2. Awal (2)

1.3K 141 3
                                    

Kampus Hijau, ospek hari kedua.

Aku meminta Boy menurunkanku dua pulub meter dari ladang pembantaian (Sekretariat Fakultas maksudnya). Kening Boy berkerut-kerut, “lho napa, Zi? Biasanya kau nyantai.”

“Iya, aku sih nyantai tapi senior pinter bener yang dihukum cewek di sebelahku, aku disuruh melototin orang yang disiksa nggak enak hati dah.” Sial betul kemaren, rutukku.

“Oh …, kau ternyata punya jiwa pahlawan.” Boy terkekeh.

Masih sambil tertawa, Boy berlalu dengan cepat, sepertinya dia masih ngantuk. Aku menuju barisan kelompokku, masing-masing kelompok ada lima belas orang dari setiap jurusan. Cewek di depanku menangis, kelupaan bawa permen. Sambil diteriakin oleh seorang senior berwajah cukup sangar. Tangisan cewek itu makin kencang, nah ... jiwa pemberontakku mulai bangkit. Jangan salahkan sifatku yang satu ini, semua karena Farhan, ingat Farhan? Aku sedikit membahasnya di awal. Dia itu abangku, abangku yang belagu dan kerap meremehkan aku. Sampai akhirnya aku melawan, yup, benar-benar melawan hingga akhirnya jadi pemberontak.

“Udahlah, bentar lagi dia pingsan,” tegurku pada ‘Bang senior’. Bagai dicambuk halilintar senior itu mendengar teguranku, matanya melotot. Si cewek mulai diam, bersyukur ada pahlawan kesiangan bolong mungkin.

"Jangan ikut-ikutan!” hardiknya.

“Bukan mau ikut-ikutan, Bang. Kasihan dia udah sesenggukan gitu.” Peserta ospek mulai mendatangi kami, senior berdatangan dari segala penjuru. Aku dan cewek-cewek itu bagai anak tikus yang berhadapan dengan kucing pemangsa.

Edo menarikku, “santai,” bisiknya.

Tapi senior yang bernama Ade itu menarik bajuku. “Sini, sok jagoan!”

Basi! aku emang jagoan brengsek! Aku mulai marah dan memaki dalam hati. Jangan sampai aku mengulang kebiasaanku merumah sakitkan orang seperti waktu dulu.

”Trus mau apa?” Salah satu hal yang telah kulatih untuk menjadi keahlianku, tetap tenang.

Aku ditarik oleh para senior ke pos satpam. Mungkin di sana mau disiksa dan tidak disaksikan oleh mahasiswa baru yang lain. Nggak masalah niat baik sudah selesai, si cewek tidak lagi diperhatikan. Setelah satu jam penyiksaan oleh lima senior di pos satpam, akhirnya aku dilepaskan.

Aku menuju aula, Edo memanggilku, dia menjaga bangku sebelahnya agar tetap kosong. Baik juga dia. Panitia memandangku marah, peserta menatapku kagum dan lihat cewek-cewek berbisik-bisik mereka memang nggak tahan dengan sikap heroik, aku paling malas dengan tatapan seperti itu.

“Zi, karya tulismu mana?” Edo bertanya. Aku bengong.

“Jangan bilang lupa,” lanjutnya.

Aku memang lupa, lupa sekali. Sambil membayangkan penyiksaan apalagi yang akan kudapatkan. Panitia memerintahkan agar karya tulis dikumpul. Aku melirik seseorang di sebelahku yang tampak adem-adem saja.

“Bawa?” tanyaku.

Dia menggeleng, ternyata bukan cuma aku yang kelupaan, baguslah.

Panitia mengumumkan ada dua karya tulis terbaik yang akan dipresentasikan. Aku lalu melamun. Sedang apa si Farhan sejak aku tinggalkan? Edo mencolek-colekku. Memaksaku melihat ke depan karena ada senior yang memelototi aku dengan sangar. Saat menatap ke depan aku terperangah.

Itu dia! Nyaris aku menjerit kaget. Tampak sepasang mahasiswa baru maju ke depan. Tepuk tangan membahana, aku mulai merasa lelaki di ruangan itu bertransformasi menjadi kumbang, kumbang-kumbang itu mengibaskan sayapnya memandangi nona manis semanis gula, ah, hanya perasaanku saja.

”Siapa namanya tadi?” bisikku pada Edo. Edo malah nyengir, mungkin dalam hatinya berkata, akhirnya perhatianku muncul juga gara-gara cewek. Payah.

”Diva apaaa gituu ....” Dia menjawab.

Dia mempresentasikan karya tulisnya dengan baik begitupula dengan sang pria. Aku mendengar cewek di depanku berbisik pada temannya.

“Ah, paling bukan dia yang buat tuh,” aku jadi menggeleng, cewek ini cuma tidak bisa menerima kalau ada yang lebih cerdas dan unggul darinya.

Lalu aku sedikit menyesal, kalau nggak pelupa, mungkin aku bisa jadi salah satu orang yang terpilih sebagai penulis karya tulis terbaik dan mendampinginya buat presentasi. Poinku akan sedikit naik bukan? Ahaa ....

Saat kembali dari presentasi karya tulis. cepat-cepat kucari si nona manis tadi, di mana dia duduk dan kenapa aku kemarin bisa tidak melihatnya? Nona manis terlihat mengobrol dengan kumbang-kumbang, ah sial, harusnya aku tau, jadi aku bisa menyingkirkan kumbang-kumbang itu.

Aku putuskan daftar kesenangan pertamaku menjadi mahasiswa adalah dengan mengejar-ngejar cewek, sesuatu yang tak ada dalam daftar listku sejak jaman dulu. Menyenangkan sepertinya menjadi lebih normal.

Aku lalu mengambil kesimpulan kalau dia pastilah orang daerah sini. Soalnya kalau nggak, pasti seperti aku, bengang bengong kayak orang bego. Kenalanku cuma si Edo dan orang yang duduk di sampingku. Sempat basa-basi sebentar tadi karena karya tulis, sialan.

Hi nona manis lihat aku dong, aku tertawa tertahan.

Aku pernah baca, katanya kalau kita memandang seseorang cukup lama, maka orang tersebut akan menyadari dan balas memandang kita. Mari kita buktikan mitos itu. Mitos itu benar-benar payah, sampai leherku encok dia tidak menoleh ke arahku.

🌠🌠🌠

Pukul 18.00. Kos-kosan RONDE, kamar nomor 5.

Hari ini benar-benar melelahkan, aku lagi-lagi habis disiksa senior karena buku tanda tanganku masih kosong. Ngapain juga kalau cuma mau kenal pake minta-minta tanda tangan segala, lama-lama juga kenal sendiri, rutinitas yang membosankan tapi selalu dilakukan.

Aku melihat tumpukan pakaian di ember, pakaianku seakan berteriak-teriak pilu karena sudah seminggu nggak dicuci. Kata Boy, ada bibi yang biasa nyuciin baju mahasiswa-mahasiswa pemalas seperti kami. Besok aku harus memanggil bibi itu. Ponselku berdering.

“Ya, Bu?” ibuku, sepertinya beliau masih mengganggapku anak kecil, sudah lima kali ibu telepon hanya untuk bilang jangan lupa makan. Beliau memang tahu betul, kalau aku paling malas makan.

Dengan suara tak jelas aku menceritakan nasib si bungsu di perantauan. Setelah meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, ibu mau juga menutup telpon. Sebelumnya, ibu berkata telah mengirim uang untuk aku membeli motor.

Lumayan juga. Biar ke kampus gak selalu nebeng sama si Boy. Lima belas menit kemudian, aku sudah tergeletak tak berdaya di kasur.

Aku terbangun. Entah sudah berapa lama aku tidur, pas pukul delapan malam. Aku segera mencuci muka dan keluar. Boy dan Eric telah menungguku di atas motornya. Aku pun segera numpang dengan Boy, begitu Bobby datang kami bergegas menuju tempat biasa. Cacing-cacing sudah berteriak minta dikasih makan.

Mahasiswa mempunyai tiga pola makan, itu yang kami perbincangkan kemarin. Pertama masak, jelas tidak mungkin bagi pria-pria pemalas seperti kami. Kedua, katering, kami berlima berkeyakinan kalau katering pola makan yang membosankan, hari-hari itu saja. Jadi pilihan kami yang ketiga, kami memilih ‘makan terbang’ istilah yang diciptakan bagi mahasiswa yang kalau lapar baru cari makan, sesuka hati. Pola yang tidak teratur tapi tampaknya lebih menarik dan menyenangkan. Malam ini kami berencana nongkrong di tempat biasa sampai batas waktu yang tidak ditentukan, besok bakal terkantuk-kantuk di ospek. Diva, akhirnya aku tau juga namanya. Dia tak kunjung datang, mungkin kemarin hanya nyasar.

🌠🌠🌠

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang