9. Tak Ingin Memahami (1)

518 91 3
                                    

Pkl. 10.00. Kampus.

Kelas fotografi, beberapa mahasiswa membawa kamera DSLR, saat ini kamera itu sudah menjamur dan laris bak kacang goreng, harganya sudah terjangkau dan banyak tersedia di pasaran. Bermunculannya fotografer dadakan yang langsung mengikrarkan diri sebagai fotografer saat mereka memiliki benda itu dan kemampuan edit foto sedikit, setelah menjadi pertanda bahwa studio foto mulai mengalami penurunan omset.

Aku nggak bisa memfokuskan diriku kemata kuliah fotografi, padahal aku menyukainya. Tampaknya kondisi berlomba-lomba menghilangkan perasaan gembira yang aku rasakan. Setelah kemarin menghabiskan waktu dengan menyenangkan bersama Vio, tiba-tiba malamnya ibu memintaku untuk pulang, suaranya terdengar cemas.

Pulang? Bagaimana mungkin? Aku baru beberapa bulan menikmati bangku kuliah jauh dari keluarga, apalagi sekarang belum libur semester. Tapi aku jadi khawatir dengan suara ibu tadi malam, aku sangat mengerti dengan kebiasaannya yang selalu berusaha untuk menyimpan masalah dariku. Sejak menjadi keluarga Darmawan tampaknya kehidupanku tak pernah tenang. Selalu mengalami konflik batin, nomor satunya. Aku mulai menghitung jadwal kuliah, paling lama waktu libur yang bisa diperjuangkan hanya sekitar satu minggu, aku akan mencari tiket pesawat untuk besok.

"Hei." Tiba-tiba seseorang berbisik halus.

"Oh kamu, Jen," ternyata Jenifer, aku bahkan tak menyadari kalau dia duduk di sebelahku.

"Apa sih yang kau pikirkan? Keliatannya dari tadi melamun terus," tegurnya.

"Ah, nggak."

Tampaknya dia kecewa dengan pernyataan itu, mungkin dia berharap aku akan menceritakan sesuatu yang spektakuler. Kasian juga melihat wajahnya jadi cemberut. Aku merasa di kelas Jenifer selalu duduk di sebelahku.

Usai jam kuliah aku buru-buru membeli tiket secara online. Penerbangan pagi pukul 09.00, harus transit dulu di ibukota, jadwal tiba ke kotaku sekitar jam empat sore. Tak ada yang perlu dipersiapkan dan tampaknya tak perlu repot membeli oleh-oleh. Aku lalu mengabarkan berita kepulanganku pada ibu. Nada suaranya langsung berubah gembira.

Tampaknya belum bisa hidup dengan bebas, keluhku. Sial! Kehidupanku jauh-jauh lebih baik dari sebelum bertemu Darmawan, seandainya aku bisa lari saja, dulu aku pernah mencoba tapi gagal, lagi-lagi terbayang wajah cemas ibuku.

Pagar kosanku terbuka lebar ketika aku pulang. Masih siang, kosan terlihat sepi, berangkali penghuninya masih nungguin pohon-pohon di kampus, langkahku semakin terasa berat seiiring waktu semakin mendekati besok. Rasanya malas sekali pulang, bertemu orang itu.

Aku telah mengabari Edo, agar dia mempersiapkan diri untuk makan siang sendiri di kampus selama aku pergi. Lalu Vio? Aku terperangah, apa harus kuberitahu dia? Tapi apa pendapatnya nanti? Ngapain aku pamit sama dia? Jangan-jangan nanti dia malah berfikir aku lucu, sebaiknya aku tidak memberitahu dia. Kalaupun aku bilang, dia pasti akan bertanya-tanya alasan kepulangan yang mendadak.

Aku menghela nafas. Kunci kamar akan kutitipkan pada Boy. Aku pun mulai berkemas. Cukup heran melihat kenyataan bahwa tas ranselku muat untuk membawa baju keperluan satu minggu atau karena tidak banyak yang aku bawa. Baguslah, setidaknya aku tak perlu repot menunggu bagasi.

Pukul 16.00 lewat sedikit aku telah sampai di kotaku, Pak Hutama, supir keluarga kami terlihat sumringah melihat kedatanganku di gerbang kedatangan.

"Selamat sore, Fauzy, gimana perjalanannya?" ujarnya seraya mengarahkan aku ke parkir mobil.

"Bagus, pak, penerbangannya tepat waktu," sahutku.

"Oh, lalu bagaimana kuliahnya?" Kami berbincang-bincang cukup lama mengenai kuliahku dan keadaan rumah sejak aku pergi.

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang