tahun kemudian berhasil diselesaikan karena Fauzy, apakah sudah layak diterbitkan? Padahal dulu dia pernah berjanji bahwa Fauzy akan jadi orang pertama yang membacanya, tapi sampai saat ini dia belum berani menunjukkan pada Fauzy. Mungkin nanti dia harus membiarkannya membaca dan memberi masukan sebelum ia memutuskan bahwa novel itu akan dikirim mengikuti perlombaan penerbit tersebut.

Pukul 22.30. Kos Ronde.

Aku berbaring sambil menyelonjorkan kaki lurus, mengambil sebuah amplop dari sisi tempat tidur. Amplop yang tadi digenggam kuat oleh Vio pada saat dia berikan padaku. Berhasil diselesaikan juga. Aku membuka amplop itu cukup tebal. Vio, gadis itu selalu punya potensi, melihat semangatnya saja tak akan pernah bosan. Aku mulai membuka lembar demi lembar kertas itu, mulai larut dalam perjalanan tokoh utama Novel.

Terdengar ketukan pelan di pintu, ternyata Boy, dia bermaksud numpang tidur di kamarku karena kakak sepupunya datang berkunjung.

"Lagi ngapain?" tanya Boy saat melihatku larut dalam lembar kertas dengan ketikan 1,5 spasi.

"Script novel cewekku."

"Wooow, Vio? Hebat bener bisa nulis segitu panjang," si Boy segera menyeduh capuccino dua cangkir tanpa pamit lagi ke pemilik kamar.

"Begitulah dia."

Boy menghembus-hembus cangkir capuccino yang asapnya masih mengepul itu, tak sabaran dan mulai menjarah persediaan makananku. Aku menghirup capuccino yang dibikinkan oleh Boy.

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang