10. Tak Ingin Memahami (2)

493 97 2
                                    

"Hah? Abang dan Gea?" Aku membelalakkan mata, ayah tak pernah setuju dengan Gea, kekasih Farhan itu. Farhan tersenyum mengangguk.

"Tapi itulah bagian menariknya, pertukaran," ujar Farhan.

Gea wanita yang cantik juga lembut, sedikit mirip ibuku. Mereka berpacaran sudah lama sekali sejak kuliah semester tiga kalau tak salah, entah kenapa ayah kurang suka padanya. Padahal menurutku dia baik, dulu dia sering mendamaikan aku dan Farhan kalau cekcok, bahkan menjadi juri pertandingan-pertandingan gila kami. Hanya dia wanita lain yang pernah hadir dalam kehidupanku selain ibu, ia hadir sebagai seorang kakak perempuan yang baik dan sabar, mungkin itu alasanku ingin merasakan jatuh cinta saat keluar dari rumah ini. Karena melihat cintanya Farhan dan Gea. Saat itu aku dengan cepat menjadi sosok yang kedewasaannya melebihi Farhan yang usianya sudah kepala dua.

"Selamat, selamat, setidaknya itu berita baik, hei lalu di mana kecemasannya?" Aku tiba-tiba tersadar, teringat betapa cemasnya ibu saat menelponku.

"Kata ibu hanya cara itu yang membuatmu mau pulang, kami tertawa-tawa sambil menelponmu."

"Huh, seharusnya aku tau kalian bersekongkol."

Tiba-tiba Bibi Tia datang mengatakan kalau Gea datang dan menunggu di bawah. Farhan berdiri dan aku mengikutinya. Gea melihatku.

"Fauzy!" pekiknya langsung menghambur ke arahku,"Padahal baru beberapa bulan nggak ketemu tapi kangen banget."

"Gea, dia sudah ada yang punya lho," kata Farhan.

"Hah?" lagi-lagi Gea terpekik, "beneran nih? perlihatkan fotonya" Gea melonjak-lonjaknya disekelilingku, Farhan tertawa saat aku melotot ke arahnya.

"Dasar nggak bisa jaga rahasia."

"Ah, Fauzy jangan begitu denganku dong, nggak pernah ada rahasia diantara kita ingat?" Gea mengacungkan jari telunjuknya.

Kami menuju ruang keluarga, Farhan dan Gea duduk berdekatan sementara aku di hadapan mereka. Dari dulu aku suka sedikit iri dengan mereka berdua, menarik sekali punya seseorang untuk disayangi. Apalagi kalau melihat cara mereka bertatapan. Wuih ....

"Nggak Gea, Farhan ngibul," kataku.

Gea tak mau percaya, "yah Fauzy bohong, pasti gadis yang menarik, ya, kan?"

"Tentu saja!" timpal Farhan, "Dia nggak mau cerita sama aku, Beib."

"Sudahlah kalian ini, pokoknya sekarang baru mendekati, deh," sebel banget melihat wajah tak percaya Gea dan Farhan.

"Cepetan nanti keburu diambil orang, loh," kata Gea, "Tapi, nggak perlu khawatir, siapa sih yang bisa menyaingi Fauzy yang super ganteng dan keren."

"Pastinya cuma aku, yank," si Farhan nyeletuk.

"Nggak ada saran yang lebih bagus?" gerutuku. Untungnya ibu dan ayah datang, jadi interogasi dari dua makhluk yang tak sadar umur itu terputus.

Ibu segera memelukku, ayah masih tetap kaku seperti dulu, tapi dia terlihat senang dengan kepulanganku. Ibu segera menyeret kami ke meja makan. Aku lupa kalau aku bahkan belum makan berat dari tadi pagi. Ayah terlihat beberapa kali mengajakku ngobrol, tapi entah kenapa aku tak bisa menyukainya bahkan setengah rasa sukaku pada Farhan.

Aku membencinya, sumpah mati aku benci dia. Dia menghancurkan hidupku. Berdekatan dengannya membuat udara di sekelilingku habis dan aku merasa sesak nafas, karena dia, ibu mengecewakan aku. Padahal sebelumnya ibu tak pernah berbohong. Karena dia, aku tak bisa menikmati masa remajaku dengan normal, karena dia aku pernah nyaris mati karena kebut-kebutan. Karena dia tiap malam aku menangis selama bertahun-tahun mempertanyakan hidupku, kenapa darah orang seperti dia bisa mengalir dalam darahku? Aku ingin membersihkan darah itu mengurasnya habis, tapi tak bisa sekalipun aku menusuk-nusuki seluruh tubuhku dan syukurlah sekalipun aku pernah bodoh, aku tak pernah menusuk diriku sendiri.

Aku menjawab pertanyaan - pertanyaannya dengan singkat, menarik nafas lega saat topik pembicaraan beralih mengenai acara besok. Rasakan, aku sadis, aku bahagia melihat kekecewaan di wajahnya, rasakan itu pikirku selalu, biar kamu tau bagaimana kekecewaan dan kepedihan yang aku rasakan karena pengkhianatan bertahun-tahun.

Ada satu hal lagi yang aku sadari sejak dia muncul. Bahwa aku orang yang sangat buruk, mungkin aku tak akan bisa dikhianati. Aku marah seperti orang gila dan tetap diam. Karena dia aku mengetahui keburukan dalam diriku, yang sebelumnya tak pernah muncul. Aku benci dia karena membuatku merasa buruk.

🌠🌠🌠

Pukul 21.00.

Ruang tamu kami mulai ramai, ruangan di penuhi meja-meja bertaplak putih bersih dengan buket-buket bunga, aku seakan mengalami deja vu. Aku sudah berusaha membiasakan diri, tapi tetap merasa ini bukan bagian hidupku.

Saat ini tak ada lagi pandangan meremehkan di wajah para tamu seperti kala itu. Aku melihat Farhan dan Gea bergandengan, kabar baik dan buruk yang datang bersamaan. Mereka menghampiriku yang sedang mengobrol dengan salah satu relasi ayah, Om Faris. Beliau menepuk-nepuk pundakku hangat. Mengatakan betapa beruntungnya Pak Darmawan memiliki dua putra yang hebat. Agak terlalu berlebihan bagiku, jadi sekarang dua putra yang hebat, aku geli mendengar ungkapan itu, jadi sekarang aku sedikit diakui. Tapi aku tak pernah ingin jadi putranya.

"Wah, om salah," kata Farhan, "anak ini akan jadi lebih hebat dariku."

Lalu mereka tertawa. Maaf sekali aku mengecewakan kalian. Tiba-tiba aku ingin segera pulang. Dulu setiap rumah ini hingar bingar aku bersembunyi di pojok kamarku, hanya Farhan yang selalu membujuk aku. Mungkin karena itu perlahan aku mulai menerima dia, lagipula dia tak mirip sama sekali dengan orang itu. Farhan hangat dan ceria, dia benar-benar bahagia karena kehadiranku. Aku bisa merasakan perasaannya yang tulus. Lalu aku jadi tahu bahwa sisi dingin dan murung dalam diriku juga karena pria itu. Farhan sudah jelas lebih didominasi gen ibunya.

Farhan selalu berkata, bahwa dia lebih dulu mengalami masa yang berat dan hanya sendirian. Sementara aku saat ini punya dia, aku selalu bisa mengandalkan dia. Aku percaya padanya, semoga dia tidak mengkhianati aku seperti pria itu dan juga ibu. Sejak kembali pada pria itu aku seakan kehilangan perhatian ibuku, walaupun mungkin itu hanya perasaanku saja.

🌠🌠🌠

Pukul 08.00.

Seperti biasa suasana sarapan yang monoton di rumah keluarga Darmawan, bahkan suara Farhan yang biasanya ramai tersedot oleh sikap dingin pria itu. Aku dengar, dulu, mereka bahkan tak pernah sarapan bersama. Dia selalu berangkat ke kantor pukul tujuh pagi. Bahkan, di hari libur, dia selalu pergi ke kantor. Entah karena sikapnya yang worckaholic atau dia memang tak betah di rumah.

Tapi, sejak aku dan ibuku datang, rumah ini punya istilah sarapan dan makan malam bersama. Mungkin itu usahanya untuk menarik simpatiku tapi jangan harap aku tak akan bisa memaafkan dia.

"Hah, tapi ini baru lima hari, sayang." Ibu kaget, saat aku mengatakan akan segera pulang, begitu pula ayah dan Farhan. Sudah hari minggu dan kami melanjutkan pembicaraan seusai sarapan.

"Ibu tau sendiri kan, aku sekarang kuliah, ini sudah hampir satu minggu." Aku mencari alasan.

Padahal, alasan sebenarnya, aku kangen kehidupan sebagai anak kos. Aku juga sedang tenggelam dalam kegiatan taksir-taksiran dengan seorang yang sangat mempesona, nongkrong-nongkrong nggak jelas dengan teman-teman akrabku, pengalaman yang sama sekali baru. Bukannya begitulah kehidupan yang normal.

"Sepertinya kau tidak pernah betah di rumah ini." Tiba-tiba ayah bicara dengan intonasi yang datar. Aku hanya diam, aku ingin bilang ya! Sekuat tenaga tapi mulutku beku. Aku sedapat mungkin tak ingin bicara dengannya.

"Hei sudahlah, yah, mungkin dia ada keperluan. Lagipula Fauzy bisa pulang ke sini kapanpun dia mau. Kita juga bisa mengunjunginya kesana," kata Farhan cepat.

Farhan berusaha mencairkan suasana, dalam hati aku berterimakasih juga pada abangku itu, hanya dia yang selalu mendukungku dalam keluarga saat ini. Ayah dan ibu akhirnya dengan berat hati mengizinkan kepulanganku.

🌠🌠🌠

Arah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang